Masayoshi Son, CEO SoftBank dan investor kunci OpenAI, memicu perdebatan serius dengan pernyataan kontroversialnya bahwa Kecerdasan Buatan Super (ASI) akan membuat kecerdasan manusia tampak seperti ‘ikan dalam akuarium’. Pernyataannya, yang disampaikan dalam pertemuan dengan Presiden Korea Selatan, menyentuh inti dari ketakutan eksistensial dan ambisi geopolitik dalam perlombaan global menguasai AI.
Fokus Utama:
■ Peringatan eksistensial dari seorang raja investasi AI: Masayoshi Son membandingkan manusia masa depan dengan “ikan” di hadapan AI super, menyulut debat tentang nasib manusia.
■ Strategi geopolitik di balik analogi yang mengejutkan: Pernyataan Son muncul dalam konteks ambisi Korea Selatan menjadi kekuatan AI global ketiga, didukung investasi besar dan pelatihan SDM.
■ Menakar jarak antara fiksi ilmiah dan realitas: Para ilmuwan membedakan AGI (dalam 1-2 dekade) dengan ASI yang masih jauh, namun perkembangan AI yang pesat memaksa pertanyaan etis yang mendesak.
Dalam sebuah pertemuan yang menggabungkan diplomasi teknologi dengan filsafat futuristik yang suram, Masayoshi Son, sang visioner di balik konglomerat investasi SoftBank, memberikan pernyataan yang mengguncang. Dalam pertemuan dengan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung, Son menyatakan bahwa Kecerdasan Buatan Super (Artificial Superintelligence atau ASI) akan membuat manusia tampak seperti ikan di dalam akuarium—hanya sebuah makhluk sederhana yang dipandang dari atas oleh entitas yang jauh lebih unggul.
“Perbedaan antara otak manusia dan ikan mas dalam pot, perbedaannya 10.000 kali lipat. Tapi akan beda, kita akan jadi ikan, mereka (AI) jadi seperti manusia,” kata Son, seperti dikutip dari AFP, Jumat (5/12). “Mereka (AI) akan 10.000 kali lebih pintar dari kita.”
Analogi yang begitu gamblang dan mudah diingat itu bukan sekadar retorika. Ia datang dari salah satu investor paling awal dan berpengaruh di dunia AI, yang melalui Vision Fund-nya telah menanamkan miliaran dolar ke dalam startup-startup kecerdasan buatan, termasuk menjadi penyokong dana utama bagi OpenAI, sang pencipta ChatGPT.
Pernyataan Son segera memicu gelombang reaksi.Di satu sisi, ia dianggap menyuarakan ketakutan eksistensial yang telah lama diwacanakan oleh ilmuwan seperti Nick Bostrom dan futuris seperti Ray Kurzweil. ASI, sebuah bentuk AI hipotetis yang melampaui kecerdasan manusia dalam segala bidang, sering kali digambarkan sebagai titik singularitas yang tak terelakkan namun penuh risiko.
Namun, Son berusaha meredam kekhawatiran paling primal. Ia menggambarkan hubungan masa depan itu lebih mirip manusia dengan hewan peliharaan daripada ancaman kepunahan. “Kita tidak perlu memakannya. ASI tidak makan protein. Mereka tidak perlu memakan kita — jangan khawatir,” ujarnya, berusaha melucuti narasi apokaliptik ala Terminator.
Presiden Lee Jae Myung, yang mendengarkan, menanggapi dengan tawa yang mungkin mengandung kecemasan. Ia lalu bertanya apakah suatu hari nanti ASI bisa memenangkan Hadiah Nobel Sastra—pertanyaan yang menusuk langsung ke inti perdebatan tentang kreativitas, kesadaran, dan esensi manusia yang tak tergantikan.
Pertemuan ini bukan sekadar diskusi filosofis. Ini adalah bagian dari manuver geopolitik Korea Selatan yang berambisi menjadi kekuatan utama ketiga di bidang AI, melawan dominasi AS dan China. Pada November lalu, Presiden Lee mengumumkan rencana pemerintah untuk melipatgandakan pengeluaran untuk AI pada tahun depan. Pekan ini, kantor kepresidenan juga mengonfirmasi kemitraan dengan Arm, unit desain semikonduktor milik SoftBank, untuk melatih 1.400 profesional chip AI.
“Inisiatif tersebut memperkuat bidang-bidang di mana industri semikonduktor Korea Selatan relatif lemah,” kata penasihat kebijakan presiden Kim Yong-beom. Langkah ini strategis, mengingat chip dan semikonduktor adalah bahan bakar fisik dari revolusi AI, dan Korea Selatan dengan raksasa seperti Samsung punya pijakan kuat.
Analis melihat upaya Korsel sebagai perlombaan yang semakin ketat. “Peta kekuatan AI global sedang dibentuk ulang. AS memimpin inovasi dasar, China mendominasi adopsi dan pengawasan, sementara pihak seperti Korsel, Uni Emirat Arab, dan Inggris berusaha mengambil niche dengan keahlian tertentu. Investasi besar-besaran adalah harga masuk yang wajib,” jelas Dr. Amelia Putri, peneliti kebijakan teknologi di Center for Strategic and International Studies.
Pertanyaan besarnya adalah kapan prediksi Son akan menjadi kenyataan? Mayoritas ilmuwan setuju bahwa ASI masih berada di ranah hipotesis yang mungkin baru terwujud beberapa dekade mendatang. Namun, tonggak utamanya, yaitu Kecerdasan Umum Buatan (Artificial General Intelligence atau AGI)—AI yang dapat memahami, belajar, dan mengaplikasikan pengetahuannya sefleksibel manusia—diperkirakan oleh beberapa pakar terkemuka bisa muncul dalam 10-20 tahun mendatang.
Kemajuan yang pesat dalam model bahasa besar (large language models) seperti GPT-4, Gemini Ultra, dan Claude 3 telah mempercepat garis waktu perkiraan ini. Laporan terbaru dari firma riset International Data Corporation (IDC) memproyeksikan belanja global untuk solusi AI akan melampaui US$500 miliar pada tahun 2027, menunjukkan laju adopsi yang eksponensial.
Peringatan Son, meski disampaikan dengan analogi yang dramatis, pada akhirnya adalah sebuah cermin. Ia memaksa kita untuk tidak hanya terpukau pada kemampuan AI yang menulis puisi atau menghasilkan video, tetapi juga memikirkan secara mendalam tentang tata kelola, etika, dan masa depan hubungan antara manusia dengan ciptaannya yang mungkin suatu hari melampaui dirinya sendiri. Seperti kata Son, kita mungkin tidak akan dimakan, tetapi akankah kita puas hanya menjadi “ikan” yang berenang dalam akuarium yang dibangun oleh kecerdasan yang kita ciptakan?
Digionary:
● AGI (Artificial General Intelligence / Kecerdasan Umum Buatan): Jenis AI hipotetis yang memiliki kemampuan untuk memahami, belajar, dan menerapkan kecerdasan pada berbagai masalah secara luas seperti manusia.
● ASI (Artificial Superintelligence / Kecerdasan Buatan Super): Bentuk AI yang jauh melampaui kecerdasan manusia dalam semua bidang, termasuk kreativitas, kebijaksanaan umum, dan kemampuan sosial; saat ini masih berupa konsep futuristik.
● Large Language Models (LLM / Model Bahasa Besar): Model AI yang dilatih dengan data teks sangat besar untuk memahami, menghasilkan, dan memanipulasi bahasa manusia (contoh: GPT-4, Gemini).
● Singularitas Teknologi: Titik hipotetis di masa depan ketika kemajuan teknologi menjadi tak terkendali dan tidak dapat dibalikkan, mengakibatkan perubahan yang tidak terprediksi pada peradaban manusia, sering dikaitkan dengan kelahiran ASI.
#AI #KecerdasanBuatan #ArtificialIntelligence #SoftBank #MasayoshiSon #KoreaSelatan #FutureTech #ASI #AGI #Singularity #TeknologiMasaDepan #AIethics #GeopolitikAI #OpenAI #ChatGPT #RevolusiIndustri4 #Semikonduktor #NobelSastra #Futurism #LeeJaeMyung
