Transformasi digital sering dipersepsikan sebagai mobile banking apps

- 22 Desember 2021 - 17:45

 

digitalbank.id — TRANSFORMASI DIGITAL DI industri perbankan seringkali dipersepsikan sebagai mobile banking apps. Dengan membuat aplikasi mobile banking seolah bank sudah menjadi bank digital. “Itu persepsi yang salah besar,”ucap Bayu Prawira Hie, Pakar transformasi bank digital Indonesia kepada digitalbank.id selepas diskusi virtual Outlook Keuangan dan Perbankan 2022: Peluang dan Tantangan Di Regional DKI Jakarta dan Banten di Jakarta (22/12).

Lebih lanjut Direktur Eksekutif Intellectual Business Community (IBC) ini menjelaskan, suatu perusahaan dikatakan sudah bertransformasi digital, bila telah memiliki 3 pilar transformasi yaitu: digital customer experience (customer engagement), digital operational excellence dan digital new business model. “Aplikasi mobile banking itu hanya bagian dari customer experience,” tegasnya. 

Umumnya, lanjut Bayu, dalam proses digital bank, New Business Model ini biasanya baru dieksplorasi lebih luas setelah kedua pilar lainnya (customer experience dan operational excellence) dilakukan terhadap produk-produk atau layanan yang mereka miliki sendiri telah didigitalisasi.

Padahal seyogyanya, ketiga pilar tersebut harus dijalankan secara berkesinambungan. “Kalau tidak, maka kelak bank akan bingung lagi apa harus dikerjakan, sementara ekspektasi pelanggan dan pasar bergerak begitu cepat,” tambahnya.

Untuk itu, Bayu menyampaikan beberapa saran yang perlu dicapai dalam suatu bank dalam menerapkan model bisnis baru. Pertama, mengalihkan bisnis ke model digital, antara lain dengan membuat produk-produk yang ada menjadi digital baik sebagian maupun seluruhnya, dan merubah sebanyak-banyaknya bentuk fisik menjadi digital.

Contoh paling mudah tentunya tabungan tidak lagi menggunakan buku atau lembar cetak, yang  bukan saja mengirit biaya, namun juga memungkinkan untuk dilihat instant oleh nasabah begitu ada transaksi serta bisa langsung digunakan untuk melakukan simulasi kredit misalnya.

Kedua, membuat bisnis digital baru, antara lain membuat produk-produk yang end-to-end digital, baik tabungan, pinjaman, dan pembelian produk lain. Dengan adanya Peraturan OJK (POJK) No. 13/POJK.03/2018 yang mana memperbolehkan proses KYC (Know Your Customers) dilakukan secara elektronik (proses eKYC), maka hal ini sangat dimungkinkan.

Nasabah tidak perlu lagi datang secara fisik untuk membuka rekening baru, baik untuk tabungan atau pinjaman. Di samping KYC yang dilakukan secara digital, bank perlu memastikan semua proses lain bisa dilakukan secara digital, paperless, bisa dilakukan melalui smartphone nasabah tanpa harus kehadiran fisik.

Ketiga, memperluas batasan bisnis. Dengan adanya kapabilitas digital, perubahan regulasi, dan interkonektifitas yang baru, model bisnis saat ini yang bentuknya “Banking as a Product perlu berevolusi menjadi Banking as a Service dan bahkan mempersiapkan diri menjadi Banking as a Lifestyle,” ungkap alumni Fakultas Kedokteran UI 1991 ini.

Saran keempat, sementara itu, melakukan integrasi digital di antara keseluruhan unit bisnis, dengan perusahaan lain, merubah koordinasi kerjasama dari manual menjadi otomasi, dan menyatukan layanan dengan perusahaan lain secara digital. 

Singkatnya, masih menurut Doktor di bidang Transformasi Digital pertama di Indonesia, dengan mengutip makalah pada World Economic Forum: ” Menjadi perusahaan digital membutuhkan perubahan yang jauh lebih besar daripada sekadar berinvestasi dalam teknologi digital terbaru.

Perusahaan perlu mencari model bisnis baru, secara fundamental memikirkan kembali model operasi mereka, mengubah cara mereka menarik dan mengembangkan bakat digital, dan pertimbangkan kembali bagaimana mereka mengukur keberhasilan bisnis mereka,” tuturnya. (SAF).

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.