Pasar Kripto Indonesia di Titik Persimpangan: Booming atau Gejolak

- 7 Oktober 2025 - 08:37

Pertumbuhan perdagangan aset kripto di Indonesia terus mencuat, meski belakangan menunjukkan gejala koreksi bulanan. Data OJK mencatat transaksi kripto mencapai Rp 49,57 triliun pada Mei 2025, sementara jumlah investor melonjak ke 14,78 juta orang. Kebijakan baru mengenai perpajakan kripto, dan peralihan pengawasan dari Bappebti ke OJK, membuka peluang sekaligus tantangan bagi pelaku pasar.


Fokus Utama:

1. Momentum dan koreksi pasar kripto domestik — lonjakan transaksi diikuti penurunan yang menguji stabilitas.
2. Reformasi regulasi dan perpajakan — bagaimana kebijakan baru bisa mendongkrak atau menekan pasar.
3. Risiko inheren dan tantangan ekosistem — volatilitas, keamanan, dan literasi menjadi ujian utama.


Transaksi kripto melonjak ke rekor baru, namun koreksi bulan berikutnya memberi sinyal guncangan. Kebijakan pajak baru, peralihan ke OJK, dan tantangan volatilitas menjadi fokus krusial bagi masa depan industri aset digital Indonesia.


Setelah lonjakan transaksi yang mencekam pasar (hingga Rp 49,57 triliun di Mei 2025), pasar kripto Indonesia mengalami koreksi signifikan di bulan-bulan berikutnya — sebuah momentum yang menguji klaim “kripto sebagai instrumen keuangan masa depan.” Di tengah gelombang regulasi baru dan kebijakan pajak yang direvisi, investor dan pelaku usaha harus berjaga: peluang besar datang berdampingan dengan risiko besar pula.

Menurut OJK, nilai transaksi kripto pada Mei 2025 menembus angka Rp 49,57 triliun, naik signifikan dari April yang tercatat Rp 35,61 triliun. Lonjakan ini mengindikasikan gelombang minat baru dari segmen investor ritel dan institusi. Namun, tekanan jual dan sentimen global turut memicu koreksi: pada Juni 2025, nilai transaksi merosot menjadi Rp 32,31 triliun, turun sekitar 34,82 % dibandingkan bulan sebelumnya.

Meski demikian, volume agregat tahun berjalan (year-to-date) tetap tinggi, yakni mencapai Rp 224,11 triliun hingga Juni. Sementara itu, jumlah investor kripto terus bertambah: dari 13,71 juta di Maret, menjadi 14,16 juta di April, dan melonjak ke 14,78 juta di Mei.

Tren ini menunjukkan bahwa meskipun ada koreksi nilai transaksi, pangsa pemodal dan kepedulian terhadap ekosistem masih tumbuh. Selain volume transaksi, jumlah aset kripto yang diperdagangkan di Indonesia juga terus berkembang. Hingga April 2025, OJK mencatat 1.444 jenis aset kripto aktif diperdagangkan.

Langkah signifikan dilakukan pemerintah lewat PP 49/2024, yang melimpahkan pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital, termasuk kripto, dari Bappebti ke OJK terhitung sejak 10 Januari 2025. Dorongan ini bertujuan agar kripto tidak dianggap lagi sebagai komoditas yang tunduk pada PPN, melainkan sebagai instrumen keuangan dengan rezim baru perpajakan.

Namun kebijakan pajak kripto tetap dalam dinamika. Sejak 1 Agustus 2025, transaksi kripto domestik dikenai pajak jual (seller tax) sebesar 0,21 %, naik dari sebelumnya 0,1 %. Transaksi di platform asing akan dikenai pajak sebesar 1 % (sebelumnya 0,2 %). Sementara itu, PPN bagi pembeli dihapuskan, dan PPN atas aktivitas penambangan dinaikkan menjadi 2,2 % (dari 1,1 %). Ketentuan pajak penghasilan khusus untuk penambang (0,1 %) dihapus, dan penambangan akan dikenai pajak penghasilan biasa mulai 2026.

Perubahan ini mencerminkan upaya pemerintah menyelaraskan penetapan kripto sebagai aset keuangan dan bukan sekadar komoditas—namun juga mengundang tantangan bagi likuiditas pasar dan daya tarik investor.

Selain aspek pajak, OJK aktif menggenjot regulasi pendukung. Pada April 2025, OJK meluncurkan OJK Infinity 2.0, sebuah pusat inovasi keuangan digital dengan pendekatan sinergi “pentahelix” — mengkolaborasikan regulator, pelaku industri, akademisi, media, dan masyarakat.

Dalam aspek perizinan, OJK menyetujui 23 entitas di ekosistem kripto (termasuk bursa, kliring, kustodian, pedagang). Proses perizinan untuk calon pedagang kripto lainnya terus berlangsung.

Meski pertumbuhan menggoda, kripto tetap bukan ladang bebas risiko. Volatilitas ekstrem sudah mahfum dalam pasar ini. Karena tidak ada penjamin (seperti lembaga penjamin simpanan), potensi kerugian signifikan bisa menimpa siapa pun.

Selain itu, tantangan keamanan digital — seperti peretasan, penipuan, dan pencurian — menjadi ancaman nyata. Chainalysis dalam laporan Crypto Crime 2025 mencatat bahwa aset kripto kini dipakai dalam berbagai bentuk kejahatan, mulai dari pencucian uang hingga skema ransomware.

Literasi juga menjadi pengukur ketahanan pasar. OJK dan pelaku usaha menghadapi tugas besar untuk mengedukasi investor agar memahami risiko, menjaga emosi, dan tidak terjebak dalam hype. Hasan Fawzi menegaskan bahwa literasi dan inklusi keuangan menjadi pilar penting untuk melindungi konsumen lebih luas.

Pada tingkat global, adopsi kripto di Asia-Pasifik menunjukkan lonjakan. Indonesia tercatat tumbuh 103 % dalam on-chain value received pada periode Juli 2022 – Juni 2025, hanya di bawah Jepang (120 %) dan sejajar dengan Korea Selatan (100 %). Laporan Global Crypto Adoption Index 2025 oleh Chainalysis menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan adopsi tertinggi di kawasan.

Tetapi, tren global dan regional tidak otomatis menjamin stabilitas domestik. Negara seperti Vietnam juga masuk daftar negara dengan adopsi tinggi, meski regulasi dan konteks lokal berbeda.

Indonesia kini berada di persimpangan, ekspansi pasar digital yang cepat, regulasi yang tengah disusun ulang, dan tantangan klasik pasar kripto. Bila pemerintah dan regulator mampu menjaga keseimbangan antara inovasi dan perlindungan investor, Indonesia bisa menjadi pusat aset digital di Asia Tenggara. Namun kegagalan dalam pengawasan atau salah kebijakan bisa memicu keguncangan baru. Pada 2026 dan seterusnya, perhatian akan tertuju pada konsistensi kebijakan pajak, penerapan regulasi keamanan, dan pertumbuhan korporasi maupun institusi yang masuk ke ranah kripto.

Ilustrasi: CoinGeek


Digionary:

● Aset kripto — instrumen keuangan digital berbasis teknologi blockchain (contoh: Bitcoin, Ethereum).
● On-chain value received — ukuran nilai transaksi yang diterima secara langsung pada rantai blok (blockchain).
● Bursa kripto (crypto exchange) — platform jual-beli aset kripto antar pengguna.
● Kliring — proses penyelesaian transaksi, memastikan pertukaran instrumen keuangan.
● Kustodian — entitas yang menyimpan dan menjaga aset digital pengguna.
● Pedagang aset kripto (PAK / merchant) — pihak yang menjual atau memperdagangkan kripto secara langsung.
● Volatilitas — tingkat fluktuasi harga yang tajam dalam waktu singkat.
● Sandbox regulasi — ruang uji coba bagi inovasi keuangan baru di bawah pengawasan terbatas.
● Pajak jual (seller tax) — pajak yang dikenakan saat aset dijual/diperdagangkan.
● Perpajakan PPN — Pajak Pertambahan Nilai yang sebelumnya dikenakan saat membeli kripto.
● Inklusi keuangan — akses masyarakat terhadap layanan keuangan modern.
● Literasi keuangan — pemahaman masyarakat terhadap konsep dasar keuangan dan investasi.
● DeFi (Decentralized Finance) — ekosistem keuangan terdesentralisasi tanpa perantara perbankan.
● Ekosistem keuangan digital — jaringan institusi, teknologi, dan regulasi yang mendukung keuangan berbasis digital.
● Instrumen keuangan — produk finansial yang bisa diinvestasikan, seperti saham, obligasi, dan kripto.
● Peralihan pengawasan — perubahan badan regulator yang memegang kewenangan dalam industri kripto (dari Bappebti ke OJK).

#KriptoIndonesia #IndustriDigital #PasarKripto #RegulasiKeuangan #PajakKripto #Volatilitas #InvestorMuda #Blockchain #KeamananSiber #LiterasiFinansial #InklusiKeuangan #InovasiFintech #EkosistemDigital #BursaKripto #PasarModal #TeknologiKeuangan #DeFi #OJK #PerubahanRegulasi #MasaDepanKeuangan

Comments are closed.