Lonjakan pengangguran di kalangan pemuda Amerika Serikat saat ini bukan disebabkan oleh gelombang otomatisasi AI, melainkan oleh tiga faktor ekonomi konvensional, yakni normalisasi rekrutmen pasca ekspansi besar-besaran, ketidakpastian kebijakan politik, dan tekanan tarif impor. Analisis terbaru dari ekonom TS Lombard menyoroti bahwa sektor-sektor yang paling terpapar AI justru tidak kehilangan lebih banyak lapangan kerja, mengindikasikan masalah yang lebih dalam dalam ekonomi riil.
Fokus Utama:
■ Dekonstruksi Narasi AI: Artikel menantang narasi dominan yang menyalahkan AI sebagai biang keladi tingginya pengangguran pemuda AS, dengan menyajikan data bahwa sektor ber-AI tinggi justru tidak kehilangan lebih banyak pekerjaan.
■ Tiga Penyebab Konvensional yang Terabaikan: Fokus dialihkan ke tiga faktor ekonomi-politik tradisional: normalisasi rekrutmen pasca ekspansi pandemi, ketidakpastian kebijakan (terkait siklus politik AS), dan tekanan profit margin akibat kebijakan tarif impor.
■ Dampak dan Prospek bagi Tenaga Kerja Muda: Analisis menunjukkan bahwa masalah utama adalah stagnasi dalam penciptaan lowongan baru, bukan penghancuran lapangan kerja yang masif. Prospek pemuda diperkirakan akan membaik jika siklus ekonomi berbalik dan ketidakpastian politik mereda.
Setiap kali angka pengangguran pemuda melonjak, ada satu tersangka yang selalu mudah untuk disalahkan: Kecerdasan Buatan (AI). Narasinya menarik dan futuristik: robot dan algoritma merebut pekerjaan entry-level yang seharusnya menjadi milik para lulusan baru.
Namun, sebuah analisis mendalam dari seorang ekonom terkemuka justru membantah narasi populer itu. Menurut Dario Perkins, Managing Director di lembaga konsultasi ekonomi Global Data.TS Lombard, penyebab sebenarnya jauh lebih konvensional dan—mungkin—lebih mengkhawatirkan. Ini bukan soal revolusi teknologi, melainkan tentang ekonomi makro yang lesu, ketidakpastian politik yang membekukan keputusan bisnis, dan warisan kebijakan perdagangan era Donald Trump yang masih membebani.
“Untuk para maksimalis AI, ini adalah ‘bukti’ bahwa perusahaan sedang menerapkan teknologi alih-alih merekrut lulusan. Dan ini juga konsisten dengan apa yang dikatakan para pemimpin bisnis, di mana ‘AI’ sekarang menjadi sinonim dari ‘pemotongan biaya’,” tulis Perkins dalam laporannya seperti dikutip Business Insider.
Tapi Perkins bersikeras bahwa alasan sebenarnya hanyalah siklus bisnis biasa. “Rekrutmen AS lemah di semua sektor. Faktanya, ekonomi secara keseluruhan saat ini mengalami tingkat penciptaan lapangan kerja yang setara dengan resesi,” tegasnya.
Data yang Mengejutkan: Sektor Ber-AI Justru Tak Terpukul
Analisis Perkins mengungkap temuan yang mengejutkan: sektor-sektor dengan eksposur tinggi terhadap AI—seperti teknologi informasi, keuangan, dan layanan profesional—tidak mengalami peningkatan pengangguran yang lebih besar dibandingkan sektor tradisional seperti ritel atau manufaktur. Justru, penurunan terjadi secara merata.
Sejak 2023, pengangguran di kalangan pendatang baru di pasar tenaga kerja AS melonjak lebih dari 2,5 poin persentase. Sebaliknya, tingkat pengangguran pekerja yang lebih tua tetap datar. Kesenjangan ini menunjukkan masalah spesifik pada proses perekrutan entry-level, bukan pada penghapusan posisi oleh mesin.
Lalu, apa penyebab utama pembekuan perekrutan ini? Perkins merangkumnya dalam tiga poin:
1. Normalisasi Pasca ‘Hiring Boom’ Pandemi: Perusahaan-perusahaan berebut merekrut secara agresif selama pemulihan pasca-pandemi. Kini, mereka memasuki fase “normalisasi” dengan memperlambat rekrutmen baru dan bahkan melakukan perampingan (rightsizing) untuk menyesuaikan dengan kondisi permintaan yang sebenarnya.
2. Ketidakpastian Kebijakan Politik yang Membekukan Investasi: Menjelang pemilihan presiden AS November 2024 lalu dan kebijakan-kebijakan baru administrasi terpilih, dunia usaha diliputi ketidakpastian. Dalam situasi seperti ini, keputusan ekspansi dan rekrutmen besar-besaran cenderung ditunda. “Ketidakpastian kebijakan telah membuat bisnis berhati-hati dalam merekrut staf baru,” tulis Perkins.
3. Tekanan Tarif Era Trump yang Menggerus Margin Keuntungan: Kebijakan tarif impor yang diterapkan pemerintahan Trump dan sebagian masih berlaku, telah meningkatkan biaya input bagi banyak perusahaan. Tekanan pada margin keuntungan ini memaksa perusahaan untuk memeras produktivitas lebih banyak dari karyawan yang ada, alih-alih merekrut tangan baru.
Implikasi bagi Pekerja Muda dan Masa Depan
Situasi ini menjepit para pencari kerja muda. Namun, Perkins memberi secercah harapan. Kabar baiknya, lapangan kerja bersih secara keseluruhan tetap stabil; tidak ada gelombang PHK massal. Masalahnya adalah minimnya lowongan baru yang diciptakan.
“Ketika ekonomi kembali berakselerasi dan tingkat rekrutmen pulih, prospek pekerjaan bagi pendatang baru seharusnya membaik,” prediksinya.
Temuan Perkins ini muncul di tengah perdebatan sengit tentang dampak AI. Laporan lain, seperti dari Goldman Sachs pada Agustus 2024, menunjukkan sisi yang berbeda: pengangguran bagi pekerja teknologi berusia 20-30 tahun telah naik hampir 3 poin persentase sejak awal 2024—angka yang empat kali lebih tinggi dari peningkatan tingkat pengangguran secara keseluruhan. Bahkan pada Oktober 2024, Goldman memperingatkan era “pertumbuhan tanpa lapangan kerja” (jobless growth) di AS karena AI.
Perbedaan sudut pandang ini menyoroti kompleksitas diagnostik ekonomi. Mungkin AI bukan penyebab utama gelombang pengangguran pemuda saat ini, namun ia berpotensi menjadi faktor penentu masa depan struktur ketenagakerjaan. Untuk saat ini, menurut Perkins, musuh terbesar pemuda yang mencari kerja bukanlah robot, melainkan kombinasi dari siklus bisnis, gejolak politik, dan perang dagang—masalah-masalah lama yang berpakaian baru.
Digionary:
● AI (Artificial Intelligence) / Kecerdasan Buatan: Teknologi sistem komputer yang dirancang untuk meniru kecerdasan manusia, seperti pembelajaran dan pemecahan masalah.
● Jobless Growth (Pertumbuhan Tanpa Lapangan Kerja): Situasi ekonomi dimana perekonomian suatu negara tumbuh, namun pertumbuhan tersebut tidak diiringi dengan penciptaan lapangan kerja yang signifikan.
● Ketidakpastian Kebijakan (Policy Uncertainty): Kondisi dimana pelaku bisnis kesulitan membuat perencanaan jangka panjang karena tidak dapat memprediksi arah regulasi atau kebijakan pemerintah di masa depan.
● Margin Keuntungan (Profit Margin): Persentase pendapatan yang menjadi keuntungan perusahaan setelah dikurangi semua biaya.
● Normalisasi (dalam Rekrutmen): Proses penyesuaian jumlah karyawan kembali ke level yang dianggap normal atau berkelanjutan setelah periode ekspansi atau perekrutan yang agresif.
● Rightsizing: Strategi perusahaan untuk mengoptimalkan ukuran dan struktur tenaga kerjanya agar sesuai dengan kebutuhan bisnis saat ini, yang dapat mencakup perampingan (downsizing) atau bahkan penambahan.
● Tarif (Impor): Pajak atau bea yang dikenakan pemerintah atas barang yang diimpor dari negara lain, yang dapat meningkatkan harga bahan baku dan menekan keuntungan perusahaan.
#Pengangguran #Pemuda #PasarKerja #EkonomiAS #AI #KecerdasanBuatan #AnalisisEkonomi #Kebijakan #Trump #Tarif #Politik #Resesi #Perekrutan #LulusanBaru #TSLombard #GoldmanSachs #JoblessGrowth #Ketidakpastian #EkonomiGlobal #TenagaKerja
