Ketika AI Menentukan Hidup, Begini Cara Algoritma Asuransi Mengatur Layanan Kesehatan Anda

- 24 September 2025 - 10:35

Perusahaan asuransi kesehatan di AS kini semakin mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk menentukan apakah perawatan medis pasien layak ditanggung atau tidak. Meski diklaim mampu mempercepat proses dan menekan biaya, bukti menunjukkan AI kerap dipakai untuk menunda atau bahkan menolak layanan penting yang direkomendasikan dokter, dengan konsekuensi serius bagi pasien.


Fokus Utama:

1. AI di Asuransi Kesehatan – Algoritma dipakai untuk memutuskan apakah klaim perawatan dianggap “medis perlu” dan berapa lama pasien bisa mendapat layanan.
2. Dampak Sosial dan Kesehatan – Penundaan atau penolakan klaim berdampak lebih besar pada pasien dengan penyakit kronis, kelompok minoritas, hingga LGBT.
3. Tantangan Regulasi – Tidak seperti perangkat medis, algoritma asuransi nyaris tanpa pengawasan; desakan agar FDA dan pemerintah turun tangan semakin menguat.


Perusahaan asuransi di AS makin mengandalkan AI untuk menentukan klaim medis. Alih-alih membantu, algoritma ini sering dipakai untuk menunda atau menolak layanan penting pasien. Regulasi yang lemah membuat nyawa pasien dipertaruhkan.


Asuransi kesehatan, yang selama ini dianggap sebagai jaring pengaman warga Amerika Serikat, kini berada dalam sorotan tajam. Bukan karena premi yang kian mahal, tetapi karena perusahaan asuransi semakin mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk memutuskan apakah suatu perawatan medis akan ditanggung atau tidak.

Berbeda dengan rumah sakit atau dokter yang menggunakan AI untuk mendiagnosis penyakit atau mendukung terapi, perusahaan asuransi memanfaatkannya untuk satu hal: memutuskan apakah klaim pasien dianggap layak.

Salah satu contoh paling umum adalah prior authorization. Dokter harus mendapatkan persetujuan asuransi sebelum memberi layanan. Proses ini kini banyak diserahkan pada algoritma yang menilai apakah tindakan medis itu “secara medis diperlukan”.

Masalah muncul ketika AI dipakai bukan untuk mempercepat layanan, melainkan untuk menunda atau menolak klaim. Studi dari American Medical Association (AMA) 2024 menemukan peningkatan signifikan dalam penolakan klaim yang diputuskan melalui sistem otomatis. Ironisnya, hanya 1 dari 500 pasien yang mengajukan banding, sebagian karena proses banding bisa memakan waktu bertahun-tahun dan biaya besar.

“Banyak lansia yang telah puluhan tahun membayar premi kini menghadapi amputasi atau kanker, dan terpaksa memilih: membayar perawatan sendiri atau hidup tanpa pengobatan,” tulis STAT News dalam laporan investigasinya.

Ketidakadilan Sistemik

Bukti menunjukkan kelompok rentan lebih sering menjadi korban. Penelitian Loyola University Chicago Law Journal mengungkap pasien dengan penyakit kronis paling berisiko ditolak. Studi lain di International Journal of Environmental Research and Public Health (2022) mencatat kelompok kulit hitam, Hispanik, serta komunitas LGBT lebih sering mengalami penolakan klaim dibanding kelompok lain.

Selain itu, mekanisme AI yang tidak transparan menambah kecurigaan. Perusahaan asuransi menolak membuka cara kerja algoritmanya, dengan alasan rahasia dagang. Transparansi nol ini berarti publik tidak tahu apakah keputusan diambil berdasarkan kebutuhan medis atau murni efisiensi biaya.

Regulasi yang Mandek

Berbeda dengan perangkat medis berbasis AI yang wajib melewati uji Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), algoritma asuransi tak tunduk aturan serupa. Centers for Medicare & Medicaid Services (CMS) memang sudah mengeluarkan aturan agar keputusan mempertimbangkan kondisi individu pasien, namun implementasinya masih lemah.

Beberapa negara bagian seperti California, Colorado, dan Texas telah merancang undang-undang baru. California bahkan mewajibkan dokter berlisensi mengawasi penggunaan algoritma dalam memutuskan klaim. Meski begitu, aturan ini masih memberi ruang luas bagi perusahaan untuk mendefinisikan sendiri standar “kebutuhan medis”.

Banyak pakar hukum kesehatan menilai hanya FDA yang memiliki kapasitas dan otoritas nasional untuk mengawasi algoritma asuransi. “FDA punya tenaga ahli medis yang bisa menilai kelayakan sistem ini sebelum digunakan. Tanpa regulasi federal, yang kita dapat hanyalah tambal-sulam aturan,” tulis Jennifer D. Oliva, pakar hukum kesehatan dari Indiana University.

Nyawa di Ujung Polis

Realitas ini menempatkan pasien dalam posisi rapuh. Ketika AI menolak klaim, pilihan yang tersisa tidak realistis: membayar biaya medis yang selangit atau menunggu banding yang bisa berlangsung lebih lama dari usia pasien itu sendiri.

Tren ini mempertegas dilema apakah teknologi yang digadang-gadang membawa efisiensi justru menjadi alat bagi perusahaan asuransi untuk menekan biaya dengan mengorbankan kesehatan publik.


Digionary:

● Algorithm (Algoritma) – Serangkaian instruksi logis yang dijalankan komputer untuk membuat keputusan.
● AI (Artificial Intelligence) – Teknologi yang memungkinkan komputer meniru kecerdasan manusia, termasuk dalam analisis data dan pengambilan keputusan.
● Appeal (Banding) – Proses hukum/administratif ketika pasien menentang keputusan penolakan klaim asuransi.
● CMS (Centers for Medicare & Medicaid Services) – Lembaga federal AS yang mengatur program Medicare dan Medicaid.
● FDA (Food and Drug Administration) – Badan pengawas obat dan makanan AS yang juga mengatur perangkat medis.
● Medicare Advantage – Program asuransi kesehatan privat yang dijalankan dalam kerangka Medicare.
● Medical Necessity (Kebutuhan Medis) – Penilaian apakah suatu layanan medis diperlukan secara klinis.
● Prior Authorization – Prosedur persetujuan asuransi sebelum pasien menerima perawatan medis.
● Trade Secret (Rahasia Dagang) – Informasi bisnis yang dirahasiakan perusahaan untuk melindungi keunggulan kompetitif.

#Asuransi #AI #KecerdasanBuatan #Kesehatan #HealthInsurance #DigitalHealth #Medicare #Medicaid #FDA #PriorAuthorization #MedicalNecessity #HealthcarePolicy #KeadilanKesehatan #Algoritma #InsurTech #Pasien #HealthcareReform #DataPrivacy #RegulasiAI #FutureOfHealthcare

Comments are closed.