Tanda Tangan Elektronik Wajib, Ekonomi Digital Bisa Terhambat?

- 27 September 2025 - 20:20

Rencana pemerintah mewajibkan penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi (TTET) dalam revisi PP No. 71/2019 memantik perdebatan. Meski ditujukan untuk memperkuat keamanan transaksi digital berisiko tinggi, aturan ini dikhawatirkan menambah beban biaya, membatasi netralitas teknologi, dan menyulitkan pelaku usaha kecil. Pakar menilai regulasi perlu lebih jelas, terutama soal definisi transaksi berisiko tinggi dan perlindungan data pribadi, agar ekosistem ekonomi digital tidak justru melambat.


Fokus Utama:

  1. Biaya tambahan dan beban UMKM – Kekhawatiran bahwa sertifikasi tanda tangan elektronik akan menambah ongkos transaksi, bahkan untuk pelaku usaha mikro.
  2. Netralitas teknologi dipertanyakan – Regulasi dinilai kurang memberi ruang bagi inovasi dan pilihan mekanisme keamanan digital yang fleksibel.
  3. Urgensi perlindungan konsumen – Revisi aturan dipandang momentum memperkuat perlindungan data pribadi dan kenyamanan pengguna di tengah percepatan ekonomi digital.

Pemerintah tengah merampungkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Salah satu poin krusial adalah kewajiban penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi (TTET) dalam transaksi digital berisiko tinggi. Namun, kebijakan ini justru menimbulkan perdebatan hangat di kalangan pelaku usaha, pakar, hingga konsumen.

Galby R. Samhudi, peneliti dari Tenggara Strategics, menilai kebijakan tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip technology neutrality, yaitu netralitas teknologi yang memberi ruang bagi pelaku industri memilih sistem keamanan sesuai kebutuhan. “Tantangan tersebut seperti potensi bertambahnya beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat maupun pelaku usaha, terutama mereka yang kerap melakukan transaksi digital sehari-hari,” ujarnya (27/9/2025).

Revisi PP ini merupakan turunan teknis dari UU No. 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang menekankan TTET untuk transaksi non-tatap muka berisiko tinggi, khususnya di sektor keuangan. Galby menilai definisi transaksi berisiko tinggi perlu diperjelas lewat aturan teknis agar tidak menimbulkan multitafsir.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa perlindungan data pribadi harus menjadi fondasi utama dalam membangun ekosistem digital. Pengaturan teknis, menurutnya, idealnya berada di tangan otoritas yang memang memiliki mandat di sektor ini, yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Revisi aturan bisa menjadi momentum untuk memaksimalkan potensi ekonomi digital tanpa mengorbankan kenyamanan pengguna,” kata Galby.

Dari sisi pelaku usaha, kekhawatiran lebih nyata dirasakan UMKM. Ligwina Hananto, CEO QM Financial, menilai aturan ini akan memberatkan pedagang kecil. “Masak iya penjual gorengan harus pakai sertifikat tanda tangan elektronik,” ucapnya.


Revisi aturan transaksi digital yang mewajibkan tanda tangan elektronik tersertifikasi menuai pro-kontra. Dikhawatirkan menambah beban UMKM dan membatasi inovasi, namun juga dipandang perlu untuk keamanan dan perlindungan konsumen.


Nada serupa datang dari William Sudhana, Managing Director vosFoyer, yang mengingatkan agar regulasi tidak justru menghambat penetrasi pembayaran digital. “Operational cost bisnis dan inovasi akan terpapar, terutama transaksi kecil. Itu akan memperlambat pertumbuhan ekonomi digital kita,” jelasnya.

Data Bank Indonesia mencatat, transaksi uang elektronik sepanjang semester I 2025 mencapai Rp256 triliun, naik 18% dibanding periode sama tahun lalu. Sementara itu, laporan Google-Temasek-Bain menyebut ekonomi digital Indonesia diproyeksikan menembus US$109 miliar pada 2025. Dengan skala sebesar itu, regulasi baru yang terlalu kaku dikhawatirkan menahan laju pertumbuhan.

Pakar menilai kunci dari revisi PP ini ada pada keseimbangan: bagaimana memperkuat keamanan transaksi digital tanpa menambah beban berlebihan bagi pelaku usaha maupun konsumen. Kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, regulator, industri, dan masyarakat—dipandang penting untuk membangun tata kelola digital yang tangguh sekaligus inklusif. Pandangan para pakar tentu saja masuk akal mengingat pertumbuhan transaksi digital dan proyeksi ekonomi digital Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat.

Untuk melihat konteks besarnya, tren pertumbuhan transaksi digital dan proyeksi ekonomi digital Indonesia memperlihatkan betapa strategisnya isu ini. Data Bank Indonesia menunjukkan nilai transaksi digital terus merangkak naik dari Rp145 triliun pada 2020 menjadi sekitar Rp365 triliun pada 2025. Lonjakan ini menegaskan bahwa masyarakat makin terbiasa dengan pembayaran non-tunai, mulai dari QRIS hingga dompet digital.

Sejalan dengan itu, laporan Google-Temasek-Bain memproyeksikan ekonomi digital Indonesia akan melonjak lebih dari dua kali lipat, dari US$44 miliar pada 2020 menjadi US$109 miliar pada 2025. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.

Dua tren tersebut menggambarkan paradoks kebijakan: di satu sisi ada peluang luar biasa dari pertumbuhan digital, di sisi lain aturan yang terlalu ketat bisa menjadi rem. Regulasi tanda tangan elektronik tersertifikasi, jika tidak dikelola dengan bijak, berpotensi memperlambat momentum positif ini.


Digionary

● Bank Indonesia (BI): Bank sentral Republik Indonesia yang mengatur sistem pembayaran dan menjaga stabilitas moneter.
● Ekonomi digital: Aktivitas ekonomi yang memanfaatkan teknologi digital, termasuk e-commerce, fintech, dan layanan berbasis aplikasi.
● Netralitas teknologi (technology neutrality): Prinsip kebijakan yang tidak memihak pada teknologi tertentu agar pelaku usaha bebas memilih solusi terbaik.
● Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Lembaga independen yang mengawasi sektor jasa keuangan di Indonesia.
● PP No. 71/2019: Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
● Transaksi berisiko tinggi: Transaksi keuangan yang dilakukan tanpa tatap muka fisik dan rawan penyalahgunaan.
● Tanda tangan elektronik tersertifikasi (TTET): Bentuk tanda tangan digital yang diverifikasi melalui lembaga sertifikasi resmi untuk memastikan keaslian dan keamanan.
● UU ITE: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
● UMKM: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sektor ekonomi rakyat yang dominan di Indonesia.
● Uang elektronik: Instrumen pembayaran digital yang nilainya disimpan secara elektronik.

#TandaTanganElektronik #TransaksiDigital #EkonomiDigital #UMKM #FintechIndonesia #BankIndonesia #OJK #RegulasiDigital #KeamananData #PerlindunganKonsumen #UUITE #PP71 #DigitalPayment #QRIS #TeknologiKeuangan #InvestasiDigital #EcommerceIndonesia #DigitalisasiUMKM #AturanBaru #TransformasiDigital

Comments are closed.