AFPI: Permintaan pembiayaan UMKM pada 2026 akan mencapai Rp4.300 triliun, suplai hanya Rp1.900 triliun

- 16 Juli 2023 - 05:55

digitalbank.id – Permintaan pembiayaan UMKM masih terpusat di Jawa dan Bali, yakni 62% dari total pembiayaan UMKM di Indonesia pada 2022 dan akan menjadi 61% pada 2026. Adapun pada 2022, total supply pembiayaan UMKM Rp1.400 triliun dan pada 2026 akan menjadi Rp1.900 triliun.

Total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 diproyeksikan akan mencapai Rp4.300 triliun dengan kemampuan supply hanya Rp1.900 triliun. Artinya terdapat selisih atau gap sebesar Rp2.400 triliun dari total kebutuhan pembiayaan.

Ketua Bidang Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sekaligus CEO & Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, penyebaran permintaan pembiayaan di seluruh wilayah tidak seragam karena memiliki komposisi klaster yang unik.

“Sampai saat ini akses pendanaan masih terbatas di sejumlah wilayah tersebut. Sedangkan untuk usaha skala besar yang masih belum matang (Segmen Bisnis Konvensional Bertahan) masih mendominasi permintaan pembiayaan di Kalimantan. Kondisi ini membutuhkan kombinasi program pembiayaan dan kesadaran untuk membantu UMKM tumbuh optimal,” ujarnya di Jakarta akhir pekan ini.

AFPI bersama dengan EY Parthenon Indonesia merilis hasil riset tentang segmentasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Riset ini ditujukan untuk berbagai pemangku kepentingan, termasuk bagi fintech p2p lending guna mengoptimalkan penyaluran pinjaman produktif.

Riset berjudul “Studi Pasar dan Advokasi Kebijakan UMKM Indonesia” itu membagi empat segmentasi UMKM menjadi Kelompok Bisnis Prospektif, Kelompok Kebutuhan Dasar, Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan, dan Kelompok Bisnis Unggul. Masing-masing kelompok dibedakan berdasarkan karakteristik, skala, dan tren yang berkembang.

Segmentasi tersebut dirancang untuk melengkapi pengelompokan berdasarkan modal usaha dan pendapatan per annum sesuai PP No 7 Tahun 2021.

Untuk Kelompok Bisnis Prospektif diklasifikasikan sebagai bisnis skala ultramikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan tinggi, serta memiliki potensi kemampuan perencanaan bisnis. Sedangkan Kelompok Kebutuhan Dasar merupakan bisnis skala ultramikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan rendah, menghasilkan potensi risiko pembiayaan yang lebih tinggi.

Adapun Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan, yaitu bisnis skala kecil hingga menengah (UKM) dengan literasi digital dan keuangan rendah, hanya berfokus pada mempertahankan kondisi status quo mereka. Sedangkan Kelompok Bisnis Unggul adalah bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki daya tarik tertinggi dalam hal pendanaan.

Segmentasi atau klasifikasi baru ini juga mengakomodasi jumlah karyawan, tingkat maturitas digital dan finansial, tipe industri baik yang manufaktur atau servis di pasar UMKM, sehingga memperluas cakupan pemahaman profil dan perilaku UMKM, serta mendorong pembentukan kebijakan dan penetrasi pembiayaan yang lebih akurat di masa depan.

Lebih lanjut dia mengatakan, segmen dengan pertumbuhan tertinggi berada di Indonesia Timur dengan skala Ultramikro dan Mikro (Segmen Bisnis Prospektif) yang memiliki laju pertumbuhan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 23,1% antara 2022-2026. Permintaan pembiayaan dari Indonesia Timur diperkirakan mencapai Rp250 triliun pada 2026, dimana 24% atau sekitar Rp60 triliun berasal dari kelompok Bisnis Prospektif.

Namun, sampai saat ini akses pendanaan masih terbatas di sejumlah wilayah tersebut. Sedangkan untuk usaha skala besar yang masih belum matang (Segmen Bisnis Konvensional Bertahan) masih mendominasi permintaan pembiayaan di Kalimantan. Kondisi ini membutuhkan kombinasi program pembiayaan dan kesadaran untuk membantu UMKM tumbuh optimal.

“Dengan memahami profil pembiayaan yang berbeda di setiap daerahnya, maka lembaga keuangan termasuk anggota AFPI dapat mengetahui potensi pendanaan yang dapat disalurkan. Dengan demikian, segmentasi klaster UMKM ini dapat menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dalam merumuskan inisiatif kebijakan utama yang sesuai dengan profil daerah masing-masing,” kata Andi.

Sementara itu partner EY-Parthenon Indonesia Anugrah Pratama mengungkapkan, segmentasi UMKM ini menjawab sejumlah kemungkinan risiko pembiayaan khusus per klaster yang harus diperhatikan. Setiap klaster tersebut membutuhkan serangkaian intervensi kebijakannya sendiri berdasarkan tingkat urgensi yang dimiliki.

“Oleh karena itu, pengambilan langkah yang tepat sangat penting agar pembiayaan tidak salah sasaran dan terhindar dari kesenjangan yang semakin besar,” katanya.

EY memproyeksikan total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 akan mencapai Rp 4.300 triliun dengan kemampuan supply hanya Rp1.900 triliun. Artinya terdapat selisih atau gap sebesar Rp2.400 triliun dari total kebutuhan pembiayaan.

Sisi permintaan maupun persediaan tumbuh dengan laju yang hampir sama, yakni CAGR 7,2% dari tahun 2022-2026. Hal ini menyebabkan selisih pembiayaan juga bertumbuh dengan laju CAGR 7%, sehingga gap akan terus melebar dikarenakan laju pertumbuhannya yang masih positif.

“Kesenjangan dapat terus melebar jika kondisi pasokan pembiayaannya tetap sama tanpa dibarengi kebijakan pendukung tambahan. Insentif pendanaan yang menarik tentunya akan mendorong peningkatan pasokan pembiayaan tersebut dan dalam hal ini fintech lending dapat memainkan peran yang lebih besar karena risk appetite dan aksesibilitas platformnya lebih cocok dengan UMKM yang mendorong permintaan,” ujar Anugrah.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan mengatakan, pihaknya mengapresiasi AFPI dan EY yang telah menginisiasi kajian yang dapat menjadi masukan pemangku kepentingan.

Riset ini dapat mendukung perumusan kebijakan yang sesuai dalam rangka penguatan dan pengembangan fintech lending untuk lebih berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi nasional melalui penyaluran pembiayaan UMKM.

“Sebagai penyedia pendanaan yang cepat dan mudah bagi UMKM, kami mendukung industri fintech lending dapat mengoptimalkan perannya dalam ekosistem dan memperluas kolaborasi dengan LJK lainnya dan non-LJK,” kata Bambang. ■