Adopsi kecerdasan buatan (AI) di kalangan korporasi Indonesia melonjak 47% dalam setahun terakhir, namun survei menunjukkan lebih dari 70% masyarakat belum menyadari interaksi mereka dengan teknologi ini. Forum industri menggarisbawahi urgensi peningkatan literasi digital dan kolaborasi multipihak untuk menjembatani kesenjangan antara percepatan bisnis dan pemahaman publik.
Fokus Utama:
■ Terjadi peningkatan adopsi AI di korporasi sebesar 47% dalam setahun, namun diiringi dengan fakta bahwa >70% masyarakat Indonesia tidak menyadari interaksi sehari-hari mereka dengan teknologi AI, menunjukkan jurang pemahaman yang dalam.
■ Forum menekankan bahwa mengatasi kesenjangan literasi memerlukan sinergi konkret antara pemerintah, operator telekomunikasi (seperti Telkom, XL, Indosat), pelaku bisnis, dan akademisi untuk membangun infrastruktur sekaligus edukasi.
■ Kesenjangan kesadaran ini berpotensi menimbulkan kerentanan digital, penolakan inovasi, dan ketimpangan pemanfaatan manfaat AI, sehingga memerlukan pendekatan transformasi yang tidak hanya teknis tetapi juga kultural dan edukatif.
Sebuah paradoks digital sedang terjadi di Indonesia. Di satu sisi, laporan terbaru dari forum industri mengonfirmasi bahwa adopsi kecerdasan buatan (AI) di kalangan korporasi telah melesat 47% dalam setahun terakhir. Di sisi lain, sebuah data yang mengejutkan muncul: lebih dari 70% masyarakat Indonesia dilaporkan belum menyadari bahwa mereka sebenarnya sudah berinteraksi dengan AI dalam aktivitas sehari-hari. Kesenjangan yang lebar antara derap bisnis dan kesadaran publik ini menjadi fokus utama dalam forum Lintas Teknologi Solutions Day ke-8, yang menegaskan bahwa percepatan teknologi tanpa pondasi literasi yang kuat justru berisiko menciptakan jurang pemahaman yang dalam.
Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi tentang kecerdasan buatan (AI) di Indonesia sering terjebak dalam dua narasi ekstrem: antara euphoria potensi ekonomi yang masif dan kecemasan akan disrupsi lapangan kerja. Namun, forum Lintas Teknologi Solutions Day ke-8 yang digelar baru-baru ini justru mengangkat sebuah persoalan yang lebih mendasar dan kurang mendapat sorotan: kesenjangan kesadaran.
Muhamad Paisol, President Director PT Lintas Teknologi Indonesia (LTI), dalam pemaparannya mengungkap data yang kontras. Pertumbuhan adopsi AI di tingkat korporasi tercatat sangat impresif, mencapai 47% dalam setahun terakhir. Angka ini sejalan dengan tren global dimana mayoritas perusahaan besar telah mengintegrasikan AI dalam operasionalnya.
“Di Indonesia, pertumbuhan adopsi korporasi menunjukkan peningkatan signifikan hingga 47% dalam setahun terakhir. Meskipun demikian, Paisol menyoroti bahwa baru sebagian kecil perusahaan yang masuk dalam kategori pemanfaatan tingkat lanjut,” jelasnya dalam keterangan resmi, Senin (1/12).
Namun, di luar tembok korporasi, ceritanya berbeda. Survei yang dilakukan menunjukkan bahwa lebih dari 70% masyarakat Indonesia belum menyadari penggunaan AI dalam keseharian mereka. Padahal, teknologi ini telah menyusup dalam banyak aspek: dari rekomendasi konten di media sosial, asisten virtual di ponsel, hingga algoritma penentuan harga di aplikasi transportasi dan e-commerce.
“Ini menegaskan pentingnya peningkatan literasi dan edukasi publik untuk memastikan transformasi AI berjalan inklusif,” tegas Paisol.
Kolaborasi sebagai Obat: Membangun Jembatan antara Infrastruktur dan Pemahaman
Forum yang dihadiri oleh perwakilan kunci pemerintah dan industri telekomunikasi ini sepakat bahwa jawaban atas tantangan ini terletak pada kolaborasi. Dian Siswarini, Direktur Utama Telkom, memaparkan strategi dua arah perusahaannya: menggunakan AI untuk mengoptimalkan jaringan (AI for Network) dan membangun jaringan yang kokoh untuk mendukung AI (Network for AI).
“Kolaborasi antara pemerintah, operator, pelaku bisnis, akademisi, dan sektor privat adalah kunci untuk mewujudkan visi AI nasional,” ucap Dian.
Ismail, Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, menekankan hal serupa. Ia menyoroti perlunya sinergi yang konkrit, tidak hanya dalam wacana tetapi dalam program nyata yang membahas aspek teknis seperti ketersediaan spektrum frekuensi dan sumber data.
“Tujuannya adalah menciptakan kompetisi yang kolaboratif demi menghadirkan layanan publik yang relevan dan mempersiapkan Indonesia untuk mengadopsi AI guna menjawab tantangan bangsa,” pungkas Ismail.
Melihat Lebih Dalam: Mengapa Kesenjangan ini Berbahaya?
Kesenjangan antara adopsi korporasi yang cepat dan literasi masyarakat yang tertinggal bukanlah masalah sepele. Kondisi ini dapat menimbulkan beberapa risiko:
1. Kerentanan Digital: Masyarakat yang tidak memahami cara kerja AI lebih rentan terhadap manipulasi algoritma, penipuan digital berbasis AI, atau eksploitasi data pribadi.
2. Penolakan terhadap Inovasi: Kurangnya pemahaman dapat memicu penolakan dan ketakutan yang irasional terhadap teknologi, menghambat adopsi solusi AI yang sebenarnya bermanfaat bagi publik.
3. Ketimpangan Manfaat: Manfaat ekonomi dari AI berpotensi hanya dinikmati oleh segelintir pelaku korporasi dan individu yang melek teknologi, sementara sebagian besar masyarakat hanya menjadi objek pasif, memperdalam ketimpangan sosial-ekonomi.
Paisol dari LTI mengingatkan bahwa transformasi ini melampaui aspek teknis semata. “Percepatan adopsi AI tidak hanya tentang perangkat lunak atau keras, tetapi juga kesiapan masyarakat dan institusi dalam beradaptasi terhadap perubahan cara bekerja, berpikir, dan berinteraksi,” tuturnya.
Langkah ke depan membutuhkan pendekatan holistik. Diperlukan kampanye literasi digital nasional yang masif, kurikulum pendidikan yang memasukkan pemahaman etika dan fungsi AI, serta transparansi dari perusahaan dalam mengomunikasikan penggunaan AI dalam produk mereka. Tanpa upaya kolektif ini, Indonesia berisiko hanya menjadi pasar konsumen pasif dalam revolusi AI, alih-alih menjadi pemain aktif yang mampu memanfaatkannya untuk kemajuan bangsa secara merata.
Digionary:
● Adopsi Teknologi: Tingkat penerimaan dan penggunaan suatu teknologi baru oleh individu atau organisasi.
● AI for Network: Penerapan kecerdasan buatan untuk mengoptimalkan operasi dan pemeliharaan infrastruktur jaringan telekomunikasi.
● Kesenjangan Digital (Digital Divide): Jarak antara individu, rumah tangga, bisnis, dan wilayah geografis dalam hal akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta penggunaannya.
● Literasi Digital: Kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari sumber digital dengan kritis dan efektif.
● Network for AI: Pembangunan dan penyediaan infrastruktur jaringan telekomunikasi yang kuat dan andal sebagai fondasi untuk menjalankan aplikasi dan layanan berbasis AI.
#AI#KecerdasanBuatan #TransformasiDigital #LiterasiDigital #AdopsiAI #Teknologi #Indonesia #LTI #Telkom #Kominfo #Korporasi #Masyarakat #KesenjanganDigital #ForumTeknologi #EdukasiAI #InfrastrukturDigital #RevolusiIndustri4 #Inovasi #Digitalisasi #EkonomiDigital
