Ketergantungan AI perbankan pada ‘Big Tech’ munculkan risiko baru

- 7 Juni 2024 - 18:26

TAK BISA DITAMPIK, booming kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan meningkatkan ketergantungan bank pada perusahaan teknologi besar AS [Big Tech] dan ini menciptakan risiko baru bagi industri perbankan.

Hal itu diungkapkan eksekutif perbankan Eropa dalam satu pertemuan eksekutif fintech di Amsterdam, Belanda, pekan ini.

Seperti diberitakan Reuters, Jumat (7/6), gegap gempita seputar penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam layanan keuangan–yang sudah banyak digunakan untuk mendeteksi penipuan dan pencucian uang–telah melonjak sejak peluncuran chatbot ChatGPT OpenAI yang viral pada akhir tahun 2022 ketika bank mencari cara untuk menerapkan AI generatif .

Tapi para eksekutif di pertemuan fintech yang menempatkan AI dalam agenda utama pembahasannya itu menyatakan kekhawatiran bahwa jumlah daya komputasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan AI akan membuat bank semakin bergantung pada sejumlah kecil penyedia teknologi.

Bahadir Yilmaz, Chief Analysis Officer (CAO) yang bertanggung jawab atas pekerjaan AI di bank Belanda tersebut, mengatakan bahwa mereka diperkirakan akan semakin bergantung pada perusahaan-perusahaan Teknologi Besar alias Big Tech di masa depan, untuk infrastruktur dan mesin.

“Anda akan selalu membutuhkannya karena terkadang tenaga mesin yang dibutuhkan untuk teknologi ini sangat besar. Bank juga tidak mungkin membangun teknologi ini,” katanya mengutip Reuters.

Ketergantungan bank pada sejumlah kecil perusahaan teknologi adalah “salah satu risiko terbesar”, kata Yilmaz dari ING. Dia menekankan bahwa bank-bank Eropa khususnya perlu memastikan mereka dapat berpindah antar penyedia teknologi yang berbeda dan menghindari apa yang disebutnya “penguncian vendor”.

Para eksekutif di pertemuan fintech yang menempatkan AI dalam agenda utama pembahasannya itu menyatakan kekhawatiran bahwa jumlah daya komputasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan AI akan membuat bank semakin bergantung pada sejumlah kecil penyedia teknologi.

Pemerintah Inggris tahun lalu mengusulkan peraturan untuk mengatur ketergantungan besar perusahaan keuangan pada perusahaan teknologi eksternal, seperti Microsoft, Google, IBM dan Amazon.

Para regulator khawatir bahwa permasalahan yang terjadi pada satu perusahaan komputasi awan berpotensi menurunkan layanan di banyak lembaga keuangan.

“AI membutuhkan komputasi dalam jumlah besar dan satu-satunya cara agar Anda dapat mengakses komputasi [kekuatan komputasi] tersebut secara masuk akal adalah dari Big Tech,” ujar Joanne Hannaford yang memimpin strategi teknologi di Deutsche Bank’s pada konferensi Money20/20 awal pekan ini.

Dalam pernyataan pertamanya mengenai AI, pengawas sekuritas Uni Eropa mengatakan pekan lalu bahwa bank dan perusahaan investasi tidak dapat mengabaikan tanggung jawab dewan direksi dan memiliki kewajiban hukum untuk melindungi nasabah saat menggunakan AI. Mereka memperingatkan bahwa teknologi ini kemungkinan besar akan berdampak signifikan terhadap perlindungan investor ritel.

Perusahaan Big Tech seperti Google, Microsoft, Amazon, dan Huawei telah menggelontorkan investasi besar di kawasan Asia Tenggara di bidang keterampilan AI dan infrastruktur digital. Ini agaknya sinkron dengan usaha pemerintah yang berupaya membangun rezim regulasi yang ramah terhadap AI.

Perusahaan Big Tech seperti Google, Microsoft, Amazon, dan Huawei telah menggelontorkan investasi besar di kawasan Asia Tenggara di bidang keterampilan AI dan infrastruktur digital. Ini agaknya sinkron dengan usaha pemerintah yang berupaya membangun rezim regulasi yang ramah terhadap AI.

Perusahaan-perusahaan Big Tech berlomba meninggalkan jejak di kawasan Asia Tenggara dalam hal adopsi teknologi baru, sekaligus mendorong solusi akademis dan teknologi mereka. Mereka mengembangkan keterampilan dan akademis untuk mengatasi kesenjangan talenta digital yang dihadapi negara-negara di kawasan ini.

Microsoft menargetkan untuk melatih 10.000 pengembang Indonesia untuk menjadi ahli dalam bidang AI melalui program AI Odyssey, yang memungkinkan para pengembang untuk mendapatkan kredensial Microsoft. Upaya peningkatan keterampilan ini merupakan bagian dari investasi senilai Rp27,6 triliun (US$1,7 miliar) selama empat tahun untuk infrastruktur cloud dan AI di Indonesia. Untuk Malaysia, perusahaan ini telah menginvestasikan Rp32 triliun (US$2,2 miliar).

Kesenjangan dalam kesiapan AI juga telah disorot dalam riset “AI Readiness Index (Oxford 2023)”, yang mengukur seberapa siap pemerintah dalam menerapkan teknologi AI untuk layanan publik. Singapura–sebagai negara yang paling siap untuk AI di Asia Tenggara–memiliki skor 81,97 dari 100. Berikutnya disusul Malaysia dengan skor 68,71, dan Indonesia dengan skor 61,3. Sementara itu, skor rata-rata regional Asia Tenggara adalah 55,49.

Karena mereka [Singapura, Malaysia dan Indonesia] berada di garis depan dalam mendorong proyek-proyek AI yang inovatif di kawasan Asia Tenggara, bermitra dengan perusahaan teknologi besar adalah jalan yang lebih masuk akal bagi negara-negara yang ingin mengembangkan sektor AI mereka. ■

Ilustrasi: Jonathan Raa—NurPhoto/Getty Images

Comments are closed.