
Di tengah arus besar digitalisasi keuangan yang menjanjikan efisiensi dan inklusi, muncul ironi baru dimana generasi yang paling akrab dengan dunia digital, yakni Gen Z dan milenial, justru mulai mempraktikkan ‘detoks digital’ alias ‘digital detox’. Tak sedikit dari mereka meninggalkan smartphone dan kembali ke handphone jadul. Fenomena ini agaknya bukan sekadar tren gaya hidup, tetapi gejala awal dari kegagalan desain sistem digital yang terlalu eksploitatif dan boleh dibilang minim empati. Ada paradoks digitalisasi. Dunia perbankan, terutama di Indonesia yang sedang agresif mengakselerasi digitalisasi, tampaknya harus segera melakukan koreksi arah, yakni dari digitalisasi kuantitatif menuju digitalisasi yang etis, dibangun dengan kesadaran yang lebih humanis.
Fokus utama:
- Fenomena digital detox di kalangan generasi muda: Gen Z dan milenial mulai menjauh dari media sosial dan aplikasi digital karena kelelahan, stres, dan dampak negatif kesehatan mental.
- Tantangan untuk perbankan digital di Indonesia: Strategi digital bank saat ini dianggap manipulatif dan invasif oleh pengguna muda, sehingga perlu bertransformasi menuju pendekatan yang lebih empatik dengan kesadaran dan lebih humanis.
- Solusi menuju digitalisasi keuangan humanis: Perbankan didorong mengadopsi prinsip desain etis, sentuhan manusia (human touch), penggunaan AI yang edukatif, dan regulasi perlindungan data untuk membangun kepercayaan digital jangka panjang.
Riset terbaru dari Eropa dan Amerika Utara mengungkap gejala kelelahan digital (digital fatigue) sebagai faktor utama yang memicu tren ‘digital detox’ di kalangan Gen Z dan milenial. Mereka mulai menolak notifikasi, melepas aplikasi, dan memilih ketenangan. Ini adalah bentuk ‘protes diam’ terhadap model platform digital yang dirancang untuk membuat penggunanya kecanduan, bukan berdaya.
Sebuah startup asal Belanda, The Offline Club, mencoba menjawab keresahan ini dengan menginisiasi pertemuan tatap muka tanpa gawai, mendorong gerakan ‘digital detox’ yang kini merambah beberapa kota besar di Eropa. Tren ini sejalan dengan dorongan kebijakan pemerintah beberapa negara untuk membatasi penggunaan media sosial demi menjaga kesehatan mental generasi muda.
Data dari asosiasi industri teknologi Jerman, Bitkom, pada akhir 2024 mengungkap bahwa usia 16-29 tahun menghabiskan lebih dari tiga jam setiap hari dengan ponsel pintar mereka — durasi tertinggi dibandingkan kelompok umur lain. Bahkan, survei terbaru yang dipublikasikan British Standards Institution (BSI) mengungkap, hampir 70% anak muda berusia 16-21 tahun mengaku merasa lebih buruk saat menghabiskan waktu di media sosial. Sebanyak 50% dari mereka mendukung aturan jam malam digital yang membatasi akses aplikasi tertentu setelah pukul 22.00, sementara 46% berharap bisa tumbuh dewasa tanpa internet. Riset sejenis yang dilakukan Harris Polls di Amerika Serikat menambah gambaran serupa, di mana banyak anak muda berharap TikTok, Instagram, atau platform seperti X (dulu Twitter) tak pernah diciptakan.
Batasi penggunaan medsos
Menanggapi keresahan ini, sejumlah negara mulai mengatur penggunaan media sosial. Inggris bahkan mempertimbangkan kebijakan jam malam digital, sementara Norwegia menaikkan batas usia pengguna media sosial dari 13 menjadi 15 tahun. Australia lebih jauh lagi, menetapkan batas usia 16 tahun untuk akses platform sosial media. Di Denmark, larangan membawa perangkat digital di halaman sekolah telah diterapkan sebagai langkah menekan gangguan belajar dan masalah kesehatan mental.
Berbagai studi menghubungkan penggunaan ponsel berlebihan dengan gangguan kesehatan mental, mulai dari depresi, kecemasan, stres, gangguan tidur, hingga perilaku adiktif. Sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal BMC Medicine menunjukkan bahwa gejala depresi dapat menurun 27% setelah tiga minggu pengurangan pemakaian ponsel pintar. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melaporkan penurunan drastis kesehatan mental anak muda dalam 15 tahun terakhir, yang diperburuk oleh pandemi COVID-19 dan peningkatan penggunaan media digital, walau hubungan sebab-akibatnya masih membutuhkan kajian lebih lanjut.
Penurunan trust dan engagement
Jika tren ‘digital detox’ merambat ke Asia, khususnya Indonesia, maka platform digital keuangan—termasuk super app bank dan fintech—berisiko mengalami penurunan trust dan engagement dari segmen pengguna masa depan mereka. Digitalisasi perbankan yang saat ini difokuskan pada user acquisition dan transaksi tanpa sentuhan personal, akan kehilangan daya tarik jika tidak dibarengi pendekatan mindful dan bernilai.
Beberapa bank digital di Indonesia masih mengandalkan strategi notifikasi harian—dari reminder tabungan, promosi paylater, hingga dorongan investasi reksadana. Strategi ini mulai dipandang sebagai gangguan, bukan layanan. Sebagai informasi saja, studi internal salah satu bank digital menunjukkan CTR alias click through rate push notification menurun hingga 40% dalam 6 bulan terakhir. Sebagian besar pengguna mengeluhkan notifikasi berlebihan yang dianggap manipulatif.
Pengguna muda di Indonesia juga mulai mempertanyakan ‘rekomendasi cerdas’ yang muncul dalam aplikasi, terutama ketika teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) terlalu agresif menyarankan produk pinjaman tanpa edukasi risiko. Dalam survei oleh Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), 33% responden usia 18-30 tahun menyatakan khawatir akan transparansi sistem AI yang digunakan perusahaan-perusahaan fintech.
Respons atas ‘digital detox’
Sektor keuangan Indonesia sejatinya bisa memilih untuk menjadi pelopor regional dalam membentuk ekosistem digital yang manusiawi. Ini perlu dan urgent dilakukan bila bank tak mau ditinggalkan atau kehilangan nasabahnya, khususnya dari segmen generasi muda.
Ada beberapa prinsip transformasi yang relevan yang bisa diaplikasikan perbankan di Indonesia sebagai respons munculnya gerakan ‘digital detox’.
Pertama, soal desain anti-adiktif dan pro-konsep mindfulness. UX/UI bukan hanya soal kemudahan, tapi juga niat. Hindari gamifikasi transaksi atau target harian yang mendorong konsumsi berlebihan. Alihkan ke model yang mengedukasi pengelolaan keuangan sehat. Terapkan ‘zen mode’ pada aplikasi perbankan – fitur yang membatasi notifikasi dan hanya menampilkan informasi penting yang ditentukan pengguna.
Kedua, hybrid human touchpoint. Revitalisasi cabang fisik sebagai lokasi interaksi bermakna, bukan sekadar transaksi. Gunakan sebagai pusat edukasi finansial dan literasi digital dengan pendekatan tatap muka. Contoh menarik adalah BRI yang melalui program ‘BRI Menyapa’ mulai menyiapkan cabang dengan layanan hybrid yang mengemas digital-first, human-assist, dengan fokus komunitas UMKM. Kiat ini tentu bisa diterapkan pada Gen Z dan milenial.
Ketiga, AI yang mendampingi, bukan mengarahkan. Teknologi AI yang diadopsi perbankan harus dipakai untuk memberdayakan pengguna, misalnya asisten AI yang bisa menjelaskan risiko pinjaman atau BOT edukasi keuangan yang bisa diajak “ngobrol” sebelum berinvestasi. Apa yang dilakukan Bank Jago rasanya pas, yakni mulai bereksperimen dengan fitur pengelompokan keuangan otomatis berbasis tujuan hidup, bukan sekadar kategori transaksi.
Keempat, tantangan untuk regulator dan OJK dalam membangun ekosistem etis. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Kominfo dapat memainkan peran penting dengan membuat regulasi desain digital yang etis. Batasi desain adiktif (misalnya notifikasi transaksional yang tidak penting) serta mewajibkan consent layer untuk AI dan pengumpulan data personal. Ini adalah mekanisme atau lapisan persetujuan yang dirancang agar pengguna secara sadar dan eksplisit memberikan izin sebelum sistem berbasis AI mengakses, mengolah, atau menggunakan data mereka — terutama dalam konteks layanan keuangan digital.
Meskipun di dalam Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indonesia yang diluncurkan OJK akhir April 2025 lalu tidak secara eksplisit menyebutkan istilah seperti ‘desain adiktif’ atau ‘consent layer’, prinsip-prinsip yang diusung sebenarnya sudah mencakup prinsip akuntabilitas, dimana setiap sistem AI harus dapat dipertanggungjawabkan secara menyeluruh.
Lalu soal transparansi. Proses dan keputusan yang dihasilkan oleh AI harus jelas, dapat dipahami, serta melibatkan pengawasan manusia (human oversight). Manusia tetap diperlukan untuk memastikan keputusan AI sesuai dengan nilai-nilai etis dan regulasi yang berlaku.
Selain itu, panduan yang disusun,OJK ini mengacu pada berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan, termasuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, yang menekankan pentingnya persetujuan eksplisit dari pengguna sebelum data pribadi mereka digunakan.
Jadi, meskipun tidak secara spesifik mengatur tentang desain adiktif atau consent layer, tata kelola AI perbankan OJK menekankan pentingnya prinsip-prinsip etika, transparansi, dan perlindungan data pribadi dalam penerapan AI di sektor perbankan. Dengan demikian, regulator seperti OJK, Bank Indonesia, dan Kominfo memiliki dasar untuk mendorong praktik desain digital yang etis dan bertanggung jawab melalui aturan-aturan yang sudah ada.
Kemudian, terkait ‘digital detox’, perlu adanya inisiatif keuangan inklusif yang tidak digital-centric. Ini bisa diwujudkan denga mendorong perbankan dan fintech tetap menyediakan kanal layanan non-digital, terutama bagi masyarakat rentan teknologi. Selain itu, ini sangat urgent, harus ada standarisasi indeks kepercayaan digital. Selain itu perlu ada publikasi ‘digital trustworthiness’ bank dan fintech berdasarkan transparansi algoritma, perlindungan data, dan pengalaman pengguna.
Kelima, tren ‘digital detox’ sebenarnya bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk membangun industri keuangan digital yang humanis dan resilien. Dengan populasi Gen Z terbesar ke-4 di dunia, Indonesia dapat mengambil peran kepemimpinan dalam mendefinisikan ulang model digitalisasi keuangan, dari efisiensi menuju ke empati, dari konektivitas tanpa henti menuju ke koneksi bermakna, dan dari eksploitasi atensi menuju ke pemberdayaan digital.
Benang merah yang bisa kita tarik dari uraian di atas adalah premis bahwa masa depan digital bukan tentang bagaimana menjadi lebih canggih, melainkan tentang bagaimana menjadi lebih bermakna.
Kita mesti sepakat digitalisasi bukan sekadar soal kecepatan dan automasi. Ia akan kehilangan legitimasi jika tidak bisa menumbuhkan kepercayaan, ketenangan, dan relevansi pada manusia yang dilayaninya. Sekaranglah saatnya sektor keuangan Indonesia, utamanya perbankan dan fintech, bergerak ke fase berikutnya, yakni menggerakkan digitalisasi yang tidak grasah-grusuh. Digitalisasi yang dibangun dengan kesadaran dan lebih berpihak pada manusia. ■
Digionary:
- Digital Detox: Proses mengurangi atau berhenti sementara dari penggunaan perangkat digital untuk memulihkan kesehatan mental dan keseimbangan hidup.
- Digital Fatigue: Kelelahan mental dan emosional akibat penggunaan teknologi digital secara berlebihan.
- Zen Mode: Fitur dalam aplikasi yang membatasi notifikasi dan hanya menampilkan informasi penting untuk meningkatkan fokus dan ketenangan.
- Mindful Design: Pendekatan desain aplikasi yang mempertimbangkan kesejahteraan dan kenyamanan pengguna, bukan hanya keterlibatan terus-menerus.
- Gamifikasi: Teknik menggunakan elemen permainan (seperti poin, target harian) dalam aplikasi untuk mendorong perilaku pengguna, yang bisa memicu kecanduan.
- Click Through Rate (CTR): Persentase pengguna yang mengklik notifikasi atau tautan dari total yang melihatnya, digunakan untuk mengukur efektivitas pesan digital.
- Hybrid Human Touchpoint: Strategi layanan yang menggabungkan teknologi digital dengan interaksi manusia secara langsung.
- Consent Layer: Mekanisme perizinan eksplisit yang meminta persetujuan pengguna sebelum data pribadi diproses oleh sistem AI.
- Digital Trustworthiness: Indeks atau ukuran tingkat kepercayaan terhadap platform digital berdasarkan keamanan, transparansi, dan pengalaman pengguna.
- AI Edukatif: Kecerdasan buatan yang dirancang untuk mendampingi dan memberi pemahaman kepada pengguna, bukan hanya untuk menjual produk.
- Digital Disenchantment: Rasa kecewa atau bosan terhadap dunia digital akibat pengalaman negatif atau terlalu banyak eksposur.
- Fintech: Singkatan dari financial technology, yaitu inovasi teknologi di sektor keuangan seperti pinjaman online, e-wallet, dan investasi digital.
- Super App: Aplikasi multifungsi yang menggabungkan berbagai layanan seperti transaksi, pinjaman, investasi, dan edukasi finansial dalam satu platform.
- Human-Assist: Layanan digital yang tetap melibatkan bantuan langsung dari manusia, misalnya customer service hybrid.
- Inklusif Non-Digital: Pendekatan layanan keuangan yang tidak hanya tersedia dalam bentuk digital, untuk menjangkau kelompok masyarakat rentan teknologi.
*) Deddy H. Pakpahan, senior editor digitalbank.id.