Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan regulasi baru yang akan mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk menyalurkan pembiayaan hijau. Melalui revisi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 3 dan amandemen POJK 51/2017, aturan ini menjadi langkah besar Indonesia dalam mengintegrasikan prinsip ekonomi hijau ke sistem keuangan nasional—mulai berlaku bertahap pada 2027.
Fokus Utama
● Kewajiban Pembiayaan Hijau: Semua lembaga keuangan akan diwajibkan menyalurkan dana ke proyek berkelanjutan sesuai klasifikasi hijau dalam TKBI versi 3.
● Integrasi Risiko Iklim: Melalui Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS), bank harus memasukkan risiko iklim dalam manajemen risiko dan strategi bisnisnya.
● Sinkronisasi Standar Internasional: Revisi aturan diselaraskan dengan IFRS Sustainability Standards dan target Paris Agreement untuk menghindari praktik greenwashing.
OJK akan mewajibkan pembiayaan hijau bagi seluruh lembaga jasa keuangan mulai 2027 melalui revisi POJK 51/2017 dan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan versi 3. Langkah ini menandai babak baru integrasi ekonomi hijau dalam sistem keuangan nasional.
Era baru keuangan berkelanjutan di Indonesia segera dimulai. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan kewajiban baru bagi seluruh lembaga jasa keuangan untuk menyalurkan pembiayaan hijau. Langkah ini ditempuh melalui penyusunan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 3 dan revisi POJK 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menjelaskan, taksonomi hijau terbaru kini sedang memasuki tahap konsultasi publik sejak Oktober hingga 21 November 2025. “Taksonomi memberi kerangka jelas bagi investor dan sektor keuangan dalam memilih portofolio pembiayaan yang berdampak positif terhadap upaya dekarbonisasi, mencegah greenwashing, serta mengakselerasi integrasi ekonomi hijau lintas sektor energi, keuangan, dan agribisnis,” ujarnya dalam acara Synergizing Energy, Finance & Agribusiness for a Greener Future di Tangerang Selatan, Jumat (31/10).
Menurut Mirza, TKBI versi 3 mencakup kriteria keberlanjutan untuk sektor pertanian, kehutanan, perikanan, manufaktur, penyediaan air, pengelolaan sampah, hingga sektor pendukung seperti komunikasi dan jasa profesional. Aturan baru ini diharapkan memperjelas batasan proyek mana yang benar-benar “hijau” dan layak mendapatkan pembiayaan dengan bunga kompetitif.
Selain taksonomi, OJK juga memperkuat kerangka pengelolaan risiko iklim melalui Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS) — instrumen baru yang akan menjadi kompas bank dalam menilai ketahanan bisnis terhadap risiko iklim jangka pendek, menengah, dan panjang.
“OJK mendorong bank untuk mengintegrasikan risiko iklim ke dalam manajemen risiko dan proses pengambilan keputusan strategis, termasuk dalam pelaksanaan climate stress test. Jadi ada penilaian khusus terhadap dampak risiko iklim pada perbankan dan penyusunan transition plan menuju portofolio rendah karbon,” tutur Mirza.
Revisi POJK 51/2017 sendiri ditargetkan rampung pada 2026 dan mulai berlaku bertahap pada 2027. Regulasi baru ini akan mengadopsi IFRS Sustainability Standards (S1 dan S2), serta menyesuaikan dengan komitmen Paris Agreement — memastikan seluruh lembaga keuangan bergerak dalam koridor pembiayaan rendah emisi.
Langkah OJK ini sejalan dengan tren global. Menurut laporan Global Green Finance Index 2025, nilai pasar pembiayaan hijau dunia mencapai lebih dari US$2,3 triliun, tumbuh rata-rata 18% per tahun sejak 2018. Di Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura dan Malaysia, yang lebih dulu menerapkan klasifikasi wajib investasi hijau.
Sementara itu, data Bank Dunia menunjukkan bahwa sektor energi, transportasi, dan agrikultur menyumbang lebih dari 70% emisi karbon Indonesia — menjadi target utama pembiayaan hijau dalam beberapa tahun ke depan.
Namun, tantangan terbesar justru terletak pada kesiapan industri keuangan. Banyak bank kecil dan lembaga pembiayaan masih minim kapasitas analisis risiko iklim dan belum memiliki portofolio hijau yang kuat. Regulasi ini akan menguji keseriusan bank dalam bertransformasi, bukan hanya dari sisi kepatuhan, tapi juga dari model bisnis.
Jika berjalan sesuai rencana, aturan ini bukan hanya memperkuat ketahanan sektor keuangan dari risiko iklim, tapi juga membuka peluang baru investasi berkelanjutan. Investor institusi global, terutama dari Eropa dan Jepang, telah lama menanti kerangka regulasi yang kredibel untuk menyalurkan dana hijau ke Indonesia.
Digionary:
● Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS) — Kerangka manajemen risiko iklim yang digunakan bank untuk mengukur dampak perubahan iklim terhadap bisnis.
● Climate Stress Test — Uji ketahanan bank terhadap risiko keuangan yang timbul akibat perubahan iklim.
● Green Financing (Pembiayaan Hijau) — Penyaluran dana ke proyek yang ramah lingkungan dan mendukung dekarbonisasi.
● Greenwashing — Praktik menampilkan seolah-olah kegiatan bisnis ramah lingkungan padahal tidak.
● IFRS Sustainability Standards — Standar pelaporan keberlanjutan internasional yang dikeluarkan oleh International Financial Reporting Standards Foundation.
● Paris Agreement — Kesepakatan internasional untuk menekan kenaikan suhu global di bawah 2°C.
● Taksonomi Keuangan Berkelanjutan (TKBI) — Klasifikasi nasional untuk menentukan kegiatan ekonomi yang memenuhi prinsip keberlanjutan.
● Transition Plan — Rencana transisi lembaga keuangan menuju portofolio rendah karbon.
#OJK #PembiayaanHijau #KeuanganBerkelanjutan #GreenFinance #SustainableBanking #EkonomiHijau #PerbankanIndonesia #Dekarbonisasi #RisikoIklim #ParisAgreement #IFRS #TKBI #CRMS #GreenInvestment #FinansialHijau #NetZero2050 #BankHijau #TransisiEnergi #InvestasiBerkelanjutan #OJK2025
