Oleh: Safaruddin Husada
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah pelatihan penulisan laporan pemeriksaan pemerintah, saya kembali teringat betapa besarnya kekuatan kata. Bukan sekadar alat, tetapi bingkai yang membentuk cara orang melihat dunia. Pesan yang sama bisa terasa benar-benar berbeda hanya karena pilihan kata yang berbeda. Dan dalam industri yang hidup-mati oleh reputasi seperti perbankan digital, kesalahan memilih bingkai bisa menjadi bencana.
Ingatan saya langsung melayang pada satu momen klasik: Sabtu, 17 November 1973. Amerika Serikat bergolak akibat skandal Watergate, dan Presiden Richard Nixon berdiri di depan 400 editor Associated Press sambil mengucap kalimat yang hingga kini dikenang: “I am not a crook.” Ironisnya, niat menegasikan justru menancapkan kata “crook” — penjahat — lebih dalam ke benak publik.
Di situlah teori framing George Lakoff terasa sangat nyata: ketika sebuah kata diucapkan, frame di belakang kata itu otomatis aktif. Menegasikan frame hanya memperkuatnya. Katakan “jangan pikirkan macan”, otak justru memunculkan macan. Katakan “saya bukan penjahat”, publik justru terpaku pada “penjahat”.
Jika politik saja bisa hancur oleh satu bingkai yang keliru, bagaimana dengan industri yang memegang data sensitif, uang masyarakat, dan reputasi yang setiap hari dipertaruhkan dalam ruang digital yang bergerak secepat rumor?
Inilah pelajaran penting bagi industri bank digital Indonesia.
“Dalam krisis digital, fakta penting, tetapi bingkai jauh lebih menentukan. Satu pilihan kata bisa menenangkan — atau meledakkan situasi.”
Ketika Reputasi Bank Hancur Bukan oleh Fakta, Tapi oleh Bingkai
Beberapa tahun terakhir, bank digital di Indonesia tumbuh pesat — menawarkan layanan simpel, antarmuka lincah, fitur instan. Namun, digitalisasi juga membawa risiko reputasi yang meningkat: error sistem, downtime, kebocoran data, kegagalan transaksi, keluhan viral, hingga misinformasi yang di-amplify oleh AI.
Dalam ekosistem serba cepat, publik tidak menunggu klarifikasi. Mereka membangun frame mereka sendiri berdasarkan potongan informasi yang tercecer di media sosial. Satu video TikTok bisa lebih kuat daripada siaran pers berlembar-lembar. Dan satu pilihan kata yang salah dari juru bicara bank bisa memicu krisis baru.
Sebagai contoh sederhana: ketika bank merespons isu kebocoran data dengan kalimat, “Kami tidak membocorkan data nasabah,” bank tanpa sadar sedang bermain dalam bingkai tuduhan. Publik justru mengingat kata “bocor”.
Bandingkan jika pesannya di-frame ulang:
“Kami berkomitmen menjaga privasi data nasabah dengan standar keamanan tertinggi, dan saat ini kami sedang memperkuat sistem untuk memastikan hal itu.”
Nada sama-sama defensif? Tidak. Frame-nya berbeda. Yang pertama mengulang tuduhan. Yang kedua menegaskan nilai.
Dan dalam industri keuangan, nilai adalah mata uang reputasi.
Bank yang Selamat Bukan yang Paling Kuat, tapi yang Paling Transparan
Di berbagai negara, kasus gangguan layanan bank digital sudah berulang. Bedanya, ada bank yang mampu pulih dalam hitungan hari — ada yang reputasinya remuk hingga bertahun-tahun.
Sebut saja beberapa bank digital global yang menghadapi serangan siber atau downtime sistem. Mereka yang bertahan memakai tiga prinsip sederhana:
- Respon cepat — sebelum rumor mengambil alih.
Banyak bank langsung mengumumkan insiden dalam 30 menit pertama, bahkan ketika penyelidikan belum selesai. - Transparansi radikal.
Alih-alih “Kami masih menyelidiki”, mereka memaparkan status real-time di laman publik: apa yang terjadi, apa yang sedang diperbaiki, kapan aktivitas normal diperkirakan kembali. - Bahasa manusia, bukan bahasa regulasi.
Nasabah tidak peduli tentang root cause analysis. Mereka peduli apakah uang mereka aman, apakah bank peduli pada nasabah, dan kapan mereka bisa bertransaksi lagi.
Hasilnya? Loyalitas pelanggan pulih lebih cepat. Kepercayaan tetap terjaga.
Di beberapa studi tentang komunikasi krisis keuangan, respons yang humanis dan proaktif terbukti jauh lebih menenangkan ketimbang respons teknis yang defensif. Satu kalimat “Kami bersama Anda” sering lebih ampuh daripada satu halaman “kami tidak melakukan X”.
Lalu, Bagaimana dengan Bank Digital Indonesia?
Bank digital di Tanah Air menghadapi tantangan reputasi yang unik. Masyarakat kita sangat aktif di media sosial, sangat mudah memviralkan keluhan, dan sangat responsif terhadap rumor. Di sisi lain, bank digital bergerak dalam ruang yang sangat kompetitif — satu kesalahan bisa langsung dimanfaatkan pesaing, bahkan ketika akar masalahnya kecil.
“Bank digital yang cepat merespons dengan empati dan transparansi selalu lebih dipercaya daripada yang sibuk membela diri.”
Karena itu, bank digital Indonesia perlu membangun kerangka komunikasi krisis yang kokoh — bukan reaktif, tetapi sistematis.
Tiga hal utamanya:
1. Bangun protokol krisis bahkan sebelum krisis terjadi
Semua bank digital harus punya war room komunikasi: siapa bicara apa, kapan, melalui kanal mana. Jangan menunggu krisis untuk memutuskan siapa juru bicara, atau bagaimana nada komunikasinya.
2. Kuasai framing positif
Jangan mengulang kata negatif yang sedang dilemparkan publik. Alihkan bingkai pembicaraan dari tuduhan menjadi nilai: keamanan, kenyamanan, perbaikan, tanggung jawab.
“Sistem kami tidak down” kalah kuat dibanding
“Kami sedang meningkatkan kapasitas sistem agar transaksi Anda berjalan lebih cepat.”
3. Gunakan kombinasi empati + solusi konkret
Kalimat pertama harus menenangkan emosi. Kalimat berikutnya menjelaskan langkah teknis.
Contoh:
“Ada kendala pada sebagian transaksi, dan kami tahu ini mengganggu aktivitas Anda. Tim kami sedang memperbaikinya, dan kami akan update secara berkala setiap 30 menit.”
Bukan:
“Gangguan ini bukan kesalahan sistem inti.”
Frame pertama: peduli.
Frame kedua: defensif.
Era AI: Ketika Risiko Krisis Membesar — dan Peluang Memperbaiki Reputasi Juga Membesar
AI membawa dua sisi mata uang baru bagi bank digital:
- Risiko: misinformasi menyebar lebih cepat daripada klarifikasi.
Bot bisa memperbanyak rumor. Kliping berita lama bisa muncul lagi seolah kejadian baru. Deepfake bisa memalsukan pernyataan petinggi bank. - Peluang: kemampuan memantau percakapan publik secara real-time.
AI memungkinkan bank membaca sentimen nasabah, mendeteksi isu sebelum meledak, memantau pola keluhan, hingga menemukan narasi yang berpotensi membesar.
Bank digital yang mampu memadukan kecepatan mesin dan kepekaan manusia akan memenangkan kepercayaan. Komunikasi bukan lagi sekadar “merespons komentar”, tetapi membangun narasi nilai: keamanan, transparansi, inovasi, dan kepedulian.
Di Era Kebisingan, Bank yang Tenang dan Tepat Bicara Akan Memimpin
Pelajaran dari Nixon dan teori framing bukan sekadar cerita sejarah. Itu adalah peringatan bagi semua institusi yang hidup dari kepercayaan — terutama bank digital.
Satu frasa yang salah bisa memperkeruh situasi.
Satu bingkai yang tepat bisa menyelamatkan reputasi.
Pada akhirnya, komunikasi krisis bukan soal memenangkan perdebatan.
Ia soal membangun kepercayaan.
Di tengah dunia yang makin bising — dari rumor, opini berceceran, hingga “narasi instan” yang diciptakan AI — bank digital yang mampu mengarahkan percakapan dengan bahasa positif, transparan, dan fokus pada nilai akan lebih didengar, lebih dipercaya, dan lebih siap menghadapi masa depan.
DIGIONARY
● framing: teknik membingkai isu dengan pilihan kata yang mempengaruhi cara publik memahami situasi
● crisis communication: strategi komunikasi saat terjadi gangguan atau insiden yang berpotensi merusak reputasi
● narrative control: upaya mengarahkan percakapan publik agar tidak dikuasai rumor atau misinformasi
● misinformation: informasi salah yang tersebar tanpa niat jahat, sering muncul saat layanan digital terganggu
● disinformation: informasi palsu yang sengaja dibuat untuk menyesatkan atau merusak reputasi
● real-time monitoring: pemantauan percakapan dan sentimen publik secara langsung di media sosial
● war room komunikasi: tim khusus lintas fungsi yang dibentuk untuk menangani krisis dengan respons cepat
● downtime system: kondisi ketika layanan bank digital tidak dapat diakses oleh pengguna
● data breach: kebocoran data nasabah atau perusahaan akibat serangan siber atau kelalaian internal
● empathy messaging: gaya komunikasi yang diawali dengan pengakuan atas ketidaknyamanan pengguna
● transparency protocol: standar transparansi seperti update berkala selama gangguan terjadi
● reputational risk: risiko kerusakan citra akibat insiden operasional, isu viral, atau pernyataan yang salah
● response window: rentang waktu ideal untuk merilis pernyataan awal sebelum rumor berkembang
● AI sentiment analysis: analisis sentimen publik menggunakan kecerdasan buatan untuk mendeteksi potensi krisis
● disaster recovery plan (drp): rencana pemulihan sistem setelah gangguan teknis atau siber
● stakeholder alignment: koordinasi agar seluruh pihak internal menyampaikan narasi yang konsisten
● content amplification: strategi memperluas jangkauan pesan positif untuk melawan narasi negatif
● trust capital: modal kepercayaan yang dibangun institusi dari rekam jejak layanan dan transparansi
● issue escalation path: alur internal untuk menentukan isu yang harus dinaikkan ke manajemen atau regulator
● positive reframing: teknik mengubah narasi negatif menjadi pesan berbasis nilai yang lebih konstruktif
#digitalbanking #bankdigital #krisiskomunikasi #communicationstrategy #framingefektif #reputasiperbankan #cybersecurity #dataprivacy #manajemenkrisis #AIcommunication #fintechindonesia
#keamanandigital #transparansidigital #customertrust #digitalfinance #techregulation #digitalnarrative #publicrelations #prstrategy #digitalreputation
Penulis: Co-Founder digitalbank.id
Konsultan Komunikasi dan Riset Perbankan | cs.husada@gmail.com | WA: 081380579090.
