Tanpa Kepatuhan pada Tata Kelola AI OJK, Inovasi Perbankan Akan Jadi Malapetaka

- 9 Oktober 2025 - 08:40

Transformasi digital perbankan Indonesia memasuki fase krusial dengan peluncuran pedoman Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun tanpa kesiapan kompetensi dan kerangka tata kelola yang kokoh, penggunaan AI berpotensi memicu kegagalan model, penyimpangan etika, hingga guncangan stabilitas sistem keuangan. Alih-alih memberi manfaat, AI bahkan bisa jadi malapetaka. Di tengah peluang besar efisiensi dan inovasi, bank harus menyiapkan SDM, struktur pengawasan internal, dan regulasi internal yang tak kalah cepat dari adopsi teknologi.


Fokus Utama:

  1. Kepatuhan Tata Kelola AI: Benteng Utama Mencegah Krisis Digital Perbankan: Peluncuran Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indonesia oleh OJK menandai babak baru transformasi digital perbankan. Namun, tanpa kesiapan kompetensi, struktur pengawasan, dan kerangka etika yang kuat, penggunaan AI berpotensi menimbulkan risiko sistemik — dari kegagalan model, bias algoritma, hingga guncangan stabilitas keuangan. Kepatuhan terhadap pedoman OJK bukan sekadar formalitas, melainkan benteng utama agar inovasi tidak berubah menjadi bencana.
  2. Kesenjangan Kapasitas dan Risiko “Black Box” AI di Bank: Banyak bank sudah mengadopsi AI untuk credit scoring, anti-fraud, dan layanan nasabah, tetapi masih minim pemahaman teknis dan pengawasan model. Fenomena black box membuat keputusan AI sulit dijelaskan dan diaudit. OJK menekankan pentingnya Explainable AI (XAI), Model Risk Management (MRM), dan audit trail yang transparan. Tanpa kemampuan ini, AI dapat menimbulkan bias, kesalahan keputusan, bahkan risiko hukum dan reputasi bagi bank.
  3. Peran Etika, Akuntabilitas, dan Kepemimpinan dalam Tata Kelola AI: Tata kelola AI bukan domain teknis semata. OJK menegaskan akuntabilitas harus menjangkau Dewan Komisaris dan Direksi melalui pembentukan Komite AI lintas fungsi. Etika, fairness, dan keberlanjutan menjadi prinsip dasar yang wajib dijaga agar AI tidak mendiskriminasi atau menurunkan kepercayaan publik. Bank perlu berinvestasi pada SDM, pelatihan, dan kerangka kerja Responsible AI agar inovasi selaras dengan nilai kemanusiaan dan stabilitas sistem keuangan.

OJK meluncurkan pedoman tata kelola AI untuk sektor perbankan pada 29 April 2025 lalu. Pasca keluarnya “aturan main’ baru ini, OJK menuntut kesiapan kompetensi, struktur pengawasan, dan etika agar penggunaan teknologi tak menggoyang stabilitas sistem keuangan.


OJK dalam kerangka peta transformasi keuangan Indonesia, mengeluarkan Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indonesia pada 29 April 2025. Dokumen itu bukan sekadar regulasi tambahan —ia menjadi syarat agar bank tidak cuma cepat berinovasi, tapi juga bijak dan bertanggung jawab dalam mengadopsi dan memanfaatkan teknologi ini. Pasalnya, tanpa kontrol internal yang matang, AI bisa berubah dari alat pemberdaya menjadi ancaman sistem. Sebuah malapetaka yang sama-sama tak kita harapkan menjadi kenyataan.

Bank-bank besar seperti BRI, Mandiri, BCA, BNI dan banyak bank skala menengah kecil sudah memasang sistem AI dalam berbagai operasi utama —mulai dari anti-fraud, credit scoring, hingga interaksi nasabah. OJK mencatat bahwa pedoman baru ini disiapkan “sebagai acuan minimal bagi sektor perbankan dalam mengembangkan dan menerapkan sistem kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI).

Namun di balik euforia teknologi, kenyataan menunjukkan sebagian besar bank masih berjuang mencari talenta AI dan data scientist yang mumpuni. Kesenjangan ini melebar ketika transformasi berjalan teramar cepat — bank terkadang membeli produk AI siap pakai, tanpa memahami implikasi teknisnya. Akhirnya menjadi percuma dan tak memberikan dampak seperti yang diharapkan.

Untuk itu, pedoman OJK menekankan bahwa upskilling internal di institusi perbankan menjadi keniscayaan dengan cara:

● Memastikan tenaga kepatuhan atau auditor memahami kerangka AI, bukan hanya aturan umum.
● Melibatkan seluruh unit fungsional (risiko, TI, data, kepatuhan) dalam program pelatihan terpadu.
● Membentuk komite AI yang bertugas merancang kebijakan, memantau pelaksanaan, serta melakukan evaluasi berkala.

Namun sejauh ini sejak tata kelola AI OJK dikeluarkan, sepanjang pengamatan digitalbank.id terhadap beberapa bank, belum ada bank yang membentuk komite AI. Ironisnya, bank-bank ini masih terus melakukan inovasi AI. Tentu ini akan memunculkan berbagai risiko di masa depan.

Risiko Model AI: “Black Box” yang Bisa Menjebak

Berbeda dengan model risiko tradisional, model AI/ML sering bersifat dinamis, bergantung pada data besar, dan sulit diinterpretasikan. Istilah black box melekat pada algoritma yang “bercerita sendiri” — keputusan bisa muncul tanpa penjelasan manusia. Inilah yang memicu kekhawatiran regulator dan auditor.

OJK secara eksplisit memasukkan prinsip reliability dan transparansi dalam pedomannya.  Untuk menjawab tantangan opasitas ini, pelatihan harus memperkuat kompetensi bank dalam:

● Model Risk Management (MRM) versi AI, termasuk pemantauan model drift (penurunan performa seiring waktu) dan mitigasi bias algoritma.
● Explainable AI (XAI): metode dan alat agar keputusan AI bisa dijelaskan kepada auditor, pihak internal, dan regulator.
● Penciptaan audit trail yang jelas — seluruh tahapan pengambilan keputusan harus terdokumentasi.

Tanpa langkah-langkah tersebut, model AI bisa menghasilkan keputusan yang bias secara tak sadar — misalnya menolak kredit dari kelompok tertentu — sekaligus menimbulkan risiko reputasi dan tuntutan hukum.

Akuntabilitas Tak Boleh Sekadar Label

Banyak bank memandang AI sebagai domain teknis semata, tugas tim data atau TI. Padahal sejatinya OJK mematahkan gagasan itu, dimana dalam tata kelola AI ditegaskan tanggung jawab tata kelola AI harus melebar ke Dewan Komisaris dan Direksi. Pedoman OJK menggarisbawahi bahwa:

● Direksi dan Dewan Komisaris wajib mengetahui implikasi AI dalam strategi, risiko non-keuangan, dan reputasi.
● Keputusan kritis dengan nilai besar tetap harus melibatkan manusia (Human Oversight). OJK menetapkan bahwa keputusan manusia harus disisipkan dalam loop (Human-in-the-Loop) untuk kasus tertentu.

Ada kewajiban membentuk komite AI lintas fungsi — hukum, kepatuhan, teknologi informasi, keamanan siber, layanan nasabah — yang dapat berdiri sendiri atau bagian dari komite TI sesuai kompleksitas.

Apabila dewan hanya menekankan target efisiensi atau profit, tanpa paham potensi risiko, maka tata kelola AI bisa menjadi sekadar stempel formal. Akibatnya, kegagalan sistem bisa menimpa legitimasi bank di mata publik di kemudian hari.

Etika, Keadilan, dan Keberlanjutan

Pedoman OJK memasukkan dimensi etika, fairness, inklusivitas, dan daya tahan (sustainability) sebagai bagian dari tata kelola AI. Bisa dibayangkan ketika sistem AI menolak kredit nasabah dari wilayah tertentu karena data historis menunjukkan bahwa area itu berisiko tinggi. Jika model tidak diuji bias, maka AI bisa mendiskriminasi berdasarkan lokasi atau demografi.

Pelatihan tata kelola AI harus mengajarkan metodologi bias testing, mitigasi bias struktural sejak perancangan, serta penggunaan data yang representatif untuk mengakomodasi keragaman. Dengan demikian, bank tidak hanya mengoptimalkan efisiensi, tetapi juga memastikan inklusi dan kepercayaan masyarakat.

Tanpa etika dan fairness, AI yang paling canggih sekalipun akan kehilangan pijakan legitimasi — dan memicu kritik atau tindakan hukum.

Implikasi Jangka Panjang, Sebuah Catatan Kritis

Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan bagi perbankan menyusul dikeluarkannya Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indonesia.

Pertama, soal ksenjangan waktu antara regulasi dan praktik. OJK menyebut pedoman sebagai “minimal benchmark” yang harus dilengkapi dengan kebijakan internal spesifik bank. Artinya, bank yang gagal bergerak cepat bisa tertinggal.

Kedua, masalah investasi yanf signifikan. Bank perlu disadarkan bahwa menjalankan tata kelola AI bukan sekadar membeli perangkat lunak — bank perlu mengalokasikan anggaran signifikan untuk pengembangan SDM, audit internal, pemeriksaan model berkala, dan infrastruktur data aman.

Ketiga, soal ketergantungan pada ekosistem pendukung. Ketersediaan data berkualitas tinggi, kemitraan riset dengan institusi akademik atau lembaga AI, dan kolaborasi industri akan menentukan keberhasilan.

Keempat, pengaruh global dan adaptasi lokal. OJK menyusun pedoman dengan merujuk praktik global — seperti AI Act Uni Eropa dan panduan Basel Committee. Namun budaya, regulasi lokal, dan kapasitas institusional Indonesia menuntut adaptasi yang spesifik.

Saat ini perbankan Indonesia sedang berdiri di persimpangan antara transformasi dan risiko, pelatihan tata kelola AI bukan lagi pilihan — ia sudah menjadi pondasi mutlak agar revolusi digital perbankan di Indonesia tidak berujung petaka.

Jika bank gagal menata pijakan internalnya, inovasi bisa berubah menjadi jurang. Tapi bila dilakukan dengan visioner dan disiplin, AI akan menjadi tonggak baru kepercayaan dan daya saing perbankan Indonesia.


Portal berita digitalbank.id melalui divisi usahanya DigitalBank Academy bekerja sama dengan Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN) menawarkan program “AI Governance & Responsible AI for Banking Executive & Management”, sebuah program in-house training strategis yang dirancang khusus untuk memastikan dewan komisaris, dewan direksi dan jajaran eksekutif perbankan mampu membangun dan menguatkan “Kerangka Kerja AI yang Bertanggung Jawab” (Responsible AI Framework) secara komprehensif, memenuhi standar kepatuhan, dan siap memenuhi kewajiban pelaporan OJK. Beberapa bank yang telah mengikuti in-house training menyatakan program ini sangat bermanfaat bagi perusahaan. Tak sekadar training, kami juga memberikan jasa pendampingan (advisory) untuk penggarapan roadmap AI perbankan dan pembentukan Komite AI di perbankan sehingga adopsi dan implementasi AI sejalan dengan Tata Kelola AI OJK. Untuk informasi lebih lanjut mengenai program ini bisa menghubungi kami di nomor WA 081314188319 dan HP 087882915126.


Digionary:

● AI / Artificial Intelligence: Teknologi yang memungkinkan komputer membuat keputusan cerdas berdasarkan data.
● Black box: Model AI kompleks yang sulit dijelaskan proses internalnya.
● Bias testing: Proses pengujian model untuk mendeteksi kecenderungan diskriminatif.
● Explainable AI (XAI): Teknik agar AI dapat menjelaskan alasan di balik keputusan yang dibuat.
● Human-in-the-Loop (HIL): Mekanisme di mana manusia tetap ikut campur dalam keputusan yang dibuat AI.
● Komite AI: Struktur internal bank lintas fungsi yang mengawasi penggunaan AI.
● Model drift: Kondisi di mana performa model menurun seiring waktu karena perubahan data.
● MRM (Model Risk Management): Manajemen risiko yang fokus pada model (termasuk AI).
● Pedoman minimal benchmark: Standar dasar yang harus dipenuhi oleh institusi terkait.
● Reliability: Keandalan sistem dalam menghasilkan output yang konsisten dan akurat.
● Transparansi: Aspek bahwa proses dan keputusan sistem dapat dipahami dan diaudit.

#AI #TataKelolaAI #PerbankanDigital #TransformasiDigital #InovasiKeuangan #RiskManagement #Governance #TeknologiFinansial #EtikaAI #KeadilanDigital #KomiteAI #DataScience #CyberSecurity #HumanOversight #ModelRisk #KeuanganBerkelanjutan #Banking #Regulasi #OJK #AIIndonesia

Comments are closed.