Transformasi AI global justru tersandung pada kesalahan mendasar: perusahaan terlalu sibuk membeli teknologi, tetapi abai menyiapkan manusianya. CTO Deloitte Bill Briggs mengungkap rasio mencengangkan—93% anggaran AI dihabiskan untuk teknologi, hanya 7% untuk pengembangan SDM. Ketimpangan ini memicu turunnya kepercayaan karyawan, maraknya “shadow AI”, dan risiko kegagalan investasi di level strategis.
Fokus Utama:
■ Ketimpangan investasi AI 93% untuk teknologi dan 7% untuk manusia menjadi sumber utama kegagalan adopsi AI di banyak perusahaan global.
■Minimnya pelatihan dan perubahan budaya memicu turunnya kepercayaan karyawan serta maraknya praktik shadow AI yang berisiko.
■ Ketakutan CEO terhadap “buyer’s remorse” justru memperlambat transformasi, di tengah percepatan AI fisik dan otomasi nyata.
Investasi AI global timpang: 93% untuk teknologi, hanya 7% untuk manusia. CTO Deloitte memperingatkan risiko kegagalan, turunnya kepercayaan, dan ledakan shadow AI.
Di ruang rapat direksi perusahaan global, ketakutan baru mulai mengemuka. Bukan lagi soal robot menggantikan manusia, melainkan kecemasan yang lebih sunyi namun melumpuhkan: penyesalan membeli teknologi yang mahal, canggih, tetapi tak pernah benar-benar dipakai. Di sinilah letak persoalannya—AI ternyata bukan soal mesin, melainkan manusia yang ditinggalkan.
Ketika euforia kecerdasan buatan merambah hampir semua industri, Bill Briggs, Chief Technology Officer Deloitte, justru melihat sebuah paradoks besar. Dalam fase transisi dari eksperimen AI menuju dampak bisnis berskala penuh, perusahaan global mengalokasikan 93% anggaran AI untuk teknologi—model, chip, dan perangkat lunak—sementara hanya 7% untuk manusia yang seharusnya mengoperasikannya.
Rasio “93–7” ini, menurut Briggs, bukan sekadar angka ganjil, melainkan kesalahan strategis. “Perusahaan terobsesi pada bahan-bahan—model, chip, software—tetapi melupakan resepnya,” kata Briggs. Ia mengibaratkan pendekatan ini seperti ingin memasak paella, tetapi yang dihasilkan hanya daun ketumbar. Teknologinya ada, hasilnya tidak.
Dalam wawancara dengan Fortune di kantor Deloitte, New York, Briggs menyebut fenomena ini sebagai bentuk “institutional inertia”—kecenderungan organisasi memaksakan AI masuk ke alur kerja lama, alih-alih mendesain ulang proses bisnis secara menyeluruh. “Ini jebakan klasik setiap gelombang teknologi,” ujarnya. Mudah, aman, tapi jarang menghasilkan lompatan nilai.
Briggs mengutip peringatan klasik Grace Hopper, legenda ilmu komputer: “Kalimat paling berbahaya adalah ‘kita selalu melakukannya dengan cara ini’.” Menurutnya, rasio 93–7 adalah bukti bahwa banyak pemimpin masih bertahan pada kenyamanan lama, di saat transformasi menuntut keberanian baru.
Temuan ini sejalan dengan survei global Protiviti yang dirilis bersamaan dengan laporan Tech Trends Deloitte edisi ke-17. Fran Maxwell, pimpinan konsultasi HR Protiviti, menegaskan, “Fungsi HR harus mendesain ulang pekerjaan. Dan itu bukan otot yang dimiliki banyak organisasi.” Ia menambahkan kalimat yang kini menjadi peringatan keras: “Anda tidak bisa menyelesaikan masalah talenta hari ini dengan talenta kemarin.”
Konsekuensi Nyata: Turunnya Kepercayaan dan Ledakan Shadow AI
Mengabaikan faktor manusia ternyata membawa dampak nyata. Laporan Deloitte TrustID kuartal III 2025 menunjukkan fakta mencolok: meskipun akses ke AI generatif meningkat, tingkat penggunaan justru turun 15%. Lebih mengkhawatirkan, 43% karyawan mengaku melanggar kebijakan perusahaan dengan menggunakan AI tidak resmi—fenomena yang dikenal sebagai shadow AI.
Studi lain menunjukkan, hingga 90% perusahaan menghadapi praktik penggunaan AI yang disembunyikan dari divisi TI. Alasannya sederhana: alat resmi dianggap rumit, lambat, dan kalah canggih. Dampaknya fatal—kepercayaan karyawan terhadap AI perusahaan anjlok 38% hanya dalam dua bulan pada 2025.
Namun ada satu catatan penting: karyawan yang mendapat pelatihan AI langsung dan workshop praktis mencatat tingkat kepercayaan 144% lebih tinggi dibanding mereka yang tidak. Data ini mempertegas satu kesimpulan—AI bukan soal adopsi teknologi, melainkan adopsi manusia.
Ketakutan akan ‘Buyer’s Remorse’
Di level direksi, akar masalahnya lebih psikologis. Briggs menyebut banyak CEO dan dewan direksi terjebak ketakutan klasik: salah memilih teknologi hari ini, kalah oleh versi baru minggu depan. “Mereka takut berkomitmen di waktu yang salah,” katanya.
Briggs menyamakan sikap ini dengan mencoba menebak waktu terbaik di pasar saham—nyaris mustahil. Menurutnya, penundaan justru menjadi penalti sebelum permainan dimulai. “Jalan tercepat adalah mulai bergerak,” tegasnya.
Urgensi ini makin besar dengan munculnya physical AI—robot, drone, dan sistem otonom yang beroperasi di dunia nyata. Contohnya, HPE melaporkan proses pelaporan bisnis 50% lebih cepat setelah mengimplementasikan Zora AI secara terintegrasi, bukan sekadar sebagai tambahan teknologi.
Bagi Briggs, pesannya lugas: teknologinya sudah siap. Namun tanpa transformasi budaya dan manusia, perusahaan hanya akan mewarisi sistem mahal yang tidak dipercaya dan tidak digunakan. Seperti peringatannya, “Tak peduli seberapa padat lalu lintas, semakin cepat Anda berangkat, semakin cepat pula Anda sampai.”
Digionary:
● AI Generatif: Teknologi AI yang mampu menghasilkan teks, gambar, atau kode secara mandiri.
● Buyer’s Remorse: Penyesalan setelah membeli teknologi karena cepat usang atau kalah saing.
● Institutional Inertia: Hambatan budaya organisasi yang enggan berubah.
● Physical AI: AI yang diwujudkan dalam bentuk fisik seperti robot dan drone.
● Shadow AI: Penggunaan AI oleh karyawan di luar sistem dan kebijakan resmi perusahaan.
● Tech Trends: Laporan tahunan Deloitte tentang arah dan dampak teknologi global.
● TrustID: Laporan Deloitte yang mengukur kepercayaan tenaga kerja terhadap teknologi AI.
#AI #TransformasiDigital #ArtificialIntelligence #HumanCapital #FutureOfWork #TechLeadership #ShadowAI #DigitalStrategy #CEOInsight #AITrust #WorkforceTransformation #Innovation #Deloitte #TechTrends #CorporateCulture #AIAdoption #BusinessStrategy #DigitalLeadership #HRTransformation #AIInvestment
