Riset BRIN Temukan Fakta Baby Boomers Jabodetabek Masih “Alergi” Pembayaran Digital

- 4 Desember 2025 - 05:07

Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap kesenjangan lebar dalam adopsi pembayaran digital antara generasi muda (Gen Z, Milenial, Gen X) dan generasi baby boomers di Jabodetabek. Sementara kepemilikan smartphone generasi muda mencapai >91%, baby boomers hanya 73% dan masih bertahan dengan transaksi konvensional karena tantangan intuitivitas, infrastruktur, dan literasi digital.


Fokus Utama:

■ Riset BRIN memberikan data empiris tentang jurang kepemilikan smartphone (>91% pada Gen Z-Milenial-Gen X vs 73% pada baby boomers) dan preferensi yang masih kuat ke transaksi konvensional di generasi tua, mengkonkretkan fenomena generational leapfrogging.
■ Tantangan utama bagi baby boomers bukan hanya kepemilikan ponsel, tetapi terletak pada aspek desain pengalaman pengguna (kurang intuitif), kekhawatiran keamanan, dan ketidakmerataan infrastruktur telekomunikasi yang menghambat adopsi nyata.
■ Temuan ini menjadi dasar rekomendasi kebijakan agar transformasi digital keuangan tidak meninggalkan kelompok rentan, dengan menekankan pentingnya menjaga akses layanan konvensional sembari mendorong desain dan edukasi digital yang lebih inklusif.


Gelombang transformasi digital di sektor keuangan kerap diukur dengan statistik yang gemilang: jutaan pengguna baru, triliunan rupiah transaksi, dan penetrasi QRIS yang menjamur. Namun, sebuah riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan bahwa di balik angka-angka agregat yang mengesankan, tersembunyi sebuah realitas yang terfragmentasi.

Di jantung pusat ekonomi digital Indonesia, Jabodetabek, ternyata berlangsung sebuah “perlombaan” adopsi teknologi yang timpang. Generasi muda melesat cepat, sementara generasi baby boomers seperti berlari dengan sepatu boots—terengah-engah di belakang. Riset ini bukan sekadar memotret kesenjangan kepemilikan smartphone, tetapi menyoroti sebuah mismatch mendasar antara desain dunia digital dan kebutuhan riil populasi yang menua.

Narasi percepatan digitalisasi keuangan di Indonesia sering kali bersifat triumfan, seolah seluruh masyarakat bergerak serentak meninggalkan uang tunai. Riset terbaru Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan koreksi yang diperlukan terhadap narasi tersebut. Studi yang memetakan potensi dan tantangan adopsi pembayaran digital di masyarakat urban Jabodetabek ini mengungkap fenomena yang disebut generational leapfrogging—sebuah lompatan teknologi yang tidak merata, menciptakan jurang antargenerasi.

Dalam paparannya di Seminar Naskah Publikasi Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, akhir November lalu, Peneliti Pusat Riset Teknologi Transportasi BRIN, Dwi Phalita Upahita, membeberkan data yang kontras. Kepemilikan dan penggunaan smartphone pada Generasi Z, Milenial, dan Generasi X menembus angka 91%. Namun, di sisi lain, generasi baby boomers (mereka yang lahir antara 1946-1964) hanya berada di angka 73%.

“Generasi Z, milenial, dan X menunjukkan tingkat kepemilikan dan penggunaan smartphone lebih dari 91 persen. Sementara, generasi baby boomers tertinggal dengan capaian 73 persen,” kata Dwi.

Namun, angka kepemilikan gadget hanyalah lapisan pertama. Masalah yang lebih dalam adalah preferensi dan behavioral lock-in. Dwi menambahkan bahwa meski memiliki ponsel, preferensi generasi baby boomers masih sangat kuat condong pada transaksi konvensional. Ini berlaku baik di ritel maupun dalam sistem pembayaran transportasi publik.

“Tantangan utama meliputi intuitivitas dan kemudahan penggunaan, infrastruktur telekomunikasi, serta kesenjangan literasi digital,” tegas Dwi.

Temuan BRIN ini menyentuh akar masalah yang sering diabaikan dalam desain produk digital: asumsi pengguna. Antarmuka aplikasi yang bagi generasi digital native terasa intuitif—dengan ikon-ikon kecil, geser-geser (swipe), dan menu tersembunyi—bisa jadi merupakan labirin yang membingungkan bagi pengguna yang tidak dibesarkan dengan logika tersebut. Kekhawatiran akan keamanan, kesalahan teknis, dan ketidakmampuan mengembalikan transaksi yang salah menjadi penghalang psikologis yang nyata.

Tantangan infrastruktur juga bukan mitos. Meski Jabodetabek adalah wilayah dengan cakupan jaringan terbaik, konektivitas yang tidak stabil di lokasi tertentu (seperti area parkir bawah tanah, pasar tradisional, atau dalam kendaraan umum yang bergerak cepat) dapat menggagalkan transaksi. Pengalaman gagal bayar satu kali cukup untuk menguatkan keyakinan bahwa uang tunai adalah “jaring pengaman” yang lebih dapat diandalkan.

Implikasi Kebijakan: Menjaga Layanan Konvensional Sambil Mendorong Digital

Riset ini membawa pesan kebijakan yang kritis. BRIN menekankan pentingnya memastikan bahwa kebijakan pembayaran digital tetap memperhatikan kelompok generasi senior dan tidak menghilangkan akses layanan bagi kelompok rentan.

Peringatan ini relevan di tengah dorongan masif menuju cashless society. Regulator seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta para pelaku industri fintech dan perbankan, perlu merancang strategi dua jalur. Di satu sisi, terus berinovasi dan mempermudah layanan digital. Di sisi lain, mempertahankan—atau setidaknya tidak tergesa-gesa menghapus—saluran transaksi konvensional untuk kelompok yang belum siap beralih.

Beberapa rekomendasi operasional yang muncul dari temuan ini antara lain:

1. Desain Inklusif: Mengembangkan mode sederhana pada aplikasi dompet digital dengan font besar, kontras warna tinggi, dan alur transaksi yang dipersingkat.
2. Edukasi Kontekstual: Program literasi digital yang tidak sekadar seminar, tetapi pendampingan langsung di titik-titik dimana generasi tua beraktivitas, seperti posyandu lansia atau pusat komunitas.
3. Infrastruktur Pendukung: Memastikan ketersediaan WiFi publik yang stabil di fasilitas layanan kritikal seperti halte busway, stasiun kereta, dan puskesmas.
4. Hybrid Solution: Mempertahankan opsi pembayaran tunai atau kartu di transportasi publik dan layanan dasar pemerintah.

Riset BRIN ini adalah cermin bagi seluruh pemangku kepentingan. Keberhasilan transformasi digital tidak diukur dari seberapa cepat segmen masyarakat yang paling muda dan melek teknologi bergerak, tetapi dari seberapa baik sistem keuangan baru ini mampu membawa serta seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada di pinggiran digital. Jika tidak, percepatan digital justru berisiko memperdalam ketimpangan, bukan menyelesaikannya. (08)


Digionary:

● Baby Boomers: Generasi yang lahir pasca Perang Dunia II antara tahun 1946-1964, saat ini berusia sekitar 61-79 tahun.
● Behavioral Lock-in: Kecenderungan untuk tetap menggunakan kebiasaan atau metode lama yang sudah nyaman, meskipun ada opsi baru yang secara teknis lebih efisien.
● Generational Leapfrogging: Fenomena di mana satu generasi melompati atau mengadopsi teknologi baru secara signifikan lebih cepat dan lebih luas dibanding generasi sebelumnya, menciptakan kesenjangan adopsi yang lebar.
● Inklusi Keuangan: Keadaan dimana semua individu dan bisnis memiliki akses ke produk dan layanan keuangan yang terjangkau dan memenuhi kebutuhan mereka.
● UI/UX (User Interface/User Experience): Desain antarmuka dan pengalaman pengguna sebuah aplikasi atau sistem digital. UI berkaitan dengan tampilan, sementara UX berkaitan dengan kemudahan dan kepuasan saat menggunakannya.

#BRIN#RisetBRIN #KesenjanganDigital #PembayaranDigital #InklusiKeuangan #BabyBoomers #GenerasiTua #Jabodetabek #LiterasiDigital #TransformasiDigital #FintechIndonesia #CashlessSociety #TransaksiNontunai #UIUX #DesainInklusif #KebijakanDigital #GenerasiZ #Milenial #DigitalDivide #EkonomiDigital

Comments are closed.