Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan dua peraturan baru bagi bank syariah untuk memperkuat struktur likuiditas dan permodalan. Langkah ini menandai babak baru ketahanan industri perbankan syariah Indonesia yang kini diarahkan mengikuti standar internasional Basel III dan Islamic Financial Services Board (IFSB). Dengan kebijakan ini, Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib memenuhi rasio likuiditas dan leverage tertentu agar lebih tangguh menghadapi volatilitas global.
Fokus Utama:
1. BUS dan UUS wajib menjaga Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) minimal 100%, guna memastikan kestabilan pendanaan jangka pendek dan panjang.
2. POJK Nomor 21/2025 memperkenalkan rasio pengungkit minimum 3% untuk memperkuat ketahanan permodalan BUS sesuai standar Basel III.
3. Kebijakan ini menjadi bagian dari roadmap penguatan perbankan syariah 2023–2027, yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai pusat keuangan syariah berstandar internasional.
OJK memperkenalkan dua aturan baru bagi bank syariah — POJK 20/2025 dan 21/2025 — untuk memperkuat likuiditas, pendanaan, dan permodalan sesuai standar global Basel III dan IFSB. Industri syariah nasional kini bersiap menuju daya saing global.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan langkah serius memperkuat industri keuangan syariah nasional. Dua peraturan baru, yakni POJK Nomor 20 Tahun 2025 dan POJK Nomor 21 Tahun 2025, resmi diterbitkan untuk memastikan bank syariah memiliki ketahanan likuiditas dan permodalan sejalan dengan praktik terbaik global.
Dalam keterangan resminya, OJK menyebut aturan ini dirancang untuk memastikan bank syariah mampu bertahan menghadapi fluktuasi ekonomi global dan tekanan pasar keuangan, dengan pengelolaan dana yang lebih disiplin dan transparan.
Likuiditas dan Pendanaan yang Lebih Stabil
POJK Nomor 20 Tahun 2025 mewajibkan Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) menjaga Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) minimal 100%.
Ketentuan ini akan diterapkan bertahap mulai 2026 hingga 2028, sejalan dengan kesiapan industri. Tujuannya, agar bank syariah memiliki cadangan likuiditas memadai untuk menghadapi tekanan jangka pendek serta sumber pendanaan yang stabil untuk jangka panjang.
Langkah ini juga selaras dengan standar internasional Basel III: The Liquidity Coverage Ratio and Liquidity Risk Monitoring Tools serta The Net Stable Funding Ratio, yang diadaptasi dari panduan Islamic Financial Services Board (IFSB) GN-6.
“Penerapan prinsip-prinsip ini akan memperkuat kredibilitas dan daya saing perbankan syariah Indonesia di tingkat global,” tulis OJK.
Selain itu, bank wajib melakukan perhitungan likuiditas dan pelaporan berkala, baik individu maupun konsolidasi. OJK juga mengatur publikasi rasio likuiditas sebagai bentuk transparansi ke publik.
Leverage Ratio: Menjaga Struktur Modal Lebih Sehat
Melalui POJK Nomor 21 Tahun 2025, OJK juga memperkenalkan leverage ratio minimum sebesar 3% yang wajib dipenuhi setiap saat.
Aturan ini bertujuan agar bank syariah tidak memperluas bisnis melebihi kapasitas modalnya dan tetap tangguh dalam menghadapi skenario krisis atau deleveraging.
POJK ini merujuk pada Basel III (2014 & 2017) dan IFSB-23 (2021), yang menekankan pentingnya keseimbangan antara aset dan modal tanpa mengandalkan bobot risiko semata.
Kewajiban pelaporan leverage ratio akan dimulai pada triwulan pertama 2026, dan publikasi pertama dijadwalkan pada September 2026.
Bagi bank yang belum memenuhi ambang batas tersebut, OJK membuka ruang perbaikan melalui rencana tindak. Namun, ketidakpatuhan bisa berujung pada sanksi administratif berupa denda maupun non-denda.
Menuju Pusat Keuangan Syariah Dunia
Langkah ini menjadi bagian dari Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023–2027, yang menargetkan terbentuknya sistem keuangan syariah nasional yang lebih tangguh, efisien, dan kompetitif secara global.
Hingga kini, industri perbankan syariah Indonesia menunjukkan pertumbuhan stabil dengan pangsa pasar mencapai sekitar 7,4% dari total aset perbankan nasional (data OJK, Q3-2025). Namun, tantangan utama masih berkisar pada likuiditas jangka panjang dan struktur pendanaan yang belum sekuat bank konvensional.
Dengan dua regulasi baru ini, OJK berharap bank syariah tak hanya mengikuti, tapi juga bersaing di level internasional, membuka peluang pembiayaan lintas negara, dan menarik investor institusional global.
Digionary:
● Basel III: Standar internasional untuk memperkuat regulasi, pengawasan, dan manajemen risiko sektor perbankan.
● BUS (Bank Umum Syariah): Bank yang beroperasi penuh berdasarkan prinsip syariah.
● Deleveraging: Proses pengurangan utang perusahaan untuk memperbaiki struktur modal.
● IFSB: Islamic Financial Services Board, lembaga internasional yang menetapkan standar industri keuangan syariah.
● LCR (Liquidity Coverage Ratio): Rasio yang mengukur kemampuan bank menyediakan likuiditas jangka pendek saat krisis.
● Leverage Ratio: Rasio untuk menilai kemampuan bank menanggung risiko utang terhadap modalnya.
● NSFR (Net Stable Funding Ratio): Rasio yang mengukur kestabilan pendanaan jangka panjang bank.
● OJK: Otoritas Jasa Keuangan, lembaga pengawas sektor keuangan Indonesia.
● RP3SI: Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia, panduan strategis OJK 2023–2027.
● UUS (Unit Usaha Syariah): Unit syariah dari bank konvensional yang menyediakan layanan berbasis prinsip Islam.
#OJK #BankSyariah #BaselIII #IFSB #LikuiditasBank #LeverageRatio #KeuanganSyariah #PerbankanSyariah #RP3SI #StabilitasKeuangan #RegulasiOJK #FinansialSyariah #EkonomiIslam #TransparansiBank #BaselStandards #LikuiditasSyariah #BankingResilience #IslamicFinance #GlobalCompetitiveness #IndustriKeuangan
