Berawal dari fintech, lalu menjadi neobank, Xinja kembali jadi perusahaan fintech

- 26 November 2021 - 19:32

Akibat salah urus Xinja yang awalnya adalah perusahaan fintech dan menjadi neobank harus kembali lagi menjadi perusahaan fintech.

digitalbank.id – PARA PEMILIK bank digital yang sudah mendapat izin operasional dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jangan senang-senang dulu. Kalau salah kelola, bukan mustahil nasibnya bakal seperti Xinja, perusahaan fintech yang jadi neo bank digital lalu kembali menjadi perusahan fintech.

Memang Xinja adalah bank pertama di Australia yang mengantongi lisensi sebagai neobank atau bank digital model baru pada 2017. Sayangnya, jadi yang pertama, tak membuat Xinja bank lantas bisa melenggang mulus.

Malahan justru, bank digital ini pula, yang pertama kolaps atau runtuh dan harus mengembalikan lisensinya pada Australian Prudential Regulation Authority (APRA) pada 2019. Usianya cuma seumur jagung.

Baca juga: Bank Jago dan GoPay hadirkan integrasi bank digital dan platform on demand pertama di Indonesia

Padahal, kalau kita lihat bagaimana bank yang bermarkas di Sydney itu mengawali bisnis keuangannya sebagai sebuah perusahaan fintech. Banyak investor dan pengamat perbankan, terkesan dengan teknologi dan aplikasi super canggihnya.

Pertumbuhan Xinja Bank pun sangat fenomenal untuk standar global. Bahkan APRA sempat menobatkan sebagai salah satu bank digital terbaik di ‘Negeri Kangguru’ itu.

Wakil CEO Xinja Bank Andi Rigg pada suatu acara festival Fintech di Singapura seara bersemangat dan penuh keyakinan memaparkan bagaimana Xinja Bank sukses berevolusi menjadi bank digital.

Rigg banyak mendapat applause karena menjelaskan model bisnis Xinja Bank yang inovatif dan merevolusi pada pelayanan bank yang makin cepat dan mudah diakses. Rigg dikelilingi banyak delegasi yang ingin menjalin kemitraan dan menduplikasi model bisnis yang digunakan Xinja Bank.

Namun apa yang terjadi? Pada November 2019 Xinja Bank malah kolaps. APRA memang merespon, tapi tak cukup untuk menyelamatkan bank digital ini dari kejatuhannya. Kalangan perbankan terhenyak.

Regulasi terlalu longgar

Apa yang sebenarnya terjadi pada Xinja Bank? Akibat regulasi yang longgar dari APRA atau lembaga ini terburu-buru memberikan lisensi pada fintech yang sebelumnya beroperasi di bisnis pembayaran itu? Atau barangkali terjadi kesalahan dalam manajemen.

Menurut pengamat perbankan, ada beberapa penyebab yang boleh jadi membuat bank digital ini runtuh atau kolaps.

Baca juga: Habis pinjol terbitlah bank digital

Pertama, Xinja bank dinilai terlalu agresif dalam penerapan bunga simpanan dan deposito. Dalam kondisi pasar yang lesu dan kurang baik, Xinja Bank menerapkan tingkat bunga 2 kali lebih besar dari yang seharusnya. Bila bank konvensional menerapkan bunga simpanan sebesar 1%, sebaliknya Xinja Bank menerapkan bunga 2,25%.

Lalu bank digital ini, gagal pula meluncurkan produk kredit. Tentu saja ini tak disukai para investor yang sudah berjanji menggelontorkan dananya ke Xinja Bank. Padahal, produk kredit itu, merupakan sumber pendapatan sebuah bank.

Sebab lain yang membuat Xinja bank ambruk secara permodalan adalah kemungkinan salah urus atau mismanagement yang ditetapkan bank tersebut dan kisruhnya tim audit yang mereka miliki.

Tambahan lagi, pada 2019 pandemic global melanda dunia yang menyebabkan investor global dari China dan Dubai yang batal menyuntikan dananya ke bank itu.
Dubai Global Investment, sebuah lembaga keuangan swasta, gagal menyuntikan dana sebesar US$433 juta dalam kondisi Xinja yang megap-megap.

Baca juga: Meski margin terus tergerus, bank digital masih sibuk gaet nasabah dengan iming-iming bunga tinggi

Kekhawatiran digitalisasi keuangan

Tak salah, makanya, banyak kalangan dan pengamat perbankan di Tanah Air pun sering menyampaikan kekhawatiran tentang digitalisasi keuangan yang terlampau cepat.

Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan agar regulasi juga mengikuti perkembangan yang terjadi di bisnis keuangan dan fintech. “Jangan sampai bisnis keuangan dan fintech sudah lari kencang, regulasi masih jalan di tempat,” ujar Presiden Jokowi mengingatkan.

Begitu pun dengan bank- bank besar di Indonesia yang memang sudah punya tingkat kewaspadaan tinggi. “Kita tunggu saja endgame-nya,” ujar Dirut Bank Mandiri Darmawan Junaidi.

Benar memang, bisnis keuangan adalah bisnis yang rumit dan sensitif. Kebocoran bisa datang dari mana saja, kata Direktur Manajemen Resiko Bank BCA, Haryanto Budiman.

Toh, fenomena digital, sudah tak bisa di pijak pedal remnya lagi. Semua bank berlomba adu cepat. Tak terkecuali juga fintech. Belajarlah dari Xinja Bank yang ambruk dalam waktu cepat. Ibarat mobil yang ditempelkan mesin jet, larinya bisa tak terkendali. (LUK)

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.