IBM sempat menggegerkan industri teknologi ketika memangkas 8.000 karyawan dan menggantinya dengan kecerdasan buatan (AI). Namun tak lama berselang, raksasa teknologi asal Amerika Serikat itu kembali merekrut jumlah tenaga kerja yang hampir sama, kali ini untuk posisi yang menuntut kreativitas dan keahlian manusia. Langkah ini mencerminkan arah baru transformasi digital: bukan sekadar menggantikan pekerja dengan mesin, melainkan mengalihkan investasi ke bidang yang memberi nilai tambah lebih tinggi.
Fokus Utama:
1. IBM memecat 8.000 karyawan, terutama di divisi HR, dan menggantinya dengan sistem chatbot internal AskHR.
2. Efisiensi AI meningkatkan produktivitas sebesar US$3,5 miliar, namun justru membuka kebutuhan besar di bidang penjualan, pemasaran, dan rekayasa perangkat lunak.
3. Kasus IBM menegaskan bahwa adopsi AI tidak serta-merta mengurangi tenaga kerja, melainkan mengubah jenis pekerjaan yang dibutuhkan perusahaan.
IBM memangkas 8.000 karyawan dan menggantinya dengan AI, tetapi justru merekrut ribuan pekerja baru di bidang penjualan, pemasaran, dan teknologi. Transformasi ini menunjukkan bahwa AI mengubah, bukan menghapus, peran manusia.
Dua tahun lalu, langkah IBM memangkas 8.000 karyawan dengan alasan efisiensi berbasis kecerdasan buatan (AI) sempat dianggap sebagai tanda zaman: perusahaan besar mulai mengganti manusia dengan mesin. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Sistem chatbot internal bernama AskHR yang dikembangkan IBM mampu mengotomatisasi proses administrasi seperti gaji, cuti, dan pengelolaan benefit. Efisiensi itu langsung terasa. Laporan keuangan menunjukkan lonjakan produktivitas senilai US$3,5 miliar dalam lebih dari 70 jenis pekerjaan.
Namun, bukannya berakhir dengan pengurangan tenaga kerja permanen, IBM justru kembali membuka ribuan lowongan baru. Posisi yang dibutuhkan bukan lagi staf administrasi, melainkan insinyur perangkat lunak, tenaga pemasaran, dan tim penjualan—bidang yang mengandalkan kreativitas, naluri bisnis, serta interaksi manusia.
CEO IBM, Arvind Krishna, menegaskan bahwa langkah tersebut bukan pembalikan arah, melainkan strategi ulang. “Total karyawan kami justru naik. AI memberi ruang investasi lebih banyak untuk bidang lain,” ujarnya kepada Wall Street Journal.
Data internal IBM memperlihatkan bahwa pada 2024, AskHR mampu menjawab 11,5 juta pertanyaan karyawan, tetapi sekitar 6% kasus tetap harus ditangani manusia. Alasannya bukan karena sistem gagal, melainkan karena sifat permasalahan yang membutuhkan empati dan pertimbangan kompleks.
Keberhasilan itu tercermin dari lonjakan Net Promoter Score (NPS) internal IBM, dari -35 menjadi +74—sebuah peningkatan yang jarang terlihat dalam ukuran kepuasan kerja.
Meski demikian, pengalaman IBM juga membuktikan keterbatasan AI. Algoritma mampu menjalankan tugas rutin dalam skala besar, tetapi tidak bisa menutup kontrak bisnis, membangun relasi klien, atau merancang pengalaman pengguna yang memikat.
Fenomena ini sejalan dengan laporan McKinsey & Company yang menyebutkan bahwa AI cenderung “membentuk ulang” struktur kerja ketimbang murni mengurangi jumlah karyawan. Hingga 30% tugas pekerjaan bisa diotomatisasi, namun hasil akhirnya lebih sering berupa redistribusi tenaga kerja.
Pandangan Krishna ini berbeda dengan nada pesimistis sejumlah tokoh teknologi seperti Dario Amodei, CEO Anthropic, yang memperingatkan AI bisa menghapus hingga setengah pekerjaan tingkat pemula di sektor white-collar. Krishna menyebut ramalan itu “berlebihan” dan tidak memperhitungkan redeployment tenaga kerja.
Tren ini bukan hanya terjadi di IBM. Raksasa teknologi lain seperti Google, Microsoft, dan Spotify juga menerapkan strategi serupa: mengotomatisasi proses belakang layar tetapi tetap mengandalkan manusia untuk inovasi, strategi, dan kreativitas.
Sebuah studi terbaru Harvard Business Review (2025) menegaskan bahwa perusahaan yang memandang AI sebagai “mitra kerja” alih-alih “pengganti kerja” cenderung mendapatkan keuntungan jangka panjang yang lebih berkelanjutan.
Kasus IBM akhirnya memberi pelajaran penting: di era AI, manusia tetap dibutuhkan—hanya saja bukan lagi untuk pekerjaan rutin, melainkan untuk peran yang menuntut empati, kreativitas, dan pengambilan keputusan strategis. ■
Digionary:
● AI (Artificial Intelligence): Kecerdasan buatan, teknologi komputer yang mampu meniru proses berpikir manusia.
● AskHR: Chatbot internal IBM yang digunakan untuk mengelola administrasi SDM.
● McKinsey & Company: Firma konsultan manajemen global yang kerap merilis riset terkait tren ekonomi dan teknologi.
● NPS (Net Promoter Score): Ukuran loyalitas atau kepuasan karyawan/pelanggan terhadap perusahaan.
● Redeployment tenaga kerja: Pengalihan karyawan ke peran baru, bukan sekadar pemutusan hubungan kerja.
● White-collar jobs: Pekerjaan kantoran yang biasanya melibatkan keterampilan analitis atau administrasi.
#IBM #AI #ArtificialIntelligence #TransformasiDigital #FutureOfWork #PekerjaanMasaDepan #PHK #Teknologi #Inovasi #McKinsey #HarvardBusinessReview #Kreativitas #Sales #Marketing #Engineering #Chatbot #Produktivitas #Workforce #DigitalEconomy #TechNews
