Skema koordinasi manfaat (Coordination of Benefit/CoB) antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta mulai digulirkan sejak Juli 2025. Meski di atas kertas mampu memperluas akses dan kualitas layanan kesehatan bagi peserta JKN, implementasinya menghadapi empat tantangan besar: koordinasi dengan rumah sakit dan TPA, perbedaan administrasi, rendahnya literasi masyarakat, serta hambatan infrastruktur digital. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menegaskan, keberhasilan CoB hanya bisa terwujud jika semua pihak—pemerintah, penyedia layanan, hingga perusahaan asuransi—menemukan titik temu yang adil dan berimbang.
Fokus Utama
- Skema CoB diharapkan mampu memperluas layanan kesehatan dengan pembagian klaim hingga 250% dari standar i-DRG.
- Implementasi di lapangan terhambat oleh masalah koordinasi, administrasi, literasi masyarakat, dan infrastruktur digital.
- AAJI menekankan pentingnya aspek keadilan agar CoB tidak membebani salah satu pihak dan tetap menjamin kepastian manfaat bagi peserta.
Harapan publik akan layanan kesehatan yang lebih komprehensif kembali menguat setelah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan resmi menjalankan skema koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (CoB) dengan asuransi swasta sejak Juli 2025. Melalui skema ini, peserta JKN berpeluang mendapatkan perlindungan yang lebih luas, sementara perusahaan asuransi swasta ikut berbagi beban klaim.
Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat empat tantangan besar yang harus segera diatasi: koordinasi dengan penyedia layanan kesehatan, perbedaan administrasi klaim, rendahnya literasi masyarakat, serta hambatan infrastruktur digital.
“Koordinasi manfaat sudah berjalan, tapi masih terbatas. Ada sejumlah pembenahan yang harus dilakukan agar bisa meluas,” ujar Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu, Senin (22/9/2025).
Menurut Togar, rumah sakit dan pihak ketiga (third party administrator/TPA) masih belum memiliki standar seragam dalam menjalankan CoB. Administrasi penagihan dan klaim pun sering berbenturan karena sistem pembiayaan BPJS berbeda dengan asuransi swasta.
Masalah lain, literasi masyarakat tentang CoB masih rendah. Banyak peserta JKN tidak memahami prosedur maupun manfaat tambahan yang bisa diperoleh. Sementara itu, lemahnya infrastruktur digital membuat integrasi data dan sistem klaim berjalan tersendat. “Infrastruktur digital dan perbedaan sistem antar institusi juga menjadi hambatan teknis dalam implementasi CoB secara menyeluruh,” kata Togar.
Dari sisi kebijakan, rapat Komite Kebijakan Sektor Kesehatan (KKSK) yang difasilitasi OJK menyepakati pembiayaan CoB bisa mencapai 250% dari standar i-DRG. Skemanya, BPJS Kesehatan menanggung 75%, sementara asuransi swasta menutup hingga 175% sisanya. Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian OJK, Ogi Prastomiyono, menilai formula ini penting untuk menjaga keberlanjutan asuransi sekaligus meringankan peserta.
AAJI menegaskan, keadilan menjadi kata kunci dalam penerapan skema ini. “Intinya agar pembagian porsi ini lebih optimal, berimbang, dan tidak menimbulkan beban berlebihan pada salah satu pihak,” ucap Togar.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti, menambahkan CoB sudah diujicobakan di sejumlah fasilitas kesehatan sebelum aturan resmi berlaku. “Melalui CoB ini, peserta JKN-KIS kelas 1 dan 2 bisa meningkatkan layanan kesehatan mereka dengan menambah biaya sendiri dari perusahaan tempat bekerja atau dari asuransi tambahan,” jelasnya.
Penetrasi Asuransi Masih Rendah
Meski CoB membuka jalan kolaborasi, tantangan lain datang dari rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia. Data OJK menunjukkan, hingga Februari 2025 penetrasi asuransi baru 2,72% dari PDB, menurun tipis dari 2,84% pada Desember 2024. Angka ini stagnan dalam 10 tahun terakhir, jauh di bawah rata-rata ASEAN yang mendekati 15%, bahkan tertinggal jauh dari Singapura yang menembus lebih dari 70% dari PDB.
Kolaborasi BPJS Kesehatan dan asuransi swasta lewat skema CoB resmi berjalan Juli 2025. Meski menjanjikan perlindungan lebih luas, implementasi masih terbentur tantangan besar, di tengah penetrasi asuransi Indonesia yang stagnan di bawah 3%.
Total aset industri asuransi di Indonesia baru menyentuh 5,1% PDB, dengan penetrasi asuransi jiwa sekitar 0,8%. Sementara sektor syariah, meski tumbuh, masih berasal dari basis kecil dengan kontribusi Rp22,1 triliun pada 2024.
Kondisi ini menunjukkan bahwa skema CoB bisa menjadi katalis penting untuk meningkatkan literasi dan partisipasi masyarakat dalam asuransi. Tanpa itu, risiko beban biaya kesehatan masih akan menekan rumah tangga Indonesia.
Digionary
● AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia): Organisasi yang menaungi perusahaan asuransi jiwa di Indonesia.
● BPJS Kesehatan: Badan penyelenggara jaminan sosial bidang kesehatan bagi seluruh warga negara Indonesia.
● CoB (Coordination of Benefit): Skema pembiayaan kesehatan yang memungkinkan klaim ditanggung bersama oleh BPJS dan asuransi swasta.
● i-DRG (Indonesian Diagnosis Related Group): Standar tarif nasional berbasis diagnosis medis yang digunakan dalam pembiayaan kesehatan.
● JKN-KIS: Program Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat yang dikelola BPJS.
● KKSK (Komite Kebijakan Sektor Kesehatan): Forum koordinasi antar pemangku kepentingan sektor kesehatan.
● Third Party Administrator (TPA): Pihak ketiga yang mengelola klaim dan administrasi asuransi kesehatan.
#BPJSKesehatan #AsuransiSwasta #CoordinationOfBenefit #AsuransiKesehatan #AAJI #JKNKIS #DigitalisasiKesehatan #FintechHealth #iDRG #OJK #Kemenkes #InovasiAsuransi #LayananKesehatan #ReformasiKesehatan #EkonomiKesehatan #KolaborasiBPJSAsuransi #CoBIndonesia #BPJS2025 #KesehatanDigital #ManfaatAsuransi
