Peringatan Pakar: AI Bisa Ciptakan Generasi Pekerja “Pintar Semu” yang Kehilangan Kemampuan Dasar

- 14 Desember 2025 - 06:56

Laporan terbaru Work AI Institute memperingatkan bahaya tersembunyi penggunaan AI di tempat kerja:teknologi ini dapat menciptakan ilusi keahlian yang melenakan sambil secara perlahan mengikis keterampilan mendasar pekerja, terutama mereka yang masih awal berkarier, berpotensi menciptakan generasi “amatir bertenaga AI”.


Fokus Utama:

■ Ilusi keahlian yang berbahaya: AI memberikan rasa percaya diri dan produktivitas palsu, mengaburkan batas antara pengetahuan pengguna dan kemampuan mesin, yang berisiko menciptakan “utang kognitif”.
■ Ancaman terbesar pada pekerja pemula: Generasi awal karier yang seharusnya melalui proses magang dan pembelajaran mendalam justru paling rentan kehilangan fondasi keterampilan karena tugas-tugas pembelajarannya diambil alih AI.
■ Kesalahan pengukuran perusahaan: Banyak organisasi terjebak mengukur adopsi AI dari seberapa sering alat diklik, bukan dari peningkatan kualitas hasil, sehingga mendorong penggunaan yang dangkal dan maladaptif.


AI membuat pekerja merasa lebih produktif dan ahli. Namun, laporan Work AI Institute justru memperingatkan efek samping berbahaya: keterampilan inti Anda bisa terkikis diam-diam!


Di era di mana hampir setiap tugas kantor bisa dibantu artificial intelligence (AI), sebuah peringatan keras datang dari para peneliti. Bukan tentang pengambilalihan pekerjaan oleh robot, tetapi soal ancaman yang lebih halus dan mungkin lebih berbahaya: AI berpotensi melahirkan generasi pekerja yang merasa sangat ahli, padahal keterampilan mendasar mereka justru sedang tergerus diam-diam.

Laporan terbaru dari Work AI Institute—yang melibatkan peneliti dari universitas ternama seperti Notre Dame, Harvard, dan UC Santa Barbara—menyoroti fenomena “ilusi keahlian” ini. Teknologi generatif, yang dengan cepat merangkum laporan, menyusun presentasi, atau menulis kode, menciptakan rasa percaya diri dan produktivitas yang palsu.

“AI menempatkan keahlian ke dalam tangan kita dengan cara yang tidak selalu dapat diprediksi,” kata Rebecca Hinds, kepala Work AI Institute di perusahaan pencarian tempat kerja Glean dan rekan penulis laporan tersebut, kepada Business Insider.

“Seringkali ada ilusi bahwa Anda memiliki lebih banyak keahlian, lebih banyak keterampilan daripada yang sebenarnya Anda miliki,” ujarnya. “Bahkan jika Anda sangat menyadari bahwa Anda menggunakan teknologi, seringkali tidak jelas di mana pengetahuan Anda berakhir dan di mana teknologi dimulai.”

Dari “Dividen” Menuju “Utang” Kognitif

Hinds menggambarkan dua skenario ekstrem hasil interaksi manusia-AI. Pertama, “dividen kognitif”, di mana AI digunakan sebagai mitra dalam domain yang sudah dikuasai pekerja, sehingga membebaskan waktu untuk tugas bernilai lebih tinggi dan mengasah naluri. Kedua, adalah “utang kognitif”, situasi di mana AI menjadi jalan pintas refleksif yang justru melemahkan otot keterampilan dan menciptakan kepercayaan diri yang salah tempat.

Risiko ini paling nyata dalam peran kreatif dan berbasis pengetahuan. Misalnya, menggunakan AI untuk mengatasi “halaman kosong” dan membuat draf pertama. Proses itu memang mempercepat pekerjaan, tetapi sekaligus melucuti tahap paling krusial: pergumulan mendalam dengan ide.

“Semakin Anda mengoreksinya, semakin rasanya itu milik Anda dan semakin Anda berkomitmen padanya, dan semakin Anda mampu memperjuangkannya dalam rapat jika seseorang menolak,” jelas Hinds. “Proses itu sangat tidak efisien, tetapi juga sangat sehat.” Dan jika pekerja terlalu bergantung pada AI untuk melewatinya, “keterampilan Anda akan mengalami atrofi.”

Generasi Awal Karier: Korban Potensial Terbesar

Kelompok yang paling rentan, menurut Hinds, adalah pekerja pemula. Posisi-posisi awal karier—seperti pengembang junior yang belajar dari insinyur senior, atau analis pemula yang belajar membangun model dari nol—secara tradisional berfungsi sebagai masa magang.

“Jika tugas-tugas itu diotomatisasi atau jika para junior bergantung sepenuhnya pada AI untuk melakukannya, mereka mungkin tidak akan pernah mengembangkan keterampilan mendasar yang mereka butuhkan untuk maju,” tegas Hinds.

Parahnya, kepemimpinan perusahaan sering kali tanpa sadar memperparah masalah ini. “Bendera merah besar,” kata Hinds, adalah “organisasi yang membuat peringkat karyawan berdasarkan berapa kali mereka mengklik alat AI sebagai penanda adopsi AI, produktivitas AI, atau kesuksesan AI.” Metrik penggunaan yang dikaitkan dengan review kinerja justru mendorong klik yang dangkal, bukan pemahaman mendalam.

Lalu, Bagaimana Menghindari Jebakan?

Solusinya bukan menolak AI, melainkan menggunakannya dengan lebih sadar dan strategis. Hinds merekomendasikan tiga pertanyaan kritis baik untuk pekerja maupun pemimpin:

1. Peran mana yang harus tetap sangat manusiawi? Identifikasi bagian pekerjaan yang membangun penilaian, kreativitas, dan motivasi—dan tahan diri untuk mengotomatisasikannya sepenuhnya.
2. Di mana AI benar-benar bersinggungan? Gunakan AI pertama-tama di area yang dekat dengan keahlian Anda yang sudah ada, bukan sebagai jalan pintas ke domain yang tidak Anda pahami.
3. Apa yang Anda ukur? Kurang fokus pada seberapa sering orang menggunakan AI, dan lebih fokus pada apakah teknologi itu benar-benar meningkatkan hasil bisnis yang nyata—seperti kualitas, kepuasan pelanggan, atau inovasi.

Pada akhirnya, AI bukan dewa penolong. “AI tidak secara ajaib mengubah Anda sebagai pemimpin,” pungkas Hinds. “Lebih sering, ini mengamplifikasi apa yang sudah ada dalam organisasi.” Jika fondasi keterampilan dan budaya belajarnya rapuh, AI hanya akan mempercepat pembusukannya, menciptakan banyak “amatir bertenaga AI” yang percaya diri namun sebenarnya kosong.


Digionary:

● Atrofi (Keterampilan): Penurunan atau penyusutan suatu kemampuan atau keterampilan karena tidak digunakan atau kurangnya latihan.
●Generative AI (AI Generatif): Jenis kecerdasan buatan yang dapat membuat konten baru—seperti teks, gambar, atau kode—berdasarkan pola yang dipelajari dari data yang ada.
●Ilusi Keahlian (Illusion of Expertise): Persepsi keliru bahwa seseorang memiliki tingkat pengetahuan atau keterampilan yang lebih tinggi daripada yang sebenarnya dimiliki, sering kali karena dibantu oleh alat eksternal seperti AI.
●Kognitif: Berhubungan dengan proses mental seperti berpikir, belajar, mengingat, dan memecahkan masalah.
●Utang Kognitif (Cognitive Debt): Konsep yang menggambarkan akumulasi kelemahan dalam keterampilan berpikir mendasar dan pemahaman yang terjadi ketika seseorang terlalu mengandalkan alat bantu (seperti AI) tanpa mengembangkan kemampuan dasarnya sendiri, analog dengan “utang teknis” dalam pengembangan perangkat lunak.


#AI#ArtificialIntelligence #MasaDepanKerja #Keterampilan #Produktivitas #WorkAIInstitute #RebeccaHinds #Glean #Efisiensi #Otomatisasi #PengembanganDiri #Karier #PekerjaPemula #Magang #DigitalLiteracy #TransformasiDigital #Penelitian #Harvard #KecerdasanBuatan #TempatKerja

Comments are closed.