POJK Baru Dorong Revolusi Kredit UMKM: Cepat, Murah, dan Tanpa Jaminan?

- 16 September 2025 - 09:37

OJK resmi mengundangkan POJK No. 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan kepada UMKM, sebuah kebijakan yang mewajibkan bank dan lembaga keuangan nonbank (LKNB) untuk menyederhanakan proses kredit dan pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah agar lebih cepat, murah, dan inklusif — namun tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, tata kelola, dan manajemen risiko. Kebijakan ini diharapkan menjadi pintu lebar untuk memperluas inklusi keuangan, mempercepat pemerataan ekonomi, dan memperkuat daya saing UMKM di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik.


Fokus utama:

1. Strategi kemudahan embiayaan — penyederhanaan persyaratan, model kredit yang disesuaikan, dan percepatan proses sebagai kunci agar UMKM lebih mudah mengakses dana.

2. Tata kelola, risiko, dan insentif pembiayaan — regulasi menekankan pentingnya rencana penyaluran pembiayaan, pengelolaan risiko, serta insentif untuk bank atau LKNB yang menunjukkan komitmen tinggi dalam mendukung UMKM.

3. Tanggapan industri dan tantangan pelaksanaan — sambutan positif dan kekhawatiran dari pelaku multifinance, serta potensi hambatan operasional dan risiko kredit dalam mengimplementasikan POJK tersebut.


OJK meluncurkan POJK No. 19/2025 untuk mempercepat dan mempermudah akses kredit UMKM, tapi apakah regulasi baru ini cukup untuk membangkitkan pertumbuhan usaha kecil di tengah risiko kredit yang membayangi?


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan gebrakan baru dalam mendongkrak akses pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan Peraturan OJK Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan kepada UMKM — yang diundangkan pada 2 September dan mulai berlaku per November 2025 — OJK mengatur kewajiban bagi bank dan lembaga keuangan nonbank (LKNB) untuk memberikan kemudahan pembiayaan kepada UMKM, tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko.

Menurut Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, POJK ini mendorong pendekatan baru yang lebih “inovatif” dan disesuaikan dengan kebutuhan berbagai segmen UMKM — mulai dari ultra mikro hingga usaha menengah yang memerlukan layanan keuangan lebih kompleks. “Dengan diberlakukannya POJK ini, Bank dan LKNB diharapkan dapat menghadirkan pendekatan yang lebih inovatif untuk menyediakan produk keuangan sesuai kebutuhan setiap segmen UMKM,” ujarnya.

POJK No. 19/2025 mengatur beberapa instrumen untuk mempermudah UMKM dalam mengakses pembiayaan:

  • Penyederhanaan persyaratan dan proses penilaian kelayakan, sehingga usaha mikro dan kecil tidak terbebani prosedur administrasi yang panjang.
  • Skema pembiayaan yang disesuaikan dengan karakteristik usaha dan siklus bisnis UMKM, termasuk pengakuan jaminan berbasis kekayaan intelektual (misalnya hak paten, merek atau hak cipta) sebagai alternatif agunan tradisional.
  • Penggunaan Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA) untuk mempercepat proses penyaluran, terutama bagi usaha yang belum memiliki histori kredit formal.
  • Penetapan biaya pembiayaan yang wajar dan transparan agar beban bunga dan administrasi tidak memberatkan UMKM.

Selain itu, POJK ini mengamanatkan pengembangan kemampuan internal bank dan LKNB, pemanfaatan teknologi digital, serta pelaksanaan literasi keuangan dan perlindungan konsumen untuk memperkuat daya tahan UMKM.

Meski bertujuan memperluas akses pembiayaan, OJK menekankan bahwa kemudahan tersebut tidak boleh mengorbankan tata kelola yang sehat dan manajemen risiko yang kuat. Setiap bank dan LKNB wajib memasukkan rencana penyaluran pembiayaan UMKM ke dalam rencana bisnis mereka dan melaporkan realisasinya kepada OJK.

Selain itu, aturan ini memperjelas ketentuan hapus buku dan hapus tagih untuk pembiayaan UMKM, yang menjadi acuan dalam pencatatan risiko piutang bermasalah. OJK juga mengatur insentif bagi lembaga keuangan yang aktif menyelenggarakan kemudahan akses pembiayaan UMKM.

Sebagai pelaksananya, bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) baik konvensional maupun syariah, serta LKNB (termasuk perusahaan pembiayaan, modal ventura, lembaga keuangan mikro, penyelenggara urun dana digital, pegadaian, LPEI, dan PNM) termasuk ke dalam cakupan POJK ini.

Respon terhadap POJK ini umumnya positif, namun pelaku industri memperingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kemudahan pembiayaan dan risiko kredit. Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyatakan dukungannya terhadap “semangat untuk mendorong pembiayaan ke sektor produktif, khususnya UMKM”, namun menegaskan bahwa prinsip kehati-hatian tetap harus dijaga agar pembiayaan tidak berubah menjadi beban hutang yang merugikan.

Suwandi mencatat bahwa pembiayaan modal kerja hingga Rp50 juta ke sektor produktif bisa diberikan tanpa jaminan, sementara pinjaman hingga Rp10 miliar tetap akan memerlukan jaminan sesuai kebijakan OJK. Ia juga mengingatkan bahwa evaluasi risiko tetap menjadi faktor kunci meski penggunaan Pemeringkat Kredit Alternatif bisa dipertimbangkan.

Para ekonom menyoroti tantangan dalam menggenjot kredit UMKM, mengingat hingga Juli 2025, pertumbuhan kredit UMKM tercatat hanya 1,82% YoY — jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit korporasi yang sebesar 9,59%. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kemudahan akses pembiayaan saja cukup untuk membalikkan tren angka kredit UMKM yang rendah.

Selain itu, risiko terkait penyaluran kredit mikro yang belum diverifikasi secara formal, rendahnya literasi keuangan di kalangan wirausaha mikro, dan potensi tingginya kredit macet, menjadi hambatan nyata yang harus dikelola dengan strategi pengawasan dan intervensi yang tepat. (TRI)

Digionary:

● Hapus buku: Proses penghapusan kredit bermasalah dalam laporan keuangan bank apabila piutang dinyatakan tidak tertagih.
● Hapus tagih: Ketentuan akuntansi di mana lembaga keuangan berhenti menagih piutang yang dianggap tidak dapat diterima lagi.
● Inklusi keuangan: Upaya memperluas akses masyarakat atau pelaku usaha terhadap produk keuangan formal, termasuk kredit, tabungan, dan asuransi.
● Kemudahan akses pembiayaan UMKM: Prinsip dan kebijakan yang disusun agar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah lebih mudah mengakses kredit atau pembiayaan dengan syarat yang disederhanakan, cepat, murah, dan tepat sasaran.
● LKNB (Lembaga Keuangan Nonbank): Institusi yang menawarkan pembiayaan atau layanan keuangan (tanpa fungsi penghimpunan dana dari masyarakat secara langsung) seperti perusahaan pembiayaan, modal ventura, pegadaian, lembaga urun dana digital, lembaga keuangan mikro, dan PNM.
● Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA): Sistem atau lembaga penilaian kelayakan kredit yang bukan kreditur tradisional atau lembaga pemeringkat kredit konvensional, digunakan untuk mendukung akses pembiayaan bagi debitur yang belum memiliki histori kredit formal.
● Risk appetite: Tingkat risiko maksimum yang bersedia diambil oleh sebuah lembaga keuangan dalam menjalankan aktivitas usahanya.
● Risk tolerance: Toleransi terhadap risiko (rentang atau batas) yang masih dianggap dapat diterima oleh lembaga keuangan sebelum keputusan mitigasi risiko harus dilakukan.
● Sentra keuangan khusus: Unit atau kantor khusus yang dibentuk oleh BPR untuk menyalurkan dana kepada UMKM, sebagai bagian dari upaya kemudahan akses pembiayaan.

#POJKUMKM #PembiayaanUMKM #InklusiKeuangan #OJK #KreditUMKM #LiterasiKeuangan #PembiayaanMikro #FinansialInklusi #RegulasiKeuangan #UMKMNaikKelas #ManajemenRisiko #BankRakyat #FintechUMKM #KUR #PemeringkatKreditAlternatif #PemberdayaanUMKM #BankSyariah #PendanaanDigital #EkonomiProduktif #InovasiPembiayaan

Comments are closed.