Fenomena workslop—konten kerja yang dihasilkan AI namun miskin substansi—kian merebak di kantor-kantor modern. Riset terbaru Stanford dan BetterUp menyebut 40% pekerja di AS menerima workslop setidaknya sekali dalam sebulan terakhir. Alih-alih membantu, fenomena ini justru menimbulkan “pajak produktivitas” senilai jutaan dolar dan menggerogoti kepercayaan antar-rekan kerja.
Fokus Utama:
1. Fenomena baru: Workslop didefinisikan sebagai hasil kerja berbasis AI yang tampak rapi namun tidak memberi nilai tambah, membuat rekan kerja harus mengulang atau memperbaiki.
2. Dampak serius: Riset Stanford dan BetterUp memperkirakan perusahaan dengan 10.000 karyawan bisa kehilangan produktivitas hingga US$9 juta per tahun akibat workslop.
3. Solusi organisasi: Para ahli menekankan pentingnya tata kelola penggunaan AI di kantor, transparansi, dan komitmen kualitas agar teknologi benar-benar menjadi alat bantu, bukan sumber masalah.
Fenomena workslop—hasil kerja berbasis AI yang miskin substansi—muncul sebagai tantangan baru dunia kerja. Riset Stanford & BetterUp menunjukkan dampaknya bisa merugikan perusahaan hingga jutaan dolar dan merusak kepercayaan tim.
Silicon Valley mungkin memuji AI sebagai mesin produktivitas, tetapi realitas di kantor-kantor justru menunjukkan sisi lain yang kurang indah: workslop. Istilah ini merujuk pada hasil kerja yang tampak canggih dan berlimpah kata, tetapi miskin substansi.
Jeff Hancock, profesor komunikasi di Stanford University, pertama kali menyadari gejala ini pada 2022, tak lama setelah ChatGPT diluncurkan ke publik. “Tugas mahasiswa terlihat cukup bagus, tapi ada yang janggal. Dari 100 mahasiswa, ada sekitar 10 tugas yang sama-sama terasa ‘tidak sepenuhnya benar’, dengan gaya bahasa yang identik,” katanya.
Fenomena ini kemudian dipelajari lebih lanjut oleh Hancock bersama Kate Niederhoffer, Wakil Presiden BetterUp Labs. Mereka menyebut workslop sebagai “konten kerja yang seolah-olah berkualitas, tetapi gagal benar-benar memajukan sebuah tugas.”
Riset bersama Stanford Social Media Lab dan BetterUp terhadap 1.150 pekerja penuh waktu di AS menemukan bahwa 40% responden menerima workslop dalam sebulan terakhir. Rata-rata, 15% dokumen atau pesan yang mereka terima termasuk kategori ini. Dampaknya tidak main-main: pekerja mengaku membuang waktu hampir dua jam per bulan hanya untuk memperbaiki hasil kerja semacam itu—setara US$186 biaya tersembunyi per orang. Jika dihitung untuk organisasi berisi 10.000 karyawan, kerugian bisa menembus US$9 juta per tahun.
Tak hanya soal uang, workslop juga mengikis kepercayaan. Lebih dari separuh responden mengaku menilai rekan kerjanya kurang kompeten atau tidak dapat diandalkan setelah menerima hasil kerja semacam itu. Sebagian besar juga merasa jengkel (53%), bingung (38%), bahkan tersinggung (22%). “Mengapa mereka melakukan ini? Apakah mereka tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sendiri? Saya jadi tidak percaya lagi,” ujar Niederhoffer menggambarkan rasa frustrasi yang sering muncul.
Fenomena ini kian kontras dengan meningkatnya adopsi AI. Menurut Gallup, penggunaan AI di kantor di AS melonjak dari 21% pada 2023 menjadi 40% di 2025. Namun, laporan MIT Media Lab mengungkap 95% organisasi belum melihat pengembalian investasi yang nyata dari implementasi AI. Workslop diduga menjadi salah satu penyebab utamanya.
Para peneliti menekankan, masalah ini bukan pada AI semata, melainkan pada cara penggunaannya. Hancock mengingatkan perlunya tata kelola jelas: “Tanpa panduan, pekerja akan bingung—kalau tidak menggunakan AI mereka takut tertinggal, tapi kalau menggunakan, mereka khawatir dihakimi.”
Solusi yang ditawarkan sederhana tapi menuntut komitmen: tim harus membicarakan standar kualitas, terbuka soal penggunaan AI, dan memastikan teknologi ini benar-benar melengkapi kompetensi manusia. Niederhoffer menambahkan, “AI bisa luar biasa, tapi itu berlawanan dengan pola pikir ‘copy-paste’, di mana kita membiarkan alat bekerja sepenuhnya tanpa melibatkan kemampuan manusia.”
Bagi organisasi, pesan riset ini jelas: AI bukan jalan pintas instan. Tanpa disiplin dan etika penggunaan, teknologi ini justru bisa menjadi beban jutaan dolar yang menggerus produktivitas dan kepercayaan di tempat kerja.
Ilustrasi: PC Magazine
Digionary:
● AI (Artificial Intelligence): Kecerdasan buatan, sistem komputer yang mampu meniru kecerdasan manusia.
● BetterUp: Perusahaan riset dan pengembangan organisasi berbasis psikologi kerja.
● Gallup: Lembaga survei dan riset opini publik global.
● Generative AI: Jenis AI yang dapat menghasilkan teks, gambar, atau konten baru berdasarkan data pelatihan.
● MIT Media Lab: Lembaga riset teknologi dan inovasi di Massachusetts Institute of Technology.
● Productivity Tax: Kerugian tersembunyi yang dialami organisasi akibat waktu dan energi yang terbuang.
● Purple Prose: Gaya bahasa yang berlebihan, bertele-tele, dan tidak efektif.
● Stanford Social Media Lab: Pusat riset di Stanford University yang mempelajari dampak media sosial dan teknologi terhadap perilaku manusia.
● Workslop: Konten kerja yang dihasilkan AI dan tampak berkualitas tetapi tidak menambah substansi atau nilai bagi tugas.
#AI #ArtificialIntelligence #Workslop #Produktivitas #FutureOfWork #DigitalWorkplace #Stanford #BetterUp #MIT #Gallup #KantorDigital #Teamwork #KerjaRemote #AIinWorkplace #BisnisDigital #KecerdasanBuatan #TeknologiKerja #HRTrends #WorkCulture #TransformasiDigital
