Kegagalan Terselubung di Balik Hype AI: 95% Proyek Gagal, Ini Akar Masalahnya

- 12 Oktober 2025 - 09:22

Sebuah analisis mendalam dari World Economic Forum mengungkap bahwa 95%proyek percontohan AI gagal memberikan ROI terukur. Kesuksesan AI skala besar justru ditentukan bukan oleh kecanggihan algoritma, melainkan oleh fondasi data yang sehat, strategi bisnis yang terintegrasi, dan kesiapan tenaga kerja. Hanya 14% pemimpin bisnis yang yakin dengan kematangan data organisasi mereka untuk mendukung skalabilitas AI.


Fokus Utama:

1. Tingkat kegagalan 95% pada proyek percontohan Generative AI yang gagal memberikan ROI terukur, mengungkap jurang antara eksperimen taktis dan transformasi strategis.
2. Temuan mengejutkan dari laporan Wipro bahwa hanya 14% pemimpin bisnis percaya kematangan data organisasinya mampu mendukung AI dalam skala besar.
3. Perlunya evolusi budaya perusahaan dan reskilling tenaga kerja sebagai prasyarat transformasi AI yang berkelanjutan, bukan sekadar implementasi teknologi.


95% proyek AI gagal karena 3 hal ini. Studi WEF ungkap kunci sebenarnya untuk scaling AI bukan pada algoritma, tapi pada strategi, data governance, dan transformasi budaya perusahaan.


Di balik euforia global tentang kecerdasan artifisial (AI), tersembunyi sebuah realitas yang jarang diungkap: sebagian besar investasi perusahaan dalam teknologi ini berakhir dengan kekecewaan. Sebuah analisis terkini dari World Economic Forum (WEF) mengonfirmasi bahwa 95% proyek percontohan Generative AI gagal memberikan return on investment (ROI) yang terukur.

Angka yang mencengangkan ini bukan berasal dari kegagalan algoritma itu sendiri, melainkan dari kesalahan pendekatan fundamental. “Sebagian besar upaya AI tetap menjadi eksperimen skala kecil, bukan program transformatif,” tulis Amit Kumar dan Srinivasaa HG dari Wipro dalam analisis mereka untuk WEF.

Yang terjadi di belakang layar adalah sebuah “perlombaan tikus” yang digerakkan oleh hype—implementasi AI yang terburu-buru dan terisolasi, bertujuan mencapai hasil taktis cepat, seringkali tanpa perhatian memadai pada pertimbangan strategis jangka panjang.

Temuan paling mengkhawatirkan datang dari laporan “State of Data4AI 2025” oleh Wipro. Hanya 14% pemimpin bisnis yang percaya bahwa kematangan data organisasi mereka dapat mendukung AI dalam skala besar. Padahal, 79% di antaranya meyakini AI sangat penting untuk masa depan perusahaan.

“Ini menggambarkan gambaran suram: banyak organisasi memiliki ambisi AI yang tidak didukung oleh kesiapan data mereka,” tegas laporan tersebut.

Lebih dari separuh pemimpin bisnis mengaku masih menggunakan data yang tidak akurat atau tidak konsisten untuk memandu keputusan kunci. Penyebabnya? Sistem yang terisolasi, kepemilikan data yang tidak jelas, dan model tata kelola warisan yang justru menghambat transformasi.

“Kesuksesan atau kegagalan AI dalam skala besar lebih ditentukan oleh kesehatan data yang memberinya makan daripada kecanggihan algoritma,” papar para analis WEF. Data yang dikelola dengan buruk menjebak AI dalam siklus eksperimen terisolasi, menghasilkan output yang tidak dapat diandalkan atau diskalakan.

Menurut analisis WEF, organisasi yang berhasil membedakan diri dengan pendekatan yang lebih strategis. Mereka tidak terjebak pada pertanyaan “berapa banyak tugas yang berotomatisasi?” tetapi fokus pada “apa dampak otomatisasi itu bagi bisnis dan pelanggan kami?”

Pendekatan ini memprioritaskan investasi AI yang memperkuat keputusan kritis, memberikan dampak nyata pada kinerja bisnis, dan menciptakan nilai jangka panjang. AI harus diintegrasikan ke dalam setiap fungsi, proses, alat, serta setiap produk atau layanan.

“Pada akhirnya, kecerdasan organisasi tidak akan muncul dari alat; itu akan muncul dari bagaimana orang dan sistem bekerja bersama,” tegas laporan tersebut.

Aspek yang sering terabaikan dalam transformasi AI adalah kesiapan tenaga kerja. Banyak organisasi meremehkan pentingnya membawa karyawan mereka dalam perjalanan transformasi ini.

“Pemenang di era AI-first akan secara berani mendefinisikan ulang peran dan melatih ulang orang mereka untuk bekerja bersama AI,” tulis Kumar dan Srinivasaa.

Alih-alih memandang AI sebagai ancaman, organisasi yang sukses berinvestasi dalam pelatihan berkelanjutan sehingga karyawan dapat fokus pada pekerjaan bernilai lebih tinggi. Dalam praktiknya, ini berarti mendesain ulang pekerjaan untuk dunia dengan “rekan kerja” AI dan meningkatkan keterampilan staf untuk unggul dalam hal yang paling dikuasai manusia—pemikiran kritis, kreativitas, dan komunikasi.

“Pada akhirnya, kesuksesan AI akan menguntungkan yang berani,” simpul laporan WEF. Organisasi yang bertahan akan menjadi mereka yang memeluk transformasi berkelanjutan dan memperlakukan AI sebagai imperatif strategis jangka panjang—bukan eksperimen satu kali. Mereka membangun inisiatif AI dalam konteks bisnis yang nyata, mengisinya dengan data berkualitas, mendesain untuk skalabilitas dari hari pertama, dan berinvestasi besar-besaran dalam tenaga kerja yang adaptif.


Digionary:

● AI Generatif (Generative AI): Teknologi kecerdasan artifisial yang mampu menciptakan konten baru seperti teks, gambar, atau kode, bukan hanya menganalisis data yang sudah ada.
● Data Governance: Kerangka kerja manajemen yang mengatur ketersediaan, kegunaan, integritas, dan keamanan data dalam suatu organisasi.
● Kematangan Data (Data Maturity): Tingkat kemampuan organisasi dalam mengelola, memanfaatkan, dan mendapatkan nilai dari datanya secara efektif.
● ROI (Return on Investment): Rasio finansial yang mengukur efisiensi suatu investasi dengan membandingkan keuntungan yang diperoleh terhadap biaya yang dikeluarkan.
● Scaling AI: Proses memperluas penerapan AI dari sekadar proyek percontohan ke implementasi skala penuh di seluruh organisasi.

#AI#TransformasiDigital #WorldEconomicForum #KecerdasanBuatan #StrategiBisnis #DataGovernance #Innovasi #DigitalTransformation #ROI #TechLeadership #BisnisMasaDepan #Reskilling #AIStrategy #DataAnalytics #GenerativeAI #Wipro #MITResearch #TechTrends #CorporateStrategy #WorkforceTransformation

Comments are closed.