Ledakan investasi kecerdasan buatan (AI) dalam dua tahun terakhir melahirkan optimisme sekaligus kecemasan. Di tengah reli saham teknologi yang belum mereda, sejumlah indikator mulai menunjukkan gejala ketidakwajaran valuasi—dari aksi jual Nvidia oleh investor papan atas hingga peringatan regulator di AS dan Inggris soal potensi gelembung. Dalam suasana pasar yang memanas ini, CEO Google Sundar Pichai mengingatkan bahwa tidak ada satu pun perusahaan yang benar-benar aman bila “AI bubble” kelak pecah. Google pun memperbesar investasi globalnya, sembari bersiap menghadapi skenario terburuk.
Fokus Utama:
■ Ledakan investasi AI memunculkan kekhawatiran bubble setelah aksi jual saham Nvidia oleh investor besar dan peringatan regulator global.
■ Google memperbesar investasi, namun Sundar Pichai mengakui tak ada perusahaan yang aman bila gelembung AI pecah.
■ Indikator pasar menunjukkan potensi ketidakwajaran valuasi, mengingat banyak perusahaan belum memonetisasi AI secara nyata meski valuasi melonjak.
Euforia kecerdasan buatan menyeret hampir seluruh perusahaan teknologi ke dalam perlombaan investasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, Google—salah satu pemain terbesar AI—justru mengibarkan bendera kuning. CEO Sundar Pichai menegaskan bahwa jika gelembung AI pecah, tidak ada perusahaan yang akan benar-benar lolos dari dampaknya, termasuk Google sendiri.
Ledakan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) sejak 2023 menciptakan dinamika luar biasa di pasar teknologi global. Ratusan miliar US$ mengalir ke perusahaan-perusahaan yang berlomba memperkuat posisi di tengah revolusi AI yang belum menunjukkan tanda melambat. Infrastruktur komputasi dibangun di mana-mana, model baru muncul hampir setiap bulan, dan perusahaan lintas industri berlomba menempelkan label “AI-powered” pada produk mereka.
Namun, di balik kegembiraan itu, bayang-bayang gelembung mulai terasa. Para analis di Wall Street menyebut fenomena ini sebagai fase di mana narasi AI berkembang lebih cepat dibanding bukti profit jangka panjangnya—sebuah kondisi klasik pembentuk bubble. Dalam sejarah pasar, “bubble” selalu memiliki pola: antusiasme tinggi, banjir modal, valuasi melompat, diikuti koreksi tajam yang menguap bersama ekspektasi berlebih.
Indikasinya kini semakin konkret. Dua investor besar—Peter Thiel dan SoftBank—tiba-tiba melepas seluruh saham Nvidia yang mereka koleksi. Padahal Nvidia masih menjadi “jantung” infrastruktur AI dunia, dari chip H100 hingga platform komputasi awan. Keputusan itu sontak memicu kecemasan karena Nvidia selama dua tahun terakhir dianggap barometer utama booming AI global. Langkah investor papan atas sering dibaca publik sebagai sinyal awal perubahan arah.
Di tengah kegaduhan itu, Google justru mengambil posisi yang berbeda, yakni mengingatkan risiko. Dalam wawancaranya dengan BBC, CEO Google Sundar Pichai memberi penilaian jujur mengenai situasi yang menurutnya mulai menunjukkan ketidakwajaran. Ia mengatakan, meledaknya investasi AI bisa membawa pasar ke fase yang tak terhindarkan: koreksi keras bila ekspektasi ternyata tak sejalan dengan realisasi.
“Tidak ada perusahaan yang akan sepenuhnya aman, termasuk kami. Jika terjadi investasi berlebihan, kita tetap harus melewati fase itu dan mengatasinya,” ujar Pichai sebagaimana dikutip dari Reuters.
Pichai menggambarkan momen yang sedang terjadi sebagai “luar biasa”—baik dari sisi teknologi maupun arus modal. Setiap perusahaan ingin menjadi bagian dari gelombang ini, dan setiap investor berlomba tidak mau tertinggal. Di AS, kenaikan valuasi perusahaan AI dalam waktu singkat mulai dianggap tidak sehat bagi stabilitas pasar yang lebih luas. Inggris bahkan secara resmi memasukkan risiko AI bubble sebagai perhatian regulator pada akhir 2025.
Meski begitu, Google justru memperbesar investasinya. Anak perusahaan induk Alphabet itu berkomitmen menanam investasi 5 miliar poundsterling (sekitar Rp110 triliun) untuk riset dan infrastruktur AI di Inggris, termasuk membangun pusat data baru dan memperluas DeepMind—laboratorium AI asal London yang telah melahirkan AlphaGo hingga Gemini Ultra.
Langkah agresif ini menunjukkan Google tidak hanya ingin mempertahankan dominasi, tetapi juga memperluas pijakan geopolitik teknologi. Bahkan, dalam wawancara yang sama, Pichai mengatakan pihaknya akan mulai melatih model AI generasi baru di Inggris—sebuah langkah yang ia klaim sejalan dengan ambisi Perdana Menteri Keir Starmer menjadikan Inggris negara adidaya AI ketiga setelah AS dan China.
Tetapi optimisme itu berjalan berdampingan dengan kewaspadaan. Pichai secara terbuka menyebut adanya “unsur-unsur tidak rasional” dalam perkembangan pasar AI saat ini. Pernyataan itu mengingatkan penonton global pada gelembung dot-com akhir 1990-an, ketika euforia teknologi melambungkan valuasi, sebelum akhirnya jatuh dan menghapus nilai pasar hingga triliunan US$.
Data terbaru dari Bloomberg Intelligence menunjukkan valuasi gabungan perusahaan-perusahaan AI global meningkat lebih dari 44 % sepanjang 2025. Sementara itu, indeks AI thematic funds mencatat pertumbuhan aliran modal terbesar dibanding sektor lain, mengalahkan energi terbarukan dan kesehatan.
Saham Alphabet sendiri melonjak 46 % sepanjang 2025, ditopang keyakinan investor bahwa Google mampu bersaing dengan OpenAI dalam menghadirkan model AI paling canggih. Namun kenaikan itu tidak bebas risiko. Banyak analis mengingatkan bahwa pertumbuhan harga saham bisa lebih didorong sentimen ketimbang fundamental.
Riset Harvard Business Review edisi Oktober 2025 mencatat bahwa lebih dari 62 % perusahaan yang mengklaim sudah mengadopsi AI sebenarnya masih berada di tahap “eksplorasi”, belum menghasilkan keuntungan nyata. Artinya, pertumbuhan valuasi saat ini bergerak jauh lebih cepat daripada bukti monetisasi teknologi.
Pada akhirnya, pesan Pichai jelas, dunia mungkin sedang berada di titik kritis dalam revolusi AI. Pertumbuhan yang terlalu cepat tanpa keseimbangan sering memaksa pasar melakukan koreksi. Dan jika gelembung itu pecah, skala dampaknya diperkirakan akan meluas ke seluruh industri—dari chip, komputasi awan, perangkat lunak, hingga raksasa internet.
Meski begitu, ia tetap optimistis Google punya kapasitas melewati badai tersebut. “Kami berada dalam posisi kuat,” ujarnya. “Namun bukan berarti kami kebal.”
Dalam ekosistem yang bergerak secepat AI, satu hal kini semakin jelas: dunia sedang menari di atas tali tipis antara inovasi dan resesi teknologi.
Foto: Getty Images
Digionary:
● AI Bubble — kondisi ketika valuasi dan ekspektasi atas teknologi AI melonjak jauh lebih cepat daripada profit atau kemampuan komersialnya.
● Alphabet — perusahaan induk Google.
● DeepMind — laboratorium riset AI milik Google yang berbasis di London.
● Dot-com Bubble — gelembung teknologi akhir 1990-an ketika perusahaan internet overvalued lalu jatuh.
● Gelembung (Bubble) — situasi pasar ketika harga aset naik tidak rasional dan berpotensi jatuh drastis.
● Investasi Berlebihan (Over-investment) — penanaman modal yang melampaui kapasitas atau kebutuhan riil industri.
● Model AI — sistem kecerdasan buatan yang dilatih untuk melakukan tugas tertentu.
● Nvidia — produsen chip yang menjadi tulang punggung komputasi AI global.
● Pusat Data (Data Center) — fasilitas yang berfungsi menyimpan dan mengolah data dalam skala besar.
● Valuasi — nilai perusahaan berdasarkan penilaian pasar.
#AI #ArtificialIntelligence #Google #SundarPichai #AIBubble #Teknologi #EkonomiDigital #Nvidia #InvestasiAI #Alphabet #DeepMind #PasarGlobal #WallStreet #BBCInterview #Fintech #TransformasiDigital #TeknoKompas #EkonomiTeknologi #CloudComputing #MachineLearning
