Piyush Gupta, mantan CEO DBS, memperingatkan bahwa AI berpotensi menggantikan banyak pekerjaan perbankan dalam jangka pendek, namun menekankan pentingnya reskilling, etika, dan regulasi untuk mengelola transisi ini secara bertanggung jawab demi masa depan sektor keuangan yang berkelanjutan.
Fokus Utama:
■ Disrupsi Pekerjaan Perbankan oleh AI: Integrasi 1.500 model AI di DBS mengubah landscape pekerjaan, dengan potensi displacement besar-besaran pada pekerjaan white-collar.
■ Strategi Transisi dan Reskilling: Pengalaman DBS mereskill 1.000 dari 1.200 karyawan yang terdampak otomatisasi menjadi bukti keberhasilan transisi tenaga kerja.
■ Imperatif Etika dan Regulasi: Kebutuhan mendesak untuk guardrail etis seperti FEAT Principles dan AI Model Risk Management guidelines dari MAS.
Mantan CEO DBS Piyush Gupta ungkap dampak riil AI pada pekerjaan perbankan & strategi reskilling sukses ala DBS. Baca analisis lengkap masa depan sektor finansial.
Boleh jadi ini adalah peringatan yang jarang terdengar dari mantan petinggi perbankan. Piyush Gupta secara terbuka mengakui apa yang selama ini menjadi kekhawatiran banyak karyawan sektor finansial: artificial intelligence (AI) memang akan mengambil alih banyak pekerjaan yang kita kenal saat ini. Namun mantan CEO DBS Group ini menawarkan resep nyata untuk bertahan dari badai disrupsi yang tak terelakkan.
“Sangat tidak logis untuk percaya bahwa dalam jangka pendek, AI justru akan menggantikan banyak pekerjaan yang kita kenal,” ujar Gupta dalam kuliahnya sebagai S R Nathan Fellow ke-17 di Institute of Policy Studies seperti dikutip Business Times, akhir pekan ini.
Pernyataan blak-blakan ini datang dari sosok yang selama 14 tahun memimpin transformasi digital salah satu bank terbesar Asia Tenggara. Di bawah kepemimpinannya, DBS telah menggunakan 1.500 model AI di hampir 400 kasus bisnis berbeda—mulai dari manajemen risiko, finansial, pemasaran, hingga audit dan compliance. Skala adopsi yang masif ini memberikan Gupta perspektif unik tentang dampak riil AI terhadap masa depan pekerjaan.
Anatomi Disrupsi Pekerjaan White-Collar
Gupta memetakan dengan gamblang bagaimana AI menggerogoti pekerjaan kerah putih. “Pekerjaan white-collar biasanya melibatkan empat aktivitas: membaca, mensintesis, memproduksi output, dan mengambil tindakan. AI semakin mampu di semua area ini, sering kali lebih baik daripada manusia.”
Bahkan tugas-tugas yang dianggap kompleks seperti membuat presentasi, akuntansi, dan distribusi kini sudah bisa ditangani AI dengan hasil yang memadai. Realitas inilah yang membuat Gupta yakin bahwa displacement pekerjaan dalam skala besar bukan lagi sekadar ancaman, melainkan keniscayaan yang harus dihadapi.
Bukti Keberhasilan Reskilling Massal
Namun Gupta tidak hanya membawa kabar buruk. Dia membagikan pengalaman sukses DBS dalam melakukan reskilling massal. “Pada 2016, ketika DBS memulai digitalisasi, kami mengidentifikasi 1.200 pekerjaan untuk diotomatisasi. Kami mereskill semua pekerja yang terlibat dan menemukan pekerjaan yang sesuai—200 keluar dan pensiun sementara 1.000 bertransisi.”
Angka keberhasilan 83% ini menjadi bukti bahwa transisi tenaga kerja yang manusiawi sangat mungkin dilakukan. Kuncinya, menurut Gupta, adalah komitmen serius pada reskilling dan keterbukaan dengan serikat pekerja serta staf sejak dini.
Evolusi Keterampilan yang Diperlukan
Yang menarik, Gupta mencatat pergeseran cepat dalam jenis keterampilan yang dibutuhkan. “Lima tahun lalu, coding diidentifikasi sebagai area dengan kekurangan keterampilan terbesar. Dalam dua tahun terakhir, semua perusahaan teknologi berhenti mempekerjakan koder.”
Era spesialisasi domain memudar. Masa depan akan menjadi milik orang-orang yang dapat membangun konteks, melihat ke horison, menemukan solusi, dan menyatukan berbagai hal. Kemampuan sintesis dan strategis menjadi lebih berharga daripada keahlian teknis sempit.
Tantangan Etika dan Regulasi
Di balik efisiensi yang ditawarkan AI, Gupta mengingatkan risiko etika yang mengintai. “Ketika kami membangun model AI yang dapat mendiskriminasi lebih baik daripada manusia, itu dapat menyebabkan red-lining, atau pengingkaran layanan kepada segmen populasi tertentu berdasarkan data dan analitik.”
Untuk mengatasi ini, Monetary Authority of Singapore (MAS) dan industri telah membangun kerangka regulasi seperti FEAT Principles dan Artificial Intelligence Model Risk Management guidelines. Project Mindforge juga dikembangkan untuk memastikan penggunaan generative AI yang bertanggung jawab di industri jasa keuangan.
Bagi Gupta, masa depan perbankan bukanlah pilihan antara manusia atau mesin, tetapi bagaimana menciptakan simbiosis yang saling melengkapi. “Dengan kemitraan yang erat, kita dapat menciptakan kembali keuangan dengan AI dengan cara yang membangun kepercayaan dan melayani masyarakat secara bertanggung jawab.”
Digionary:
● Displacement Pekerjaan: Penggantian tenaga kerja manusia oleh teknologi atau automasi.
●FEAT Principles: Prinsip Fairness, Ethics, Accountability, and Transparency dalam penggunaan AI di sektor finansial.
●Red-lining: Praktik penolakan layanan kepada kelompok tertentu berdasarkan analisis data yang diskriminatif.
●Reskilling: Propelatihan ulang karyawan untuk menguasai keterampilan baru yang relevan dengan perkembangan teknologi.
PiyushGupta #AI #Perbankan #DBS #DisrupsiTeknologi #FutureOfWork #Reskilling #EtikaAI #SektorFinansial #TransformasiDigital #MonetaryAuthorityOfSingapore #FEATPrinciples #ProjectMindforge #Ketenagakerjaan #Otomatisasi #Digitalisasi #EconomicOutlook #FinancialServices #AIregulation #WorkforceTransition
