digitalbank.id – SEMPRITAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) pada bank-bank yang biasanya nyaring bunyinya, sementara waktu nyaris tak terdengar. Bukan kenapa-kenapa, saat ini OJK memang tengah super sibuk dengan urusan internalnya memperkuat sistem pengawasan dan pelaporan keuangan bank digital dan menyiapkan infrastruktur regulasi yang baru saja terbit, termasuk di antaranya soal keamanan (security system) bank digital.
Bukan hal yang muda memang, ditengah perubahan teknologi finansial yang deras, tren migrasi bank konvensional ke sistem digital, pun memaksa OJK mesti melakukan pembenahan di sana-sini.
Lihat saja, bagaimana OJK baru-baru ini juga, tengah menghadapi tsunami pinjaman online ilegal di tengah regulasi dan pengawasan yang dilakukannya terhadap lembaga finansial tecknologi (Fintech) yang menjamur.
Perubahan teknologi sekarang ini, begitu masif mempengaruhi bisnis finansial dan keuangan, sejak para raksasa teknologi, macam Amazone, Facebook, Alibaba, Google dan perusahaan teknologi raksasa lainnya, ikut ambil bagian di bisnis ini dengan mengeluarkan sistem transaksi keuangan digital.
Pada saat yang sama, kini muncul desakan dari perbankan dalam negeri yang ramai-ramai
membutuhkan regulasi yang jelas dan pas dalam rangka transformasi ke arah pelayanan digital.
OJK memang cukup adaptif dengan dinamika yang terjadi sektor perbankan dan lembaga keuangan yang ada. Peraturan OJK tentang hal ini pun sudah terbit ( lihat peraturan OJK Nomor 12/PJOK.03/2021).
Menurut OJK, bank digital silahkan jalan, tapi harus berbadan hukum yang mampu menyediakan dan menjalankan usaha, melalui saluran elektronik, tanpa kantor fisik kecuali kantor pusatnya. Kalau mau bikin baru, harus punya modal Rp10 triliun, jelas aturan baru tadi.
Tentu saja bukan hanya itu saja, aturan OJk yang berisi 19 bab dan 160; pasal itu juga, mengatur soal-soal yang menyangkut manajemen resiko dan bab perlindungan dan keamanan nasabah.
Karuan saja, sejak peraturan ini bergulir, hampir semua bank berkonsolidasi dan mengambil ancang-ancang untuk untuk membentuk bank digital. Mereka tak mau pasarnya tergerus dan dikuliti pelan-pelan oleh fintech dari mana pun yang diam-diam beroperasi di sini. Contohnya, ya ratusan pinjaman online, baik legal dan yang ilegal, yang tumbuh bak jamur di musim hujan itu.
Lumayan, hingga saat ini, uang yang beredar di pinjol ini, sudah hampir Rp30 triliun
putarannya. Belum lagi yang tak tercatat. Selain berhasil mencuri start, beragam Fintech ini juga, seperti lepas dari jangkauan pengawasan OJK.
Aturan yang ada, nampaknya berhasil diterobos karena Fintech jenis ini, langsung menyasar masyarakat dengan ragam fiturnya.
Hal yang paling krusial, pada digitalisasi di sektor finansial memang adalah soal keamanannya. “Kalau kami salah sedikit, sudah kena semprit. Sementara lembaga fintech yang ada, dibiarkan dan baru diambil tindakan kalau sudah bermasalah,” ujar seorang bankir kenalan.
Bak arena balapan, peraturan seringkali kalah cepat dibanding uang beredar. “sebenarnya pengawas di lapangan cukup bagus, cuma sering terlambat saja mengantisipasi masalah,” ujar praktisi perbankan mengomentari aparat OJK di lapangan.
Menyinggung soal perkembangan bank digital, laporan OJK menyebut saat ini sudah ada yang beroperasi a.l. Bank Jago, Jenius, TMRW, Blu by BCA Digital, Wokee, Digibank dan Line Bank. (LUK)