Langkah IBM memangkas 8.000 pegawai demi otomatisasi berbasis kecerdasan buatan justru berbalik arah, perusahaan ini akhirnya harus merekrut jumlah yang hampir sama. Transformasi ini memperlihatkan paradoks baru dunia kerja: teknologi yang dirancang untuk menggantikan manusia ternyata menciptakan kebutuhan baru bagi manusia—di bidang yang lebih kreatif, strategis, dan bernilai tinggi.
Fokus Utama:
1. Paradoks AI dan pekerjaan: Otomatisasi besar-besaran di IBM berujung pada peningkatan jumlah karyawan.
2. Nilai baru tenaga manusia: Muncul lonjakan kebutuhan pekerja dengan keahlian analitis, kreatif, dan strategis.
3. Pelajaran global: Otomatisasi bukan akhir dari pekerjaan manusia, melainkan awal dari babak baru kolaborasi manusia–mesin.
IBM memecat 8.000 pegawai untuk digantikan oleh AI, namun justru harus merekrut kembali jumlah yang sama. Kisah ini mengungkap paradoks baru dunia kerja: otomatisasi menciptakan lapangan kerja baru di bidang kreatif dan strategis.
Apa jadinya ketika kecerdasan buatan mulai mengambil alih meja kerja manusia? IBM sudah mencobanya—dan hasilnya justru di luar dugaan. Setelah memecat sekitar 8.000 pegawai untuk memberi ruang bagi otomatisasi, perusahaan legendaris asal New York itu kini harus merekrut kembali tenaga manusia dalam jumlah serupa. Bukan karena AI gagal, tapi karena dunia kerja ternyata tak bisa sepenuhnya diotomatisasi.
Pada 2023 lalu IBM menjadi sorotan dunia ketika CEO Arvind Krishna mengumumkan rencana besar otomatisasi. Ribuan posisi administratif dan sumber daya manusia digantikan oleh sistem berbasis kecerdasan buatan seperti AskHR, asisten digital yang mampu menangani 94% permintaan karyawan—dari cuti hingga penggajian—tanpa campur tangan manusia.
Hasilnya memang menakjubkan. Produktivitas melonjak, biaya operasional menyusut, dan perusahaan mencatat US$3,5 miliar efisiensi di lebih dari 70 divisi bisnis. Tetapi di balik itu, muncul konsekuensi tak terdug muncul, kebutuhan baru akan pekerja manusia dengan keahlian tinggi—seperti insinyur perangkat lunak, analis data, serta tenaga pemasaran dan penjualan strategis.
“Jumlah pegawai kami sebenarnya meningkat setelah otomatisasi. AI memberi kami ruang untuk tumbuh di bidang-bidang baru yang justru memerlukan lebih banyak tenaga manusia,” ujar Arvind Krishna kepada Wall Street Journal.
IBM mengalihkan dana yang sebelumnya dialokasikan untuk pekerjaan rutin menuju investasi di bidang bernilai tinggi a.l. cloud computing, keamanan siber, dan kecerdasan buatan itu sendiri. Hasilnya, gelombang perekrutan baru tak terhindarkan. Bukan untuk posisi administratif, tapi untuk pekerjaan yang menuntut kreativitas, empati, dan kemampuan analisis—hal-hal yang belum bisa digantikan mesin.
Fenomena ini memperlihatkan arah baru dalam hubungan manusia dan mesin. Otomatisasi memang menghapus pekerjaan lama, tapi sekaligus menciptakan ekosistem kerja baru.
Merujuk pada Studi World Economic Forum (WEF) 2024, disebitkan bahwa 92 juta pekerjaan global akan hilang akibat otomatisasi pada 2030, namun 69 juta pekerjaan baru akan muncul di bidang berbasis teknologi, data, dan inovasi manusia.
IBM bukan satu-satunya perusahaan yang mengalami paradoks ini. Duolingo, platform pembelajaran bahasa, juga sempat mengganti staf penerjemah manusia dengan AI generatif, namun kemudian merekrut kembali editor manusia untuk memperbaiki kualitas terjemahan yang dianggap “terlalu kaku” dan “tanpa konteks budaya.”
Harus diakui, AI sangat cepat, tapi tak selalu benar. Peeusahaan seperti IBM atau Duolingo jelas membutuhkan manusia untuk mengajarkan konteks kepada mesin.
Keberhasilan IBM bukan semata karena otomatisasi, tetapi karena pendekatannya terhadap redeployment — atau penempatan ulang tenaga kerja. Alih-alih sekadar memangkas, IBM mengalihkan sumber daya manusia ke sektor-sektor baru yang memperkuat nilai strategis perusahaan. Model seperti ini kini mulai dipelajari oleh berbagai perusahaan global, dari Microsoft hingga Accenture, yang juga tengah menata ulang keseimbangan antara mesin dan manusia.
AskHR sendiri menjadi simbol transformasi itu. Pada 2024, sistem ini mencatat lebih dari 11,5 juta interaksi, dengan skor kepuasan pelanggan melonjak dari -35 ke +74. Namun masih ada sekitar 6% permintaan yang tetap membutuhkan campur tangan manusia—terutama untuk kasus kompleks atau melibatkan pertimbangan etis.
Pelajaran terbesar dari kisah IBM adalah bahwa otomatisasi tidak identik dengan pengurangan manusia, melainkan redefinisi peran manusia. Dunia kerja yang baru menuntut kemampuan berpikir kritis, kolaborasi lintas fungsi, dan empati—hal-hal yang tak bisa diprogram dalam kode.
Kini, perusahaan-perusahaan mulai menyadari satu hal penting: AI bukan pengganti manusia, tetapi mitra baru dalam menciptakan efisiensi dan inovasi. Bagi IBM, perjalanan dari pemutusan kerja menuju perekrutan kembali adalah bukti bahwa teknologi yang paling cerdas tetap membutuhkan sentuhan manusia.
*) Deddy H. Pakpahan, senior editor digitalbank.id.
Digionary:
● AI (Artificial Intelligence) — Kecerdasan buatan; teknologi yang meniru kemampuan berpikir manusia.
● AskHR — Sistem chatbot berbasis AI milik IBM untuk mengotomatisasi layanan SDM.
● Automation — Proses menggantikan pekerjaan manusia dengan sistem otomatis.
● Cloud Computing — Sistem penyimpanan dan pengolahan data di server internet.
● Net Promoter Score (NPS) — Indikator kepuasan pelanggan berdasarkan loyalitas pengguna.
● Redeployment — Pemindahan tenaga kerja dari satu posisi ke posisi baru dengan keahlian berbeda.
● World Economic Forum (WEF) — Lembaga internasional yang meneliti tren ekonomi dan tenaga kerja global.
#IBM #ArtificialIntelligence #AIRevolution #FutureOfWork #Automation #TechIndustry #Innovation #DigitalTransformation #HumanAndMachine #EmploymentTrends #FutureJobs #Workforce2025 #AIinBusiness #HumanCapital #Leadership #SmartAutomation #ArvindKrishna #CloudComputing #DigitalEconomy #AIEthics
