Menimbang Peran Mahkamah Agung di Tengah Kekosongan Hukum Kripto

- 22 Oktober 2025 - 11:06

Ledakan investasi aset kripto di Indonesia memunculkan gelombang perkara hukum yang menantang sistem peradilan nasional. Di tengah belum adanya undang-undang khusus, Mahkamah Agung (MA) kini dihadapkan pada tugas berat: menafsirkan hukum baru bagi aset digital yang kerap menimbulkan sengketa. Dalam ruang abu-abu antara teknologi dan hukum, putusan hakim menjadi jangkar kepastian hukum di era kripto.


Fokus Utama:

1. Kekosongan regulasi kripto di Indonesia membuat Bappebti menjadi satu-satunya lembaga yang mengatur aset digital sebagai komoditas, bukan alat pembayaran.
2. Mahkamah Agung memegang peran krusial dalam membentuk yurisprudensi dan standar hukum baru di tengah derasnya perkara terkait aset kripto.
3. Tantangan teknologi dan literasi hukum digital menuntut peningkatan kapasitas hakim serta sinkronisasi kebijakan antarotoritas seperti OJK dan Bank Indonesia.


Mahkamah Agung dihadapkan pada tantangan besar menangani sengketa aset kripto di tengah ketiadaan undang-undang khusus. Bagaimana peran hakim menafsirkan hukum digital dan membangun kepastian hukum di era blockchain?


Fenomena investasi digital terus berkembang pesat di Indonesia. Dari Bitcoin hingga Non-Fungible Token (NFT), aset kripto menjelma menjadi primadona baru di pasar keuangan. Data Bappebti 2025 mencatat lebih dari 19 juta pengguna kripto aktif, dengan nilai transaksi mencapai Rp365 triliun per September 2025. Namun di balik euforia itu, muncul persoalan pelik: ketiadaan regulasi yang komprehensif.

Hingga kini, seperti dikutip dari laman mahkamahagung.go.id, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang aset digital. Regulasi yang ada hanya berpayung pada Peraturan Bappebti Nomor 13 Tahun 2022 yang mengklasifikasikan kripto sebagai komoditas digital, bukan alat pembayaran yang sah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) masih bersikap hati-hati, menunggu kerangka hukum lebih jelas sebelum mengambil posisi penuh terhadap industri ini.

Akibatnya, ketika terjadi sengketa atau penipuan berbasis aset digital, peradilan harus menafsirkan sendiri konteks hukum baru. Inilah yang kini menjadi ujian besar bagi Mahkamah Agung (MA).

MA dan Tanggung Jawab Yurisprudensi Digital

Di tengah kekosongan aturan, peran hakim menjadi sentral. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA memikul tanggung jawab besar: memberikan kepastian hukum melalui yurisprudensi.
“Ketika regulasi belum lengkap, putusan hakim menjadi rujukan utama,” tulis laporan MariNews Mahkamah Agung (Oktober 2025).
MA tak hanya menegakkan teks hukum, tapi juga menafsirkan semangat hukum yang hidup di tengah masyarakat digital.

Hakim kini dituntut memahami konsep-konsep baru seperti blockchain, smart contract, hingga tokenisasi aset, agar dapat menilai perkara secara substantif, bukan sekadar formal.
Bagaimana menakar kerugian dari investasi kripto yang fluktuatif? Bagaimana membuktikan niat jahat dalam transaksi anonim berbasis blockchain? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan baru yang tidak ditemukan dalam hukum klasik.

Tanpa pedoman yurisprudensi yang kuat, risiko inkonsistensi putusan antar pengadilan sangat tinggi. Karena itu, MA diharapkan menjadi kompas hukum nasional di tengah ketidakpastian dunia digital.

Membangun Peradilan yang Melek Digital

Menjawab tantangan tersebut, Mahkamah Agung telah mulai mendorong edukasi bagi para hakim melalui pelatihan mengenai aset digital dan teknologi blockchain. Langkah ini penting untuk menyiapkan sistem peradilan yang adaptif di tengah transformasi ekonomi digital.

Namun, tantangan masih panjang. Perlu sinergi lebih erat antara MA, OJK, BI, dan Bappebti untuk menyusun tata kelola lintas lembaga yang lebih terintegrasi.
Selain itu, pemerintah perlu mempercepat pembentukan Undang-Undang Aset Digital agar sistem hukum Indonesia tidak selalu “berlari di belakang teknologi”.

Seiring pesatnya perkembangan ekonomi digital, MA akan terus memainkan peran penting dalam menjaga keadilan substantif, bukan sekadar formalitas hukum. Di era kripto ini, hakim bukan sekadar penjaga teks hukum, tetapi juga penafsir nilai di tengah disrupsi digital.


Digionary:

● Aset kripto: Aset digital berbasis teknologi blockchain yang digunakan sebagai komoditas atau investasi, seperti Bitcoin atau Ethereum.
● Blockchain: Teknologi penyimpanan data terdesentralisasi yang digunakan untuk mencatat transaksi digital secara aman dan transparan.
● Bappebti: Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, lembaga di bawah Kementerian Perdagangan yang mengatur perdagangan aset kripto di Indonesia.
● OJK: Otoritas Jasa Keuangan, lembaga yang mengawasi industri keuangan non-bank dan pasar modal.
● Smart contract: Kontrak digital yang dieksekusi otomatis berdasarkan kode pemrograman di blockchain.
● Tokenisasi aset: Proses mengubah kepemilikan fisik atau aset keuangan menjadi representasi digital di blockchain.
● Yurisprudensi: Putusan pengadilan yang dijadikan acuan hukum bagi perkara serupa di masa mendatang.

#MahkamahAgung #Kripto #Blockchain #HukumDigital #AsetKripto #PeradilanDigital #Yurisprudensi #Bappebti #OJK #BankIndonesia #InvestasiDigital #TeknologiFinansial #Bitcoin #NFT #SmartContract #RegulasiKripto #HukumIndonesia #TransaksiDigital #DigitalLaw #LegalInnovation

Comments are closed.