Utang pinjol (pinjaman online) Indonesia melonjak ke rekor Rp90,99 triliun per September 2025 atau terus mendekati Rp100 triliun, namun dibayangi kenaikan kredit macet yang mencapai 2,82% sebagai sinyal alarm atas kemampuan bayar masyarakat yang mulai terjepit.
Fokus utama:
■ Lonjakan Ekstrem Utang Pinjol: Outstanding pembiayaan P2P Lending meroket 22,16% (yoy) menjadi Rp90,99 triliun, menunjukkan ketergantungan masyarakat yang meningkat.
■ Gelombang Kredit Macet: Tingkat Wanprestasi 90 hari (TWP90) naik menjadi 2,82%, mengindikasikan tekanan finansial yang mulai meluas di kalangan peminjam.
■ Ekspansi Sektor Pembiayaan: Secara keseluruhan, piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan tumbuh 1,07% (yoy) menjadi Rp507,14 triliun, didorong pembiayaan modal kerja yang naik 10,61%.
Utang pinjol tembus Rp90,99 triliun dengan kredit macet 2,82%. OJK ungkap tren mengkhawatirkan di balik kemudahan pinjaman online yang jadi jerat finansial.
Di balik kemudahan mengklik dan cairnya dana pinjaman online, tersembunyi bom waktu yang siap meledak. Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap utang pinjol masyarakat Indonesia telah membengkak ke level mengkhawatirkan: Rp90,99 triliun per September 2025. Angka fantastis ini ibarat dua sisi mata uang—di satu sisi menunjukkan akses finansial yang kian terbuka, di sisi lain membawa sinyal bahaya bagi kesehatan keuangan nasional.
“Pada industri pinjaman daring atau pindar, outstanding pembiayaan pada September 2025 tumbuh 22,16% YoY dengan nominal sebesar Rp90,99 triliun,” papar Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK Agusman dalam Konferensi Pers Hasil RDKB Oktober 2025, Jumat (7/11/2025).
Yang lebih mengkhawatirkan, pertumbuhan eksplosif ini diiringi gelombang kredit macet yang mulai menunjukkan taringnya. Tingkat Wanprestasi 90 hari (TWP90) membubung ke level 2,82% pada September 2025, meningkat dari 2,60% pada bulan sebelumnya. Setiap kenaikan 0,1% dalam angka ini merepresentasikan ribuan peminjam yang gagal memenuhi kewajibannya.
Dari Kemudahan Menjadi Jerat
Lonjakan outstanding pinjol dari Rp74,48 triliun pada 2024 menjadi Rp90,99 triliun dalam setahun terakhir mengungkap sebuah realitas pahit: masyarakat Indonesia semakin tergantung pada utang cepat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara bulanan, pertumbuhan 3,86% dari Agustus 2025 menunjukkan tren yang belum melambat.
“Profil risiko perusahaan pembiayaan ini terjaga dengan rasio non-performing financing atau NPF gross tercatat sebesar 2,47% dan NPF net 0,84%,” terang Agusman mencoba menenangkan. Namun, para analis finansial memandang angka TWP90 yang lebih tinggi sebagai indikator awal masalah yang lebih sistemik.
Fenomena ini tidak terlepas dari daya tarik pinjol yang menawarkan kemudahan tanpa jaminan. Survei Literasi Keuangan OJK 2024 menunjukkan bahwa 65% pengguna pinjol berasal dari kalangan menengah bawah dengan penghasilan di bawah Rp5 juta per bulan—kelompok yang paling rentan terhadap guncangan ekonomi.
Landskap Pembiayaan yang Berubah
Secara keseluruhan, sektor pembiayaan menunjukkan ketahanan yang beragam. Piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan tumbuh 1,07% (yoy) menjadi Rp507,14 triliun, dengan pembiayaan modal kerja sebagai penyumbang utama yang melesat 10,61%.
Industri pegadaian justru mencatat performa gemilang dengan penyaluran pembiayaan yang melonjak 30,92% (yoy) menjadi Rp111,68 triliun. “Pembiayaan gadai terbesar di industri pergadaian disalurkan dalam bentuk produk gadai sebesar Rp93 triliun atau 83,28% dari total pembiayaan yang disalurkan,” jelas Agusman.
Sementara itu, pembiayaan modal ventura tumbuh modest 0,21% (yoy) dengan nilai pembiayaan mencapai Rp16,29 triliun. Gearing ratio perusahaan pembiayaan tercatat sebesar 2,17 kali—masih jauh di bawah batas maksimum 10 kali—menunjukkan ruang untuk ekspansi masih tersedia.
Titik Balik yang Harus Diwaspadai
Pertumbuhan pesat pinjol hingga menembus Rp90,99 triliun seharusnya menjadi peringatan bagi semua pemangku kepentingan. Bank Indonesia dalam berbagai kesempatan telah mengingatkan potensi risiko sistemik dari pertumbuhan fintech lending yang tidak terkendali.
Pengalaman negara-negara seperti China dan India menunjukkan bahwa bubble pinjol bisa memicu krisis mikro finansial ketika tidak dikelola dengan baik. OJK sendiri telah mencabut izin dua perusahaan pinjol baru-baru ini sebagai bentuk pengetatan pengawasan.
Kini, tantangannya adalah menemukan titik keseimbangan antara inovasi finansial dan perlindungan konsumen. Ketika utang pinjol terus membengkak dan kemampuan bayar masyarakat mulai terlihat, saatnya semua pihak duduk bersama sebelum krisis kecil berubah menjadi badai besar.
Digionary:
● Gearing Ratio: Rasio yang mengukur sejauh mana perusahaan menggunakan pendanaan utang dibandingkan modal sendiri.
●NPF (Non-Performing Financing): Rasio pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan yang disalurkan.
●Outstanding Pembiayaan: Total jumlah pembiayaan yang masih aktif dan belum dilunasi.
●P2P Lending: Sistem pinjam meminjam uang secara langsung antara pemberi pinjaman dan peminjam melalui platform online.
●TWP90 (Tingkat Wanprestasi 90 hari): Persentase pembiayaan yang mengalami keterlambatan pembayaran lebih dari 90 hari.
#Pinjol #UtangPinjol #Fintech #P2PLending #OJK #KeuanganDigital #KreditMacet #Finansial #EkonomiDigital #PerlindunganKonsumen #Investasi #FinancialTechnology #RegulasiFintech #KesehatanFinansial #LiterasiKeuangan #BisnisFintech #RisikoInvestasi #DigitalBanking #FintechIndonesia #EconomicUpdate
