Regulasi Stablecoin Global Bernilai US$300 Miliar, Negara Mana Lebih Siap dan Tertinggal?

- 5 Oktober 2025 - 11:14

Regulasi mengenai stablecoin kini menjadi medan tarik menarik antara inovasi keuangan digital dan kebutuhan stabilitas moneter. Di negara maju seperti AS dan Uni Eropa, kerangka hukum sudah mulai ditegakkan, sementara banyak negara berkembang masih menunggu atau belum menyusun regulasi khusus. Dalam tekanan pasar global, ketidakjelasan aturan bisa menimbulkan risiko sistemik dan ketidakpastian bagi investor dan lembaga finansial.


Poin Utama:

1. Perbedaan kecepatan regulasi antara negara maju dan berkembang.
2. Peranan regulasi dalam mendukung legitimasi dan adopsi institusional stablecoin.
3. Risiko global akibat regulasi tidak merata dan potensi arbitrase hukum.


Saat ini, pasar stablecoin internasional—yang nilainya telah menembus US$300 miliar—menghadapi tantangan paling kritis yakni selisih regulasi antarnegara. Sementara Amerika Serikat lewat GENIUS Act dan Uni Eropa melalui MiCAR menetapkan kerangka jelas, banyak negara berkembang belum punya payung hukum khusus. Situasi ini membuka peluang arbitrase regulasi dan potensi risiko keuangan lintas batas.


Di Amerika Serikat, GENIUS Act yang disahkan Juli 2025 menjadi tonggak penting: penerbit payment stablecoin diwajibkan memiliki cadangan 100% dalam bentuk aset likuid seperti U.S. Treasury dan tunduk program anti-pencucian uang (AML). Uni Eropa, dengan regulasi MiCA yang mulai berlaku sejak 2024, juga menerapkan aturan ketat tentang token “e-money” dan “asset-referenced tokens” — memperjelas batas penerbitan dan wewenang otoritas keuangan di blok itu. Hong Kong tak mau ketinggalan: lewat Stablecoin Ordinance (Mei 2025), semua penerbit harus memiliki lisensi dan cadangan aset berkualitas tinggi, serta audit berkala.

Langkah ini menunjukkan bahwa negara-negara pusat keuangan melihat stablecoin bukan sekadar aset kripto, melainkan bagian dari ekosistem pembayaran modern — yang butuh kepastian hukum agar bisa tumbuh secara sehat, demikian melansir data Visual Capitalist.

Sebaliknya, banyak negara berkembang masih “diam” atau hanya mempertimbangkan regulasi. Beberapa bahkan melarang kripto secara luas (seperti di Bangladesh, Irak, Aljazair). Dalam kasus Turki, pemerintah mengusulkan batas harian dan bulanan pada transfer stablecoin demi menahan arus dana ilegal.
Thailand misalnya, pada Maret 2025, memasukkan USDT dan USDC ke dalam daftar kripto yang boleh diperdagangkan langsung tanpa harus melewati arahan Baht.

Di Asia Tenggara, Indonesia belum mengeluarkan peraturan khusus stablecoin; bank sentral dan otoritas fintech masih mengaitkannya dengan regulasi kripto atau penerbit token digital secara umum.

Regulasi bukan sekadar pembatas, melainkan sinyal ke pasar: dengan hukum yang jelas, institusi keuangan besar — bank, hedge fund, lembaga aset digital — bisa masuk ke ranah stablecoin dengan percaya diri. Tanpa kepastian hukum, investor institusional akan tertahan di luar.

Tetapi regulasi yang timpang juga berbahaya. Misalnya, jika sebuah stablecoin diterbitkan oleh institusi di negara A (regulasi ketat), namun diperdagangkan secara luas di negara B (tanpa regulasi), maka pada saat terjadi krisis likuiditas, redemptions dapat mengalir ke yurisdiksi dengan ketentuan lebih aman. Ini bisa memicu beban cadangan agar cepat habis — situasi “run” lintas batas.

Otoritas risiko Eropa (ESRB) sudah mengingatkan tentang skema “multi-issuer” stablecoin, di mana penerbit berada di berbagai negara, sehingga regulasi tidak konsisten. Christine Lagarde, Presiden ECB, memperingatkan bahwa investor mungkin memilih menebus di wilayah Uni Eropa ketika kepercayaan goyah — tekanan besar pada cadangan yang berada di UE.

Di sisi lain, aset kripto raksasa seperti Tether (USDT) memiliki peranan yang signifikan dalam pasar uang AS—menjadi salah satu pembeli terbesar surat utang Treasury AS, berkontribusi pada penurunan imbal hasil 1-bln sebesar 24 bps.

Terakhir, total suplai stablecoin global diperkirakan telah melewati 300 miliar US$ per Oktober 2025.  IMF dan penelitian akademis juga memperkirakan bahwa dalam skenario pertumbuhan cepat, nilai pasar stablecoin bisa mencapai 2 triliun US$ dalam beberapa tahun ke depan.

Sudut Pandang Indonesia

Indonesia sebagai negara dengan populasi besar dan penetrasi digital tinggi memiliki potensi besar untuk memanfaatkan stablecoin dalam sistem pembayaran lintas batas, remitansi, maupun pemberian layanan keuangan digital. Tetapi tanpa regulasi yang khusus dan tegas, aktivitas ini akan sulit terintegrasi ke dalam sistem keuangan formal. Bank Indonesia bersama OJK perlu mempertimbangkan skema regulasi yang memungkinkan inovasi sembari menjaga kestabilan sistem keuangan, belajarlah dari pengalaman AS, UE, dan Hong Kong.

Peta regulasi stablecoin saat ini mencerminkan garis pemisah antara locus keuangan tradisional dan masa depan keuangan digital. Negara-negara yang bergerak cepat mendapatkan keuntungan legitimasi dan potensi pertumbuhan; mereka yang lambat bisa tertinggal atau rentan terhadap risiko sistemik. Dalam konteks global, semakin mendesak dibangun kerangka kerja internasional agar regulasi tidak saling bertabrakan dan mencegah arbitrase.


Digionary:

● AML / Anti–Money Laundering: prosedur dan regulasi yang mencegah pencucian uang.
● Arbitrase regulasi: memanfaatkan perbedaan aturan antarnegara untuk keuntungan.
● Stablecoin: aset kripto yang nilainya dipatok ke mata uang fiat atau aset lain agar tetap stabil.
● Multi-issuer: model penerbitan stablecoin oleh beberapa entitas di berbagai yurisdiksi.
● GENIUS Act: undang-undang AS 2025 yang mengatur penerbitan stablecoin & kewajiban cadangan.
● MiCA: regulasi Uni Eropa untuk aset kripto, termasuk stablecoin & token “e-money”.
● Cadangan penuh / full reserve: kewajiban menjaga 100% dukungan atas stablecoin dengan aset likuid.
● Redemptions: penebusan kembali stablecoin ke mata uang fiat atau aset pokok.
● Run: situasi ketika banyak investor menarik dana sekaligus, menekan likuiditas.
● Depeg: ketika stablecoin kehilangan keterkaitan (peg) dengan aset patokan.

#stablecoin #kriptokurensi #regulasi #keuangandigital #arusglobal #inovasi #fintech #banksentral #risikosistemik #GENIUSAct #MiCA #ESRB #ECB #USD #Tether #regulasikeuangan #arbitrasi #pasardunia #IndonesiaDigital #adopsistablecoin

Comments are closed.