​AI Tak Lagi Sekadar Inovasi: Bank Harus Segera Siapkan Tata Kelola, Audit, dan Pelaporan ke OJK

- 18 Oktober 2025 - 05:52

Pemerintah saat ini tengah menyiapkan Perpres AI dan OJK pada April lalu sudah mengeluarkan Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indoneaia. Aturan ini akan mengubah cara bank memperlakukan AI, dari sekadar alat teknologi menjadi objek pengawasan setara keputusan kredit. Bank yang tidak segera membangun struktur tata kelola, inventarisasi model AI, dan mekanisme pelaporan risiko akan dinilai tidak siap secara kepatuhan digital.


Fokus Utama:

1. AI akan diperlakukan sebagai objek pengawasan kepatuhan—setara dengan kredit dan risiko operasional.
2. Bank wajib membangun struktur tata kelola, inventarisasi model, hingga sistem pelaporan insiden AI kepada regulator.
3. Perbankan yang bergerak cepat akan menjadi role model dan memperoleh posisi strategis di mata regulator.


Perpres AI segera berlaku. OJK akan mengawasi AI di bank layaknya keputusan kredit. Bank wajib siapkan tata kelola, inventaris model, audit, dan mekanisme pelaporan insiden AI agar tidak dianggap tidak siap secara kepatuhan digital.


​Perbankan Indonesia sebentar lagi akan memasuki babak baru yang fundamental. Begitu Peraturan Presiden (Perpres) soal AI diteken Presiden dan Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indonesia resmi diterbitkan 29 April 2025 lalu—dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentu akan mengeluarkan aturan-aturan turunannya yang lebih bersifat teknis—maka setiap teknologi AI yang digunakan bank tidak lagi dipandang sebagai alat digital semata.

​Dari chatbot layanan nasabah, sistem credit scoring otomatis, hingga mesin fraud detection, semua akan diperlakukan sebagai entitas pengambil keputusan yang wajib tunduk pada prinsip kehati-hatian perbankan. Ini adalah titik balik. Singkatnya, AI telah diangkat dari ranah ‘inovasi’ menjadi ranah ‘kepatuhan’ yang bahkan setara dengan manajemen risiko kredit.

​AI Setara Kredit: Objek Pengawasan Baru OJK

​Selama ini, bank berlomba-lomba mengimplementasikan AI untuk efisiensi dan personalisasi. Namun, dengan hadirnya regulasi baru, fokus akan bergeser dari speed to market (kecepatan ke pasar) menjadi safe to operate (aman untuk dioperasikan). ​Pemerintah dan OJK akan menempatkan AI sebagai objek pengawasan kepatuhan yang serius, sejajar dengan risiko operasional atau bahkan keputusan kredit.

Perlakuan ini saya kira hal yang wajar, sebab dampak kerugian dari salah satu model AI bisa bersifat sistemik, baik secara finansial maupun reputasi. Bank yang abai dan hanya menempatkan AI sebagai proyek unit teknologi akan dinilai tidak siap secara kepatuhan digital.

​Lantas, apa yang harus disiapkan perbankan dalam waktu dekat?

Pertama, membangun struktur tata kelola AI. ​Yang paling mendesak adalah restrukturisasi internal. OJK akan meminta bank membentuk AI Governance Committee atau AI Ethics Board. Komite ini tidak boleh hanya berupa forum diskusi internal, melainkan harus memiliki mandat formal dan melibatkan berbagai divisi strategis a.l. manajemen risiko, kepatuhan, legal, audit internal, hingga teknologi informasi (IT).

​Dengan meniru standar global seperti EU AI Act, komite ini harus memastikan setiap AI yang digunakan bank telah melewati uji etika, transparansi, dan telah dipertimbangkan dampaknya terhadap nasabah. Persetujuan Direktur Kepatuhan dan Direktur Manajemen Risiko atas peluncuran model AI akan menjadi keharusan, mengubah AI dari domain IT menjadi domain kepatuhan yang diawasi direksi.

Kedua, inventarisasi total model AI (AI Registry). Sudahkah bank Anda mengetahui secara pasti berapa banyak model AI yang berjalan saat ini? Regulasi baru menuntut bank menyusun daftar seluruh model AI (AI Model Registry) yang digunakan, mulai dari credit scoring, AML (Anti-Money Laundering), hingga AI Copilot untuk internal.

​Setiap model harus dikategorikan berdasarkan tingkat risikonya (High Risk, Medium Risk, Low Risk) merujuk standar global seperti yang ditetapkan Bank for International Settlements (BIS). Data ini wajib dilaporkan secara periodik kepada OJK, mencakup siapa penanggung jawab model, kapan di-deploy, dan kapan terakhir di-review. AI tidak lagi dianggap sebagai software statis, melainkan living model yang harus diawasi performanya setiap saat.

Ketiga, ​transparansi dan hak penjelasan nasabah. ​Salah satu poin krusial adalah kebijakan Responsible AI, khususnya Right to Explanation Policy. Jika AI menolak aplikasi kredit nasabah, nasabah berhak memperoleh penjelasan yang masuk akal dan transparan. Regulasi ini menuntut bank mampu menjelaskan logika di balik keputusan tersebut, yang selama ini sering menjadi kotak hitam (black box).​Selain itu, bank wajib melakukan uji bias algoritmik dan menyusun Fairness Report untuk membuktikan model AI tidak diskriminatif, serta memastikan kepatuhan penuh terhadap Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

Keempat, protokol pelaporan insiden AI ke OJK. ​Serupa dengan pelaporan insiden siber, bank akan diwajibkan menyiapkan protokol pelaporan insiden AI. Apabila terjadi AI Drift (performa AI berubah tanpa kontrol), false positive dalam deteksi fraud, atau penyalahgunaan deepfake yang merugikan nasabah, bank wajib melaporkan insiden ini kepada OJK dalam format standar yang akan ditetapkan. Hal ini tentunya ​menuntut kesiapan tim internal dalam mendeteksi anomali AI secara cepat dan memiliki mekanisme mitigasi yang jelas.

​Bergerak Cepat, Amankan Posisi Strategis

​Perpres AI akan menjadi tonggak penting. Bagi bank, ini adalah panggilan untuk menggeser paradigma. Teknologi AI sudah terlanjur menjadi bagian inti operasional, tetapi kini ia harus diimbangi dengan tata kelola yang matang.

​Bank yang bergerak lambat dan baru memulai persiapan setelah aturan berlaku penuh akan menghadapi risiko sanksi kepatuhan dan audit yang ketat. Sebaliknya, bank yang proaktif membangun struktur tata kelola, AI Registry, dan protokol pelaporan insiden AI akan menjadi role model bagi industri dan memperoleh posisi strategis serta kepercayaan di mata regulator.

​AI memang membawa efisiensi, tetapi tanpa kepatuhan, ia hanya akan menjadi sumber risiko baru yang jauh lebih kompleks. Momen ini adalah kesempatan bagi industri perbankan Indonesia untuk membuktikan bahwa mereka tidak hanya inovatif, tetapi juga bertanggung jawab dalam menghadapi era baru kecerdasan artifisial.


Digionary:

● AI Drift — Kondisi ketika performa AI berubah tanpa kontrol manusia
● AI Ethics Board — Komite etika untuk mengawasi penggunaan AI
● AI Governance — Sistem pengawasan dan pengendalian AI secara formal
● AML (Anti-Money Laundering) — Sistem untuk mencegah pencucian uang
● BIS — Bank for International Settlements, lembaga global pengawas sistem keuangan
● Deepfake — Manipulasi visual/audio berbasis AI
● EU AI Act — Regulasi kecerdasan artifisial Uni Eropa
● Fairness Report — Laporan yang membuktikan model AI tidak diskriminatif
● Living Model — Model AI yang terus berubah dan harus diawasi
● OJK — Otoritas Jasa Keuangan
● RPA — Robotic Process Automation, otomatisasi kerja berbasis AI
● UU PDP — Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi

#AIRegulasi #PerbankanDigital #OJK #AIActIndonesia #DigitalGovernance #FintechRegulation #AICompliance #RiskManagementBank #AIinBanking #RegulasiAI #PerpresAI #GovernanceAI #KeamananData #TransformasiDigital #BankingInnovation #SupervisiOJK #AuditAI #FintechWatch #FraudDetectionAI #ResponsibleAI

IN-HOUSE TRAINING TATA KELOLA AI: Berkolaborasi dengan DigitalBank Academy bekerja sama dengan Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN), digitalbank.id menawarkan program “AI Governance & Responsible AI for Banking Executive & Management”, sebuah program in-house training strategis yang dirancang khusus untuk memastikan dewan komisaris, dewan direksi dan jajaran eksekutif perbankan mampu membangun dan menguatkan “Kerangka Kerja AI yang Bertanggung Jawab” (Responsible AI Framework) secara komprehensif, memenuhi standar kepatuhan, dan siap memenuhi kewajiban pelaporan OJK. Program in-house training ini dipandu trainer yang memiliki keahlian soal tata kelola AI dan punya ribuan jam terbang training di dalam dan luar negeri serta memiliki penguasaan yang baik mengenai ‘big picture’ AI dalam konteks global maupun nasional dan implementasinya pada perbankan nasional. Beberapa bank yang telah mengikuti in-house training ini menyatakan program ini sangat bermanfaat bagi perbankan yang dituntut untuk mempersiapkan tata kelola AI, audit dan bahkan nantinya pelaporan rutin ke OJK. Tak sekadar training, kami juga memberikan jasa pendampingan (advisory) untuk penggarapan roadmap AI perbankan dan pembentukan Komite AI di perbankan sehingga adopsi dan implementasi AI sejalan dengan Tata Kelola AI OJK. Untuk informasi lebih lanjut mengenai program in-house training ini bisa menghubungi kami di nomor WA 081314188319 dan HP 087882915126.

Comments are closed.