Darurat Literasi Digital: OJK Bongkar Fakta Pahit 74% Korban Pinjol Ilegal Berusia Muda

- 17 Desember 2025 - 15:44

Data resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga November 2025 membuka tabir masalah serius: hampir tiga perempat korban pinjaman online (pinjol) ilegal adalah generasi muda berusia 16-35 tahun. Lonjakan 18.633 pengaduan ini bukan sekadar angka, melainkan alarm darurat yang menandai kerentanan digital native terhadap jerat utang berbunga tinggi, didorong oleh kebutuhan mendesak, akses teknologi, dan godaan “solusi instan”.


Fokus utama:

■ 74% atau 13.744 dari 18.633 korban pinjol ilegal hingga November 2025 adalah anak muda usia 16-35 tahun.

■  Kombinasi kebutuhan mendesak, godaan solusi cepat, dan kemahiran digital justru membuat generasi muda rentan terjebak pinjol ilegal.

■ OJK gencar melakukan patroli siber bersama Kominfo dan mengedukasi masyarakat untuk memutus mata rantai pinjol ilegal.


Di balik gawai yang canggih dan kemudahan akses internet, tersembunyi sebuah jebakan finansial yang justru banyak mengincar mereka yang paling mahir menggunakannya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis data yang mengkhawatirkan: hingga akhir November 2025, dari total 18.633 pengaduan masyarakat mengenai pinjaman online ilegal, 73.7% di antaranya—atau setara dengan 13.744 laporan—berasal dari generasi muda berusia 16 hingga 35 tahun. Angka ini bukan lagi tren, melainkan sebuah peringatan keras (wake-up call) tentang kerapuhan literasi keuangan di era digital.

Data tersebut membeberkan detail yang lebih dalam: sebanyak 6.533 laporan (35%) berasal dari kelompok usia 16-25 tahun (Generasi Z), sementara 7.211 laporan (38.7%) lainya dilaporkan oleh mereka yang berusia 26-35 tahun (Milenial Muda). Ini berarti, dalam setiap 10 korban yang melapor, hampir 8 di antaranya adalah anak muda.

Mengapa justru generasi yang paling melek teknologi ini yang paling banyak terjebak?Friderica Widyasari Dewi (Kiki), Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan OJK, memberikan analisisnya. Pertama, ada kebutuhan dan keinginan yang mendesak, sering kali dipicu oleh gaya hidup konsumtif yang dipamerkan di media sosial.

“Pinjaman online ilegal ini menjadi opsi yang menawarkan akses yang cepat, begitu, ya, dan cenderung tanpa syarat yang rumit, sehingga tampak sebagai solusi yang dibedakan,” ujar Kiki dalam konferensi pers, Kamis (11/12/2025).

Kedua, kemahiran digital (digital savvy) justru menjadi bumerang. “Apalagi kalau anak-anak muda ini, kan, digital native, ya, sehingga mereka sangat mudah sekali untuk mendapatkan tawaran-tawaran dan kemudian mengklik [tawaran-tawaran],” tambahnya. Pelaku ilegal memanfaatkan algoritma media sosial dan iklan pop-up yang sangat personal untuk menyasar calon korban. Riset global dari Financial Health Network (2024) juga menunjukkan pola serupa: generasi muda, meskipun nyaman dengan teknologi, sering kali memiliki pemahaman yang rendah tentang syarat-syarat keuangan kompleks seperti bunga efektif (effective annual rate atau EAR) yang bisa mencapai ratusan persen per tahun pada pinjol ilegal.

Pinjol ilegal tidak sekadar meminjamkan uang.Mereka menjalankan bisnis terstruktur yang mengandalkan ketidakmampuan bayar nasabah. Menurut Kiki, platform ilegal sering kali justru berharap peminjam gagal melunasi. “Layanan ilegal juga mengharapkan agar para peminjam tidak bisa membayar kembali pinjamannya, sehingga mereka akan mendapatkan untung besar dari bunga yang semakin banyak,” tegasnya.

Setelah jatuh tempo, korban tidak hanya dihantui bunga berlipat. Mereka kerap mengalami cyber harassment: data pribadi dan kontak keluarga disebarkan, ancaman, dan teror psikologis melalui telepon dan pesan. Praktik ini jauh berbeda dengan pinjol resmi atau pinjaman daring (pindar) yang terdaftar di OJK, yang wajib melakukan verifikasi, transparan dalam perjanjian, dan memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas. OJK secara rutin merilis daftar pinjol legal yang dapat diakses publik.

Menghadapi gelombang ini,OJK tidak tinggal diam. Langkah represif dilakukan melalui cyber patrol bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menutup akses aplikasi dan situs ilegal. Namun, penutupan saja tidak cukup.

Pendekatan preventif melalui edukasi literasi keuangan menjadi kunci. Edukasi harus bergeser dari sekadar pengetahuan produk ke pemahaman risiko psikologis dan sosial dari utang konsumtif. Keluarga juga perlu dilibatkan untuk membangun komunikasi terbuka tentang pengelolaan keuangan. Di sisi lain, industri fintech legal didorong untuk menciptakan produk yang lebih inklusif dan aman bagi segmen muda, misalnya melalui pembiayaan mikro untuk UMKM milik anak muda atau buy now pay later (BNPL) dengan limit wajar dan edukasi tersemat.


Digionary:

● Buy Now Pay Later (BNPL): Skema pembayaran cicilan tanpa kartu kredit untuk pembelian retail, umumnya berbunga 0% jika lunas tepat waktu.
● Cyber Harassment: Pelecehan atau ancaman yang dilakukan melalui media digital, seperti penyebaran data pribadi dan teror pesan.
● Digital Native: Generasi yang tumbuh besar di era digital dan sangat akrab dengan internet dan perangkat teknologi.
● Financial Technology (Fintech): Inovasi di bidang jasa keuangan yang memanfaatkan teknologi modern.
● Effective Annual Rate (EAR): Total biaya pinjaman dalam setahun, termasuk bunga dan biaya lainnya, yang memberikan gambaran sebenarnya tentang beban utang.
● Pinjaman Daring (Pindar): Istilah resmi OJK untuk pinjaman online yang legal dan terdaftar.
● Pinjol Ilegal: Platform pinjaman online yang beroperasi tanpa izin dari OJK, sering kali menggunakan metode penagihan kasar dan bunga tidak wajar.

#OJK #PinjolIlegal #Fintech #GenerasiMuda #Milenial #GenZ #LiterasiKeuangan #KeuanganDigital #PinjamanOnline #Pindar #Investasi #Finansial #CerdasFinansial #DigitalNative #PatroliSiber #LindungiData #EdukasiKeuangan #Kominfo #BungaTinggi #PinjolLegal

Comments are closed.