Akurasi AI Bisa Perluas Akses Pendanaan Pindar, OJK Ingatkan Soal Keamanan Data

- 30 Oktober 2025 - 09:07

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong adopsi teknologi Kecerdasan Artifisial (AI), khususnya machine learning, di kalangan penyelenggara pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (Pindar) atau fintech peer-to-peer (P2P) lending. Pemanfaatan AI diklaim mampu meningkatkan efisiensi operasional dan akurasi dalam penilaian kredit, sekaligus memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat unbankable. Namun, OJK secara tegas mewanti-wanti industri untuk menjamin tata kelola yang bertanggung jawab, termasuk transparansi algoritma, pencegahan bias, dan pengamanan data nasabah, sejalan dengan tren pengawasan global terhadap etika penggunaan AI di sektor finansial.


Fokus Utama:

● ​AI sebagai Akselerator Efisiensi dan Inklusi Keuangan: Fokus pada peran AI (machine learning) dalam meningkatkan efisiensi proses credit scoring Pindar, mempercepat analisis risiko, dan membuka akses pendanaan bagi segmen masyarakat yang sebelumnya sulit dijangkau sistem pembiayaan formal.
● ​Mitigasi Risiko dan Etika Penggunaan AI: Menyoroti pentingnya tata kelola dan manajemen risiko yang ketat, termasuk tuntutan OJK agar algoritma AI akurat, transparan, bebas bias, serta kewajiban menjaga prinsip kehati-hatian dan keamanan data nasabah.
● ​Lanskap Regulasi AI di Sektor Jasa Keuangan: Mengulas upaya OJK dalam menyusun panduan dan regulasi terkait adopsi AI, termasuk potensi tantangan seperti risiko bias algoritma dan kebutuhan akan pengawasan machine against machine, guna menyeimbangkan inovasi dengan perlindungan konsumen.



Langkah adopsi teknologi Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence/AI) di industri jasa keuangan Indonesia semakin tak terhindarkan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan para pemain fintech peer-to-peer lending atau pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (pinjaman daribg/pindar) kini bergantung pada AI dan machine learning untuk menyusun strategi bisnis hingga menilai kelayakan kredit calon debitur.

Gelombang teknologi ini diklaim menjadi solusi ganda, yakni meningkatkan efisiensi dan sekaligus memperluas akses pembiayaan yang berkelanjutan.

​Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (KE PVML) OJK, Agusman, mengungkapkan bahwa adopsi AI, khususnya algoritma machine learning, menjadi kunci bagi Pindar untuk memahami karakteristik dan pola perilaku pengguna secara dinamis.

Kemampuan analitik data yang jauh melampaui metode tradisional ini memungkinkan perusahaan fintech menyasar segmen masyarakat yang sebelumnya dianggap unbankable atau sulit mengakses pembiayaan formal.

​“Penyelenggara Pindar telah memanfaatkan artificial intelligence antara lain berupa machine learning untuk mempelajari karakteristik dan pola perilaku pengguna secara dinamis sehingga proses penilaian kredit menjadi lebih efisien dan akurat, serta dapat meningkatkan kualitas analisis risiko dan memperluas akses pendanaan yang berkelanjutan,” ujar Agusman awal pekan ini.

​Pernyataan OJK ini menegaskan posisi teknologi sebagai tulang punggung baru dalam ekosistem keuangan digital nasional. Dengan volume penyaluran dana fintech P2P lending yang telah mencapai puluhan triliun rupiah, peran AI dalam memitigasi risiko kredit macet (Tingkat Wanprestasi 90 hari/TWP90) menjadi sangat krusial.

Data per September 2024 (data terakhir yang dipublikasikan OJK) menunjukkan bahwa total pinjaman yang disalurkan melalui 98 Pindar berizin OJK masih terus tumbuh, menuntut alat analisis risiko yang semakin canggih dan real-time.

​Inovasi Tak Boleh Buta Etika

​Kendati mengakui manfaat signifikan AI, OJK secara paralel menyerukan peringatan keras. Inovasi teknologi tidak boleh mengorbankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan. Sejalan dengan perkembangan regulasi AI di sektor jasa keuangan global, OJK menekankan pentingnya tata kelola data yang bertanggung jawab.

​Agusman menegaskan bahwa penggunaan AI, meskipun merupakan bagian penting dari inovasi, harus memperkuat tata kelola dan manajemen risiko. Ini adalah fondasi wajib yang tidak bisa ditawar.

​“Penyelenggara Pindar perlu memastikan algoritma akurat dan transparan, menghindari bias, menjaga keamanan data nasabah, serta tetap menjaga prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku,” tegasnya.

​Tuntutan transparansi algoritma menjadi poin penting yang disoroti. Dalam konteks pinjaman online, AI berpotensi menciptakan bias diskriminatif yang merugikan segmen masyarakat tertentu jika data pelatihan yang digunakan cacat atau algoritma tidak dikalibrasi dengan baik. Kekhawatiran ini sejalan dengan temuan riset global yang menunjukkan risiko bias ras atau gender dalam model credit scoring AI.

​OJK sendiri terus mematangkan kerangka kerja tata kelola AI. Regulator menilai bahwa diperlukan aturan yang lebih tegas di luar panduan kode etik yang telah diterbitkan pada akhir 2023, untuk mencakup persiapan adopsi, ketersediaan infrastruktur, hingga mekanisme respons insiden terkait AI.

Beberapa pakar keamanan siber bahkan menyarankan perlunya pengamanan berbasis AI atau “machine against machine” untuk menghadapi potensi risiko dari sistem AI yang diadopsi.

​Pada akhirnya, adopsi AI di dunia fintech adalah pedang bermata dua. Ia menjanjikan efisiensi dan inklusi keuangan yang lebih luas—sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkomdigi), yang menyatakan bahwa meskipun AI bisa menggantikan 85 juta pekerjaan, ia juga menciptakan 90 juta peluang baru.

Namun, manfaat ini hanya dapat dinikmati jika industri patuh pada koridor etika digital dan regulasi yang ketat. OJK berada di posisi strategis untuk memastikan teknologi ini menjadi akselerator inklusi, bukan generator risiko baru.


Digionary:

● ​Artificial Intelligence (AI): Kecerdasan buatan, yaitu simulasi proses kecerdasan manusia oleh mesin, terutama sistem komputer. Dalam konteks keuangan, digunakan untuk analisis data kompleks, fraud detection, dan credit scoring.
● ​Bias Algoritma: Kesalahan sistematis dalam keluaran (output) algoritma yang disebabkan oleh asumsi yang salah atau bias dalam data pelatihan (training data), seringkali menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu (ras, gender, dll.).
● ​Fintech Peer-to-Peer (P2P) Lending (Pindar): Layanan jasa keuangan yang mempertemukan pemberi pinjaman (lender) dengan penerima pinjaman (borrower) secara langsung melalui platform daring, tanpa melalui bank atau lembaga keuangan tradisional.
● ​Inklusi Keuangan (Financial Inclusion): Kondisi di mana setiap individu dan entitas masyarakat memiliki akses terhadap berbagai produk dan layanan keuangan formal yang berkualitas, tepat waktu, transparan, dan terjangkau.
​● ​Machine Learning: Sub-bidang dari AI yang berfokus pada pengembangan algoritma yang memungkinkan sistem belajar dari data dan meningkatkan kinerjanya seiring waktu tanpa diprogram secara eksplisit.
□ ​Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Lembaga independen yang bertugas mengatur, mengawasi, dan melindungi sektor jasa keuangan di Indonesia (Perbankan, Pasar Modal, IKNB/Industri Keuangan Non-Bank).
● ​Transparansi Algoritma: Prinsip keterbukaan yang mewajibkan penjelasan mengenai cara kerja, logika, dan faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh suatu algoritma dalam menghasilkan keputusan.
● ​Unbankable: Segmen masyarakat yang belum atau sulit terlayani oleh lembaga keuangan formal tradisional (bank), seringkali karena keterbatasan data atau riwayat kredit.

​#AI #ArtificialIntelligence #OJK #Fintech #P2PLending #Pinjol #KecerdasanBuatan #DigitalFinance #InklusiKeuangan #CreditScoring #MachineLearning #RegulasiAI #TataKelolaData #FintechIndonesia #EkonomiDigital #BeritaKeuangan #AgusmanOJK #InovasiFintech #KeamananData #RisikoAlgoritma

Comments are closed.