Super Cycle AI: Era 20 Tahun yang Siap Mengubah Dunia

- 30 September 2025 - 13:47

Artificial Intelligence (AI) diprediksi memasuki fase “super cycle” selama 15–20 tahun, sebuah periode pertumbuhan panjang yang akan mengubah industri global dari kesehatan, tenaga kerja, hingga teknologi iklim. Menurut Raj Ganguly, pendiri B Capital, dampaknya setara revolusi internet, dengan Asia dan India muncul sebagai motor inovasi penting.


Fokus Utama:

1. AI sebagai Super Cycle Baru – Pertumbuhan panjang selama 15–20 tahun, setara dengan revolusi internet, diprediksi akan mengubah cara kerja dunia.
2. Perubahan Ekosistem Teknologi – Generative AI mendorong transformasi dari dominasi Silicon Valley ke ekosistem global, termasuk India sebagai pusat aplikasi AI.
3. Risiko Gelembung Pasar – Meski potensinya besar, hype AI berpotensi menciptakan valuasi berlebihan, sehingga investor perlu cermat melihat imbal hasil jangka panjang.


AI memasuki “super cycle” 20 tahun yang diprediksi mengubah dunia, menurut Raj Ganguly dari B Capital. Dari Silicon Valley hingga India, inilah peta besar revolusi AI berikut risiko gelembung pasar yang mengintai.


Artificial intelligence kini memasuki fase yang disebut “super cycle” — sebuah periode pertumbuhan panjang yang bisa berlangsung 15 hingga 20 tahun. Prediksi itu datang dari Raj Ganguly, co-founder dan co-CEO perusahaan modal ventura B Capital, yang menegaskan bahwa dampak AI akan terasa dalam hampir seluruh aspek kehidupan.

“Kita baru berada di tahun ketiga atau keempat dari super cycle AI ini. Dan ini mungkin super cycle 20 tahun, mungkin juga 15 tahun, tetapi ini akan mengubah dunia,” ujar Ganguly dalam podcast Beyond the Valley CNBC, Jumat (26/9).

Super cycle biasanya dipahami sebagai periode pertumbuhan pasar yang berkelanjutan. Dalam konteks AI, efeknya diperkirakan meluas dari pengembangan obat-obatan, restrukturisasi pasar kerja, hingga lahirnya model bisnis baru. “AI akan mengubah dunia dalam setiap aspeknya,” tambah Ganguly.

Sejak OpenAI merilis ChatGPT pada November 2022, teknologi generatif ini langsung menyedot perhatian global. Microsoft, Google, Amazon, hingga Meta telah menggelontorkan miliaran US$ untuk memperkuat posisinya. Data McKinsey (2025) menunjukkan lebih dari 70% perusahaan besar kini telah mengadopsi AI dalam setidaknya satu unit bisnis mereka, naik dari hanya 50% pada 2022.

Ganguly, yang berkarier sejak akhir 1990-an, menyebut ada tiga pergeseran besar. Pertama, Silicon Valley memang kembali terdongkrak berkat generative AI, namun pangsa globalnya kini kurang dari 50%—turun dari 80–90% di masa lalu. Kedua, AI membuka jalan bagi pendiri tunggal untuk membangun bisnis tanpa harus merekrut banyak programmer atau membeli server, karena AI sendiri mampu membantu membangun dan menulis kode. Ketiga, dekade mendatang akan lebih menekankan “deep tech”—termasuk AI generatif dan semikonduktor canggih—ketimbang perusahaan konsumer seperti Amazon atau Meta.

“Dekade berikutnya adalah tentang membentuk ulang industri-industri yang sebelumnya kurang tersentuh teknologi, dan ini jauh melampaui teknologi konsumer,” jelasnya.

Menurutnya, peluang besar kini ada pada aplikasi “AI native” yang dibangun langsung untuk bekerja dengan large language models (LLM). India disebut sebagai salah satu pasar yang menjanjikan. “Perusahaan-perusahaan yang dibangun di India akan menjadi pemimpin pasar di AS dan Eropa dalam lima tahun mendatang,” kata Ganguly.

Namun, ia juga mengingatkan risiko euforia. “Saya rasa kita sedikit berada di dalam gelembung… ada yang terlalu berlebihan karena banyak orang percaya dalam lima tahun AI akan mengubah dunia, padahal biasanya selalu butuh waktu lebih lama,” tegasnya.

Sejak mendirikan B Capital bersama Eduardo Saverin (co-founder Facebook) pada 2015, Ganguly mengamati perubahan lanskap inovasi global. Ketika ia kembali ke Asia pada 2009, ia mendapati inovasi fundamental justru berkembang di kawasan ini, bukan sekadar meniru model bisnis dari AS. Kini, tren itu semakin nyata: dari TikTok hingga WeChat, Asia telah menjadi pusat lahirnya inovasi yang kemudian diadopsi secara global.

“Bahkan para pendiri startup di AS kini sering berkata, ‘kami ingin belajar apa yang terbaru dari China atau India’,” ujar Ganguly.

Laporan Goldman Sachs (2024) sebelumnya juga menyebut AI sebagai faktor kunci pendorong super cycle ekonomi baru. IMF (2025) menambahkan, adopsi AI berpotensi meningkatkan produktivitas global hingga 7% dalam dua dekade ke depan, meski dengan risiko ketimpangan tenaga kerja yang semakin tajam.


Digionary:

● AI (Artificial Intelligence): Kecerdasan buatan, teknologi yang memungkinkan mesin belajar dan meniru kecerdasan manusia.
● ChatGPT: Model AI generatif buatan OpenAI yang diluncurkan pada 2022 dan menjadi tonggak tren AI global.
● Deep Tech: Inovasi teknologi yang berbasis pada riset mendalam, seperti semikonduktor, AI, atau bioteknologi.
● Generative AI: Cabang AI yang mampu menciptakan konten baru seperti teks, gambar, atau kode berdasarkan data pelatihan.
● Large Language Model (LLM): Model AI dengan miliaran parameter yang mampu memahami dan menghasilkan bahasa alami.
● McKinsey: Firma konsultan global yang sering melakukan riset tentang tren bisnis dan teknologi.
● Modal Ventura (Venture Capital/VC): Investasi berisiko tinggi yang ditujukan untuk perusahaan rintisan (startup).
● OpenAI: Perusahaan riset AI yang didukung Microsoft dan pencipta ChatGPT.
● Super Cycle: Periode pertumbuhan pasar jangka panjang yang berkelanjutan.
● Silicon Valley: Kawasan teknologi di California, AS, pusat lahirnya banyak perusahaan teknologi besar dunia.

#ArtificialIntelligence #AI #SuperCycle #Teknologi #Investasi #Startup #GenerativeAI #SiliconValley #DeepTech #Inovasi #EkonomiDigital #McKinsey #GoldmanSachs #OpenAI #ChatGPT #VentureCapital #IndiaTech #AsiaInovasi #BCapital #RajGanguly

Comments are closed.