Aftech Perkenalkan Kode Etik Terpadu 2025, Jawab Tantangan Fraud dan Kepercayaan Publik

- 8 Desember 2025 - 07:28

Menanggapi maraknya kasus penipuan dan pelanggaran etika, Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) meluncurkan Kode Etik Terintegrasi 2025. Inisiatif ini bertujuan memperkuat fondasi integritas, keamanan siber, dan perlindungan konsumen, sekaligus menyelaraskan standar perilaku di tengah kompleksitas bisnis digital yang terus berkembang.


Fokus Utama:

■ Konsolidasi delapan kode etik lama menjadi satu dokumen terpadu dengan 10 prinsip dasar universal untuk menciptakan standar perilaku seragam di seluruh industri.
■ Penguatan mekanisme penegakan melalui Dewan Etik dengan sistem pelaporan, sidang etik, dan hierarki sanksi yang lebih jelas dan proporsional.
■ Penyiapan kerangka etika yang futuristik untuk mengantisipasi risiko teknologi seperti AI dan meningkatkan daya saing fintech Indonesia di tingkat global.


Inovasi dan kisah sukses startup fintech selama satu dekade terakhir kini dibarengi dengan narasi suram soal penipuan, penyalahgunaan data, dan pelanggaran etika. Gelombang ketidakpercayaan publik mengancam masa depan sektor yang dianggap sebagai penopang inklusi keuangan ini. Menyikapi hal itu, Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mengambil langkah tegas dengan meluncurkan Kode Etik Terintegrasi 2025—sebuah upaya kolektif untuk membersihkan rumah dan membangun fondasi yang lebih kokoh untuk pertumbuhan yang berkelanjutan.

Industri financial technology (fintech) Indonesia tengah berada di persimpangan. Setelah tumbuh pesat dan menjangkau puluhan juta pengguna, sektor ini kini harus berhadapan dengan konsekuensi dari pertumbuhannya yang cepat: meningkatnya kasus penipuan (fraud), praktik bisnis yang tidak sehat, dan erosi kepercayaan. Dalam upaya membalikkan tren ini dan menata ulang tatanan industri, Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) secara resmi meluncurkan Kode Etik Terintegrasi 2025.

Peluncuran kode etik ini merupakan respons atas dinamika industri yang semakin kompleks. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per kuartal III-2025 mencatat masih tingginya volume pengaduan masyarakat terkait layanan fintech, terutama di segmen peer-to-peer (P2P) lending. Keluhan berkisar dari penagihan yang tidak etis, suku bunga tinggi, hingga praktik pinjaman ilegal. Di tingkat global, laporan LexisNexis Risk Solutions 2024 menyebutkan bahwa insiden fraud di sektor fintech meningkat sekitar 30@, didorong oleh kerentanan sistem digital yang dieksploitasi pelaku kejahatan.

“Kemajuan teknologi dan kompleksitas model bisnis digital menuntut standar etika, keamanan, dan tata kelola yang jauh lebih kuat,” tegas Ketua Umum Aftech, Pandu Sjahrir, dalam pernyataan resminya, Minggu (7/12). Kode etik baru ini, lanjutnya, merupakan komitmen kolektif anggota untuk memastikan industri tumbuh dengan fondasi integritas, kepatuhan, dan perlindungan konsumen.

Sebelumnya, Aftech memiliki delapan kode etik terpisah untuk berbagai subsektor seperti P2P lending, pembayaran digital, dan crowdfunding. Kode Etik Terintegrasi 2025 menyatukan semuanya dalam satu dokumen payung (omnibus) yang berisi sepuluh prinsip dasar universal. Prinsip-prinsip ini mencakup Integritas, Akuntabilitas, Manajemen Risiko, Perlindungan Data Pribadi, Keamanan Siber, Transparansi, Kepatuhan Hukum, Profesionalisme, Pelindungan Konsumen, dan Kontribusi Positif bagi Ekosistem. Harmonisasi ini menciptakan bahasa dan standar perilaku yang seragam, memuduhkan penerapan dan pengawasan di seluruh lini industri.

Sebuah kode etik hanya akan menjadi slogan tanpa mekanisme penegakan yang kredibel. Aftech memperkuat peran Dewan Etiknya dengan sistem self-regulation yang lebih robust. Mekanisme baru ini mencakup kewajiban pelaporan periodik dari anggota, prosedur sidang etik yang independen untuk menyelidiki dugaan pelanggaran, dan hierarki sanksi yang proporsional—mulai dari peringatan tertulis hingga rekomendasi pencabutan izin kepada OJK.

Selain itu, Aftech mengintegrasikan kepatuhan melalui Regulatory Compliance System (RCS) untuk pemantauan yang lebih real-time. “Tanpa kepercayaan masyarakat dan investor, inovasi teknologi dan industri fintech tidak akan mampu bertumbuh secara berkelanjutan,” tegas Ketua Dewan Etik Aftech, Harun Reksodiputro.

Kode etik ini tidak hanya dirancang untuk masalah saat ini, tetapi juga melihat ke depan. Dengan mengadopsi prinsip seperti Keamanan Siber dan Perlindungan Data, kerangka ini menyiapkan industri untuk menghadapi tantangan teknologi masa depan seperti kecerdasan buatan (AI), big data, dan aset kripto yang penggunaanannya kian meluas. Harun Reksodiputro menegaskan bahwa pembaruan tata kelola ini bertujuan meningkatkan kualitas dan daya saing industri secara menyeluruh.

“Dengan kode etik yang lebih komprehensif dan modern, industri fintech Indonesia dapat bergerak menuju standar global yang lebih tinggi dan berkembang secara bertanggung jawab,” ujarnya.

Langkah Aftech ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang memberikan peran strategis kepada asosiasi dalam menjaga ketahanan industri. Di tengah persaingan ketat dan tekanan regulasi, kode etik terpadu ini bisa menjadi modal penting bagi fintech lokal untuk tumbuh secara sehat dan bertanggung jawab.

Namun, jalan masih panjang. Keberhasilan inisiatif ini akan diuji oleh konsistensi implementasi di ribuan perusahaan anggota, serta kemampuannya menarik fintech di luar asosiasi untuk turut mematuhi standar yang sama. Setidaknya, dengan langkah ini, industri telah mengirimkan sinyal kuat: mereka serius membenahi diri untuk meraih kepercayaan yang lebih besar.


Digionary:

● Aftech: Asosiasi Fintech Indonesia, organisasi yang mewadahi dan mengatur perusahaan-perusahaan fintech di Indonesia.
● Fintech: Singkatan dari financial technology; inovasi layanan keuangan yang memanfaatkan teknologi modern.
● Fraud: Penipuan; tindakan melawan hukum untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah, sering terjadi dalam bentuk penipuan digital.
● Kode Etik: Pedoman tertulis yang berisi prinsip-prinsip dan standar perilaku yang disepakati untuk mengatur tindakan suatu kelompok profesional atau industri.
● P2P Lending (Pinjaman Peer-to-Peer): Model layanan pinjam meminjam uang yang mempertemukan pemberi dan penerima pinjaman secara langsung melalui platform digital.
● Self-Regulation (Regulasi Mandiri): Sistem pengawasan dan penegakan aturan yang dijalankan secara independen oleh suatu industri atau asosiasi terhadap anggotanya sendiri.

#Fintech #Aftech #KodeEtik #EtikaFintech #Fraud #KeamananSiber #PerlindunganKonsumen #FintechIndonesia #Regulasi #OJK #InovasiKeuangan #DigitalFinance #P2PLending #Pinjol #TeknologiFinansial #Asosiasi #Kepatuhan #PrivasiData #StartupIndonesia #EkonomiDigital

Comments are closed.