Bank Singapura Bertaruh Besar pada AI, Ribuan Karyawan Harus Reskill

- 27 September 2025 - 08:30

Bank-bank besar di Singapura tengah mempercepat adopsi artificial intelligence (AI) untuk meningkatkan efisiensi operasional, mulai dari call center, analitik data, hingga kepatuhan regulasi. Namun, langkah ini juga memunculkan kekhawatiran: ribuan pekerjaan berpotensi hilang, terutama pada posisi yang bersifat repetitif. Alih-alih sekadar menggantikan, sejumlah bank menekankan bahwa AI justru membuka peluang kerja baru sekaligus menuntut reskilling besar-besaran agar karyawan tetap relevan.


Fokus Utama:

1. Efisiensi dan ancaman kehilangan pekerjaan – Bloomberg Intelligence memprediksi hingga 200.000 pekerjaan di sektor perbankan global dapat hilang dalam 3–5 tahun karena AI. DBS sendiri menargetkan pemangkasan 4.000 tenaga kontrak dalam tiga tahun.
2. AI sebagai augmentasi, bukan pengganti – Bank seperti OCBC, UOB, dan DBS menegaskan bahwa AI memperkuat produktivitas, bukan semata menggantikan manusia. Banyak posisi baru bermunculan di bidang analitik, compliance, hingga relationship management.
3. Investasi besar pada reskilling – DBS melatih lebih dari 12.000 karyawan dalam literasi AI, sementara UOB dan OCBC membangun pusat pelatihan dan program pengembangan khusus. Bank digital seperti GXS bahkan membangun struktur kerja sejak awal berbasis AI.


Bank-bank Singapura mempercepat adopsi AI untuk efisiensi, memangkas ribuan pekerjaan, namun sekaligus membuka peluang karier baru. Bagaimana masa depan tenaga kerja perbankan di era AI?


Artificial Intelligence (AI) bukan lagi sekadar jargon futuristik. Di Singapura, bank-bank besar seperti DBS, OCBC, dan UOB telah mengintegrasikan teknologi ini ke hampir semua lini: dari call center, analitik risiko, hingga kepatuhan regulasi. Namun, di balik optimisme efisiensi, muncul bayangan resesi pekerjaan di sektor finansial.

Bloomberg Intelligence memprediksi hingga 200.000 pekerjaan perbankan global dapat terpangkas dalam 3–5 tahun ke depan akibat penetrasi AI. Di Singapura, DBS telah menyatakan bakal mengurangi sekitar 4.000 tenaga kontrak dan temporer dari 19 pasar operasionalnya. Namun bank yang sama juga menambahkan 1.000 posisi baru berbasis teknologi AI.

“Dengan semua teknologi, selalu ada prediksi bahwa pekerjaan akan hilang. Nyatanya, peran baru selalu muncul ketika yang lama hilang,” ujar Yap Aye Wee, Head of Learning and Transformation OCBC.

Bank menegaskan, risiko terbesar justru menimpa pekerjaan yang repetitif seperti data entry, customer service dasar, hingga teller. Chatbot, speech-to-text, hingga co-pilot berbasis generative AI kini menggantikan sebagian besar peran manual itu. Linda Teo, Country Manager ManpowerGroup Singapura, mengatakan, “Tugas yang sebelumnya padat karya kini bisa ditangani lebih konsisten dan efisien lewat otomasi.”

Namun, bukan berarti perbankan hanya akan menyusutkan tenaga kerja. DBS mengklaim 12.000 karyawan sudah mengikuti pelatihan AI dan data tahun ini, termasuk keterampilan soft skills, manajemen perubahan, dan pengenalan deep fake. UOB mendirikan AI Data Analytics Centre of Excellence yang melatih lulusan baru selama dua tahun. OCBC bahkan membuat pelatihan berbasis jabatan agar setiap staf menguasai teknologi sesuai kebutuhan harian.

Bank digital seperti GXS Bank bahkan mengaku berada di posisi lebih unggul. “Kami membangun struktur dari nol, tanpa beban sistem lama. Itu membuat adopsi AI jauh lebih fleksibel,” ujar Amy Tan, Head of People GXS.

Di sisi lain, Deloitte memperkirakan bank yang sukses mengadopsi AI bisa meningkatkan rasio biaya terhadap pendapatan hingga 5–15% dalam lima tahun mendatang. Citi mencatat, 30.000 pengembang internal mereka telah menggunakan AI untuk mengotomasi lebih dari 740.000 code review, menghemat sekitar 100.000 jam kerja per minggu.

Tetapi pakar mengingatkan, AI tidak bisa menggantikan aspek manusiawi dalam perbankan. “AI bisa menyalin kata-kata, tapi tidak bisa membaca emosi, sentimen, atau nada suara pelanggan,” tegas Dorothy Neo, manajer layanan pelanggan OCBC.

Wong Yang-Sheng, Head of HR Standard Chartered untuk ASEAN, menambahkan, “Gen AI meningkatkan produktivitas, tapi keputusan tetap butuh penilaian manusia.”

Ke depan, menurut Accenture, bank modern tidak lagi mengelola satu jenis tenaga kerja, melainkan lima: manusia murni, kolaborasi manusia-mesin, otomasi robotik, generative AI, hingga agen AI otonom. Kesimpulannya: AI hanya bernilai bila diimbangi tenaga kerja yang bisa menggunakannya dengan efektif. ■

Digionary:

● AI (Artificial Intelligence) – Kecerdasan buatan, teknologi yang meniru kemampuan kognitif manusia.
● Chatbot – Program otomatis yang melayani percakapan dengan pengguna, biasanya di layanan pelanggan.
● Compliance – Fungsi kepatuhan bank terhadap regulasi keuangan.
● Cost-to-Income Ratio – Rasio efisiensi bank, membandingkan biaya operasional dengan pendapatan.
● Deep Fake – Konten manipulasi berbasis AI yang meniru wajah, suara, atau video orang lain.
● Generative AI (Gen AI) – AI yang dapat menghasilkan teks, gambar, atau data baru secara otomatis.
● KYC (Know Your Customer) – Proses verifikasi identitas nasabah untuk mencegah pencucian uang dan penipuan.
● Reskilling – Pelatihan ulang karyawan agar memiliki keahlian baru sesuai kebutuhan teknologi.
● Speech-to-Text – Teknologi yang mengubah percakapan suara menjadi teks.
● Upskilling – Peningkatan keterampilan karyawan dalam bidang yang sudah mereka kuasai.

#AI #Perbankan #BankSingapura #DigitalBanking #TeknologiFinansial #Reskilling #Upskilling #GenerativeAI #JobCut #TransformasiDigital #EfisiensiBank #Compliance #Fintech #FutureOfWork #DBS #OCBC #UOB #BankDigital #Deloitte #Accenture

Comments are closed.