Nilai transaksi stablecoin global kini melampaui jaringan pembayaran raksasa seperti Visa dan Mastercard. Fenomena ini menandai babak baru sistem keuangan digital, ketika uang kripto stabil mulai mengambil peran nyata dalam pembayaran lintas batas, remitansi, dan keuangan digital global. Namun, dominasi ini juga memunculkan pertanyaan besar tentang seberapa siap dunia menghadapi sistem moneter paralel yang tumbuh di luar kendali bank sentral?
Fokus Utama:
1. Dominasi Baru: Volume transaksi stablecoin global kini menyalip total nilai transaksi Visa dan Mastercard, menandai perubahan besar dalam ekosistem pembayaran internasional.
2. Aset Digital yang “Stabil”: Stablecoin tumbuh pesat karena dinilai lebih aman dibandingkan kripto lain seperti Bitcoin dan Ethereum, serta mulai diadopsi lembaga keuangan besar.
3. Tantangan Regulasi: Lonjakan penggunaan stablecoin memaksa regulator di berbagai negara menyiapkan kerangka hukum agar aset digital ini tidak menjadi celah pencucian uang atau instabilitas moneter baru.
Nilai transaksi stablecoin global kini menyalip Visa dan Mastercard, menandai perubahan besar dalam sistem keuangan dunia. Apa maknanya bagi masa depan uang digital dan regulasi global?
Ketika Bitcoin dan Ethereum kerap naik-turun layaknya roller coaster, stablecoin diam-diam menyalip dua raksasa dunia pembayaran: Visa dan Mastercard. Data terbaru dari Chainalysis menunjukkan bahwa pada pertengahan 2025, nilai transaksi tahunan stablecoin global menembus lebih dari US$11 triliun, jauh melampaui volume Visa (US$9 triliun) dan Mastercard (US$5 triliun).
Lonjakan ini bukan sekadar angka. Ia mencerminkan transformasi besar dalam cara uang berpindah di dunia digital. “Stablecoin telah menjadi tulang punggung baru sistem pembayaran global, terutama untuk transaksi lintas negara dan aset digital,” ujar analis blockchain dari Chainalysis, Philip Gradwell, dalam riset terbarunya.
Stablecoin—mata uang digital yang nilainya dipatok ke aset stabil seperti dolar AS—dulunya hanya eksperimen di ruang kripto. Namun kini, mereka berkembang menjadi infrastruktur keuangan alternatif.
Dua pemain terbesar, Tether (USDT) dan USD Coin (USDC), menguasai lebih dari 90% pangsa pasar stablecoin global dengan total kapitalisasi lebih dari US$150 miliar.
Sebagian besar transaksi stablecoin digunakan untuk perdagangan kripto, pembayaran lintas batas, dan penyimpanan nilai di negara-negara dengan inflasi tinggi seperti Argentina dan Turki.
Menurut laporan CoinMetrics, lebih dari 70% stablecoin digunakan di bursa terdesentralisasi (DeFi) untuk likuiditas, sementara sisanya digunakan oleh perusahaan fintech untuk transaksi internasional cepat dan murah.
Mengapa Stablecoin Jadi Primadona?
Keunggulan utama stablecoin terletak pada kestabilan nilainya. Tidak seperti Bitcoin yang bisa jatuh 20% dalam sehari, stablecoin dijamin dengan cadangan aset riil seperti dolar AS, surat utang pemerintah AS jangka pendek, atau obligasi negara.
Dengan sistem itu, stablecoin memberi rasa aman bagi pengguna yang ingin menikmati efisiensi blockchain tanpa terjebak volatilitas kripto.
“Stablecoin menawarkan kecepatan transaksi setara blockchain, namun dengan nilai yang stabil. Ini kombinasi yang sulit ditandingi,” kata Dante Disparte, Chief Strategy Officer Circle (penerbit USDC), dikutip dari Bloomberg.
Namun, di balik pertumbuhan pesat itu, muncul kekhawatiran besar. Otoritas keuangan di AS, Uni Eropa, hingga Singapura kini menyiapkan aturan ketat.
AS sudah mengesahkan Genius Act (Juli 2025), yang mewajibkan setiap penerbit stablecoin memiliki 100% cadangan aset likuid dan mengikuti regulasi anti pencucian uang.
Sementara Uni Eropa melalui MiCA (Markets in Crypto Assets) sudah menetapkan regulasi serupa yang akan berlaku penuh pada 2026.
Bank Indonesia pun tak tinggal diam. Dalam Rencana Pengembangan Sistem Pembayaran 2025, BI menyebutkan sedang menyiapkan kerangka regulasi aset digital stabil, bagian dari langkah menuju penerbitan CBDC (Central Bank Digital Currency).
“Indonesia perlu memastikan inovasi tidak menciptakan risiko sistemik baru,” ujar Deputi Gubernur BI Juda Agung, awal September lalu.
Era Baru Persaingan Uang Digital
Analis memperkirakan, dengan pertumbuhan tahunan mencapai 30%, pasar stablecoin bisa menembus US$3 triliun pada 2030. Angka itu menempatkannya sejajar dengan kapitalisasi pasar perbankan global menengah.
Fenomena ini membuat bank, fintech, dan regulator harus memikirkan ulang konsep “uang” di era digital.
Jika dulu Visa dan Mastercard memonopoli pembayaran lintas negara, kini peran itu perlahan bergeser ke tangan algoritma blockchain dan kontrak pintar. Dunia keuangan sedang menyaksikan kelahiran “mata uang baru” yang tak diterbitkan oleh negara, tapi didukung oleh kepercayaan pasar digital global.
Digionary:
● Blockchain: Teknologi pencatatan digital terdesentralisasi yang digunakan untuk mencatat transaksi kripto.
● CBDC: Central Bank Digital Currency, mata uang digital resmi yang diterbitkan bank sentral.
● Chainalysis: Perusahaan analisis blockchain yang menyediakan data transaksi aset digital global.
● Circle: Perusahaan penerbit stablecoin USD Coin (USDC).
● DeFi: Decentralized Finance, sistem keuangan berbasis blockchain tanpa perantara bank.
● Genius Act: Undang-undang di AS yang mengatur penerbitan dan cadangan stablecoin.
● MiCA: Regulasi aset kripto Uni Eropa yang akan berlaku penuh tahun 2026.
● Stablecoin: Aset kripto yang nilainya dipatok pada mata uang atau aset stabil seperti dolar AS.
● Tether (USDT): Stablecoin terbesar di dunia, diterbitkan oleh Tether Holdings.
● USDC: Stablecoin besar kedua yang diterbitkan oleh Circle, berbasis dolar AS.
#Stablecoin #Blockchain #Fintech #DigitalCurrency #CryptoRegulation #Tether #USDC #DeFi #DigitalBanking #FinancialInnovation #GlobalFinance #CryptoMarket #MonetaryPolicy #Visa #Mastercard #BankIndonesia #DigitalTransformation #Web3 #FintechIndonesia #CryptoEconomy
