Membedah Krisis Komunikasi Bank Digital di Era AI

- 2 Desember 2025 - 16:57

Oleh Safaruddin Husada

Ketika Kecepatan, Kejujuran, dan Konsistensi Menjadi Penyelamat Terakhir Industri Berbasis Kepercayaan. Dalam industri perbankan digital, krisis tidak lagi datang seperti badai besar yang memberi tanda—ia hadir seperti notifikasi yang tidak pernah kita tunggu: tiba-tiba, real-time, dan langsung menggerus kepercayaan publik dalam menit pertama.


Satu glitch, satu outage BI-FAST, satu kesalahan autodebit, atau satu rumor deepfake tentang data bocor… dan reputasi bank bisa merosot lebih cepat daripada volatilitas kripto.

Dalam situasi seperti ini, teori-teori klasik komunikasi krisis kembali relevan. Apa yang dialami Zulkifli Hasan Menteri Koordinator Bidang Pangan RI baru-baru ini — dihujani atribusi, didesak menjelaskan masa lalu, dan dipaksa menata ulang narasi — adalah gambaran paling jujur tentang bagaimana publik membaca krisis hari ini: bukan sekadar apa yang terjadi, tetapi siapa yang dianggap bersalah, seberapa besar kendalinya, dan apakah penjelasannya konsisten.

Hal yang sama terjadi pada bank digital. Bedanya, industri ini beroperasi di ruang yang jauh lebih keras dan dingin: ruang keuangan, di mana trust adalah mata uang.

Atribusi Itu Kejam—Dan Bank Digital Selalu “Dianggap Bersalah” Sejak Awal

Mengutip W. Timothy Coombs, publik akan selalu menilai tiga hal dalam krisis:

  1. Locus — siapa penyebabnya
  2. Controllability — apakah bisa dikendalikan
  3. Stability — apakah ini pola berulang

Masalahnya:
Bank digital selalu dinilai high responsibility dan high controllability.
Kalau server down, publik menganggap bank “bisa mencegah itu”.
Kalau ada fraud, publik menganggap bank “pasti kecolongan”.
Kalau ada isu data bocor, publik merasa “bank harusnya paling aman”.

Padahal sebagian gangguan terjadi di luar bank—mulai dari switching, penjahat siber lintas negara, sampai deepfake yang meniru suara atau wajah staf bank.

Namun di mata publik?
“Pokoknya salah bank.”

Di sinilah strategi respons menjadi pembeda antara bank digital yang selamat atau tenggelam.

Mengapa Banyak Bank Gagal Menangani Krisis? Jawabannya: Strategi Mereka Campur Aduk

Kesalahan terbesar dalam krisis—baik politisi maupun bank—selalu sama: tolong jangan gunakan semua strategi sekaligus.

Zulkifli Hasan melakukan mixing strategy: kadang menolak, kadang minta dimengerti, kadang menyalahkan masa lalu, kadang membanggakan kinerja hari ini.

Dalam konteks bank digital, pola ini sering muncul ketika:

  • outage terjadi → bank salahkan “sibuk nasional”
  • keluhan meningkat → posting klarifikasi setengah matang
  • fraud meluas → bank bilang “terjadi di pihak ketiga”
  • isu data bocor → bilang “kami sedang menyelidiki”

Campuran denial + excuse + klarifikasi setengah + bolstering adalah resep krisis reputasi yang lebih parah.

Coombs sangat jelas:

  • Jika kesalahan sistemik atau preventable, gunakan full apology + corrective action.
  • Jika accidental, gunakan excuse + technical explanation.
  • Jika faux pas, gunakan clarification + transparency.

Tidak perlu dipoles berlebihan. Tidak perlu menyerang balik pengguna (ini sering terjadi di industri teknologi).

Bank digital bukan hanya perlu jujur—tetapi konsisten antara besarnya kerusakan dan jenis respons.

Outage, Fraud, dan Deepfake: Trio Baru Krisis Bank Digital

Tiga jenis krisis ini yang paling sering membuat reputasi bank digital runtuh:

1. Outage (Gangguan Layanan)

Contoh global:
Revolut, Chime, Wise, DBS Singapore—semuanya pernah tumbang di jam-jam genting.

Pelajaran:

  • Kecepatan penyampaian info jauh lebih penting daripada kecepatan perbaikan.
  • Status update setiap 30 menit jauh lebih dihargai daripada diam selama 6 jam lalu muncul dengan “mohon maaf atas ketidaknyamanan”.

2. Fraud Berbasis AI

Deepfake CFO Hong Kong yang menipu perusahaan US$25 juta adalah sinyal keras.
Di Indonesia, penipu mulai memakai AI voice-cloning meniru “call center bank”.

Solusinya:
verifikasi berbasis watermark suara, kanal resmi, dan sistem AI authenticity alert.

3. Misinformasi / Rumor Data Bocor

Di era TikTok, rumor menyebar lebih cepat dari klarifikasi.
Bahkan jika masalah terjadi pada vendor, publik tetap menyalahkan bank.

Pelajaran dari Capital One (AS):
respons 24 jam + root cause explanation = trust kembali.

Strategi Meredam Krisis Bank Digital di Era AI

1. Pre-Crisis: Bangun Tembok Sebelum Serangan Datang

  • AI early warning system untuk mendeteksi sentimen & anomali transaksi
  • simulasi krisis ala EBA/EU
  • SOP krisis yang wajib dieksekusi dalam menit, bukan jam
  • public status page seperti standar global (seperti yang dipakai Stripe, Cloudflare, Monzo)

Bank digital Indonesia seharusnya mulai punya “Pusat Kendali Krisis sehari-hari”, bukan hanya tim ad-hoc.


2. During Crisis: Lakukan Ini Dalam 10 Menit Pertama

A. Rilis holding statement cepat:

  • jujur, to the point
  • jelaskan apakah gangguan nasional
  • komitmen update berkala

B. Jangan menyalahkan pihak mana pun dulu.
Tunggu investigasi, baru jelaskan akar masalah.

C. Tunjukkan empati, bukan defensif.

D. Transparansi teknis secukupnya:
Tidak semua nasabah paham “API error”, tapi mereka menghargai kejujuran.

3. Post-Crisis: Wajib Ada Rectification

Coombs menekankan: krisis hanya selesai ketika ada perbaikan.

Publik ingin:

  • audit pihak ketiga
  • laporan teknis
  • roadmap perbaikan
  • jaminan kompensasi bila layak

DBS Singapore menjadi contoh terbaik:
meski dihukum MAS, mereka melakukan public rectification dengan sangat jelas.

Jika bank digital hanya merilis “kami akan evaluasi”, itu bukan rectification—itu basa-basi.

Krisis Bukan Tentang Siapa yang Salah, Tapi Siapa yang Paling Bertanggung Jawab

Dalam industri yang beroperasi pada aset paling rapuh—kepercayaan—bank digital tidak bisa bersembunyi di balik template.

Kejujuran, konsistensi, empati, dan kecepatan adalah empat pilar reputasi baru.

Di era AI, krisis memang datang lebih cepat.
Tapi kemampuan bank untuk mengendalikan narasi juga bisa—asal mau berinvestasi pada struktur, sistem, dan keberanian untuk berbicara apa adanya.

Karena pada akhirnya, publik hanya ingin satu hal:
dipercaya, dihormati, dan diberi kejelasan—bahkan ketika situasinya sedang buruk.

DIGIONARY

  • agunan: aset yang dijaminkan untuk pembiayaan
  • AI early warning system: sistem deteksi dini berbasis AI
  • botnet fraud: serangan penipuan menggunakan jaringan bot otomatis
  • credit scoring model: model penilaian kredit berbasis data
  • deepfake scam: penipuan menggunakan wajah/suara palsu berbasis AI
  • digital footprint: rekam jejak digital nasabah
  • fraud detection engine: mesin deteksi penipuan
  • gearing ratio: rasio utang terhadap ekuitas
  • gross NPF: total pembiayaan bermasalah sebelum pencadangan
  • incident response team: tim respons krisis layanan
  • KYC (know your customer): proses verifikasi identitas nasabah
  • multiguna: pembiayaan untuk berbagai kebutuhan
  • non dealer: pembiayaan tidak melalui dealer kendaraan
  • NPF: non-performing financing
  • public expose: paparan kinerja perusahaan kepada publik
  • rectification plan: rencana perbaikan pascakrisis
  • syariah financing: pembiayaan berbasis prinsip syariah
  • yoy (year-on-year): perbandingan kinerja tahunan

#bankdigital #krisiskomunikasi #digitalbankid #keamanandigital #outagebanking #fraudAI #deepfake #fintechID #perbankanindonesia #cybersecurity #dataBocor #trustcrisis #SCCT #manajemenkrisis #digitaltrust #financialtechnology #perbankandigital #komunikasikrisis #AIsecurity #indonesiabankdigital

Penulis: Co-Founder digitalbank.id

Konsultan Komunikasi dan Riset Perbankan | cs.husada@gmail.com | WA: 081380579090.

Comments are closed.