Banyak perusahaan global, termasuk di Indonesia berinvestasi besar untuk mengadopsi kecerdasan artifisial (AI), namun hanya sedikit sekali yang memperoleh hasil nyata alias berdampak positif pada bisnisnya. Kesalahan utamanya bukan pada teknologinya, melainkan pada siapa yang memimpinnya. Terlalu banyak organisasi menempatkan pakar teknis tanpa visi bisnis untuk memimpin transformasi AI—menciptakan proyek yang canggih di atas kertas, tapi gagal menciptakan nilai nyata bagi perusahaan, apalagi untuk masyarakat.
Fokus Utama:
1. Kegagalan AI di perusahaan Indonesia sering disebabkan oleh salah kaprah dalam kepemimpinan digital — bukan oleh teknologinya.
2. Pemimpin AI yang ideal bukan hanya ahli teknis, tapi mampu menjembatani teknologi dan strategi bisnis.
3. Indonesia memerlukan “AI Transformers” yang dapat mengubah potensi teknologi menjadi nilai ekonomi dan sosial yang terukur.
Banyak proyek AI di perusahaan Indonesia, termasuk perbankan, gagal karena salah memilih pemimpin digital. Artikel ini mengulas mengapa keberhasilan transformasi AI tidak ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh kepemimpinan yang mampu menjembatani inovasi dan bisnis.
Di ruang-ruang rapat perusahaan besar Indonesia, kata “AI” kini menggema seperti mantra baru bisnis. Dari bank hingga BUMN, dan tak ketinggalan swasta, semua berlomba memasukkan kecerdasan artifisial ke dalam strategi digital mereka. Namun, di balik euforia itu, muncul ironi dimana sebagian besar proyek AI gagal menghasilkan nilai nyata.
Laporan Kearney (2024) menunjukkan, lebih dari 65% perusahaan di Asia Tenggara—termasuk Indonesia—belum mampu mengeksekusi strategi AI hingga tahap komersial. Banyak yang berhenti di level “proof of concept” atau pilot project. Sebagian besar perusahaan terjebak di tahap percobaan tanpa kejelasan arah bisnis.
Kesalahan utamanya, bukan pada teknologinya, melainkan pada siapa yang memimpin transformasi tersebut. Banyak organisasi di Indonesia, termasuk perbankan di dalamnya, mempercayakan proyek AI kepada chief technology officer (CTO) atau data scientist senior—sosok yang mumpuni secara teknis, tapi sering kali minim naluri bisnis. Akibatnya, muncul kesenjangan besar antara kecanggihan teknologi dan realitas bisnis. Ini yang membuat AI menjadi tidak berdampak.
Kesalahan klasik ini menciptakan apa yang disebut para analis sebagai “strategic discord”: proyek AI yang secara teknis brilian tapi gagal menghasilkan nilai tambah bagi perusahaan. Contohnya, beberapa bank digital di Indonesia telah mengembangkan chatbot berbasis generatif AI dengan biaya miliaran rupiah, namun akhirnya ditinggalkan pengguna karena tidak relevan dengan kebutuhan nasabah.
Kalau kata Fajrin Rasyid, Direktur Digital Business Telkom Indonesia, dalam sebuah forum AI di Jakarta baru-baru ini, AI bukan sekadar soal model atau algoritma, melainkan tentang bagaimana teknologi itu mengubah keputusan bisnis. AI membutuhkan pemimpin yang memahami dua bahasa, yakni bahasa teknologi dan bahasa nilai bisnis. Sosok ini disebut para konsultan sebagai “Transformer”—pemimpin yang mampu menjembatani kecerdasan mesin dengan strategi korporasi.
Tiga Tipe Pemimpin AI
Menurut penelitian Egon Zehnder [firma global yang menyediakan layanan seperti pencarian CEO dan eksekutif, konsultasi dewan direksi, perencanaan suksesi, dan pengembangan kepemimpinan, dan dikenal sebagai salah satu firma penasihat kepemimpinan dan pencarian eksekutif terbesar di dunia] ada tiga arketipe utama pemimpin AI, yakni:
● Shaper, sang visioner yang membangun arah strategis dan membayangkan masa depan AI.
● Builder, sang ilmuwan yang fokus pada inovasi dan pengembangan model AI.
● Transformer, sang penghubung antara teknologi dan eksekusi bisnis.
Dari ketiganya, Transformer adalah sosok yang paling langka sekaligus paling krusial—terutama di Indonesia, di mana banyak organisasi masih terjebak dalam silo antara tim IT dan tim bisnis.
Kondisi ini terlihat jelas di perusahaan milik negara (BUMN) dan lembaga keuangan. Banyak dari mereka merekrut “AI Head” atau “Chief Data Officer” dengan latar belakang kuat di ilmu komputer, tapi tanpa pengalaman mengelola perubahan bisnis. Akibatnya, inisiatif AI sering berhenti di laporan PowerPoint—lengkap dengan terminologi machine learning, tapi tanpa arah implementasi.
Studi World Economic Forum (2025) menunjukkan, 70% pemimpin perusahaan di Indonesia menganggap AI penting untuk efisiensi, tetapi hanya 26% yang memiliki strategi adopsi yang jelas dan terukur. Lebih buruk lagi, hanya 18% perusahaan yang memiliki program pelatihan kepemimpinan digital untuk manajernya.
Tanpa pemimpin yang mampu mengintegrasikan AI ke inti bisnis—mulai dari strategi penjualan hingga manajemen risiko—organisasi hanya akan “berlari di tempat” dengan teknologi.
AI Bukan Tentang Tools, Tapi Tentang Manusia
AI bukan hanya soal menginstal sistem baru atau membeli model generatif canggih. Ia adalah perubahan budaya organisasi. Dan seperti setiap perubahan budaya, keberhasilannya tergantung pada kepemimpinan.
Para ahli menyebutnya human-centric AI transformation—transformasi yang menempatkan manusia sebagai pusat, bukan sekadar pengguna. Pemimpin yang berhasil adalah mereka yang mampu mengajak tim lintas fungsi—IT, marketing, finance, hingga human resources—berkolaborasi dan bereksperimen tanpa rasa takut gagal.
Di Indonesia, inilah tantangan terbesar. Banyak pemimpin masih berpikir bahwa AI adalah urusan teknis, bukan strategi. Padahal tanpa arah bisnis yang jelas, teknologi secanggih apa pun akan jadi mahal tanpa hasil.
Indonesia membutuhkan generasi baru pemimpin—AI Transformers—yang mengerti cara menerjemahkan data menjadi keputusan, dan algoritma menjadi pertumbuhan. Mereka bukan hanya “pengguna teknologi”, melainkan arsitek perubahan.
Pemerintah sebenarnya mulai menyadari kebutuhan ini. Kementerian Kominfo dan BRIN tengah mendorong inisiatif AI Talent Development 2025 untuk mencetak 10.000 profesional AI dengan kemampuan manajerial dan strategis, bukan hanya teknis. Namun tanpa perubahan paradigma di level pimpinan perusahaan, hasilnya bisa kembali stagnan. Transformasi AI yang berhasil membutuhkan bukan sekadar perangkat, melainkan pola pikir baru. Karena pada akhirnya, transformasi AI bukanlah alat, melainkan tentang manusia.
Digionary:
● AI (Artificial Intelligence): Teknologi kecerdasan buatan yang memungkinkan sistem belajar dan mengambil keputusan seperti manusia.
● Transformer: Pemimpin yang mampu menghubungkan teknologi AI dengan strategi bisnis.
● Shaper: Visioner yang membangun arah strategis penggunaan AI.
● Builder: Ilmuwan atau teknolog yang fokus mengembangkan model AI.
● Proof of Concept (PoC): Tahap uji coba awal sebelum implementasi besar.
● Silo: Kondisi di mana unit kerja dalam organisasi bekerja terpisah tanpa kolaborasi.
● Human-centric AI: Pendekatan transformasi AI yang menempatkan manusia sebagai pusat strategi.
● Kearney Report: Laporan riset global tentang kesiapan digital dan AI di kawasan Asia Tenggara.
● AI Governance: Tata kelola kebijakan dan etika penggunaan kecerdasan buatan.
● BRIN: Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia.
#TransformasiDigital #ArtificialIntelligence #AIIndonesia #KepemimpinanDigital #InovasiTeknologi #StrategiBisnis #TeknologiAI #DigitalLeadership #AITransformation #BisnisMasaDepan #WorldEconomicForum #EgonZehnder #BRIN #Kominfo #AITransformer #DataDriven #MachineLearning #HumanCentricAI #DigitalCulture #FutureOfWork
