Kementerian Keuangan mengungkap dua masalah struktural dalam sistem dana pensiun Indonesia: aset yang masih didominasi program wajib dengan kontribusi hanya 6,8% terhadap PDB, dan cakupan peserta yang sangat terbatas—hanya 23,6 juta dari 144 juta angkatan kerja. Tantangan ini diperparah oleh fenomena penarikan dini dana Jaminan Hari Tua (JHT) oleh peserta usia muda, yang menggerus tujuan utama tabungan masa tua.
Fokus utama:
1. Kedalaman Pasar yang Rendah: Aset dana pensiun Indonesia hanya 6,8% dari PDB, sangat tertinggal dibanding Malaysia (>60%) dan negara OECD.
2. Cakupan yang Sempit: Hanya 16,4% angkatan kerja yang tercakup program pensiun wajib, meninggalkan mayoritas pekerja sektor informal dan UMKM tanpa perlindungan.
3. Kebocoran Tujuan: Maraknya early withdrawal atau penarikan dini dana JHT untuk kebutuhan konsumtif di usia produktif mengancam sustainability sistem.
Di balik gembar-gembor pertumbuhan ekonomi,tersimpan kerapuhan fundamental yang mengancam masa tua puluhan juta pekerja Indonesia. Lembar fakta yang dibeberkan Kementerian Keuangan bagai tamparan keras: sistem dana pensiun kita bukan hanya kerdil, tapi juga timpang. Yang tercakup hanya segelintir, sementara yang terlindungi justru menggerus sendiri tabungan masa tuanya untuk bertahan di masa kini.
Dalam Indonesia Pension Fund Summit (IPFS) 2025 di Tangerang Selatan, Kamis (23/10), Direktur Pengembangan Dana Pensiun, Asuransi, dan Aktuaria Kemenkeu, Ihda Muktiyanto, menyodorkan diagnosis tajam atas dua penyakit kronis sistem pensiun nasional.
Pertama, soal skala aset yang masih terbilang kerdil. “Pada 2024, total aset program pensiun ini, baik wajib maupun sukarela itu mencapai lebih dari Rp1.500 triliun atau setara 6,8% dari GDP,” papar Ihda.

Angka yang terkesan fantastis itu, dalam analisis komparatif, justru memperlihatkan ketertinggalan yang memilukan. Sebagai perbandingan, rasio aset dana pensiun Malaysia terhadap PDB telah melampaui 60%, setara dengan rata-rata negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). “Artinya kita mempunyai tantangan cukup besar untuk bisa meningkatkan skala dan kedalaman aset dana pensiun,” ujarnya.
Masalah kedua, dan mungkin lebih fundamental, adalah soal cakupan. Dari sekitar 144 juta angkatan kerja Indonesia, hanya sekitar 23,6 juta yang tercatat sebagai peserta program pensiun wajib. Ini berarti, cakupan kepesertaan program pensiun wajib hanya menyentuh 16,4% dari total angkatan kerja. Sebuah angka yang secara implisit mengabaikan lebih dari 120 juta pekerja, terutama yang bergerak di sektor informal dan UMKM.
“Hal tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas pekerja Indonesia khususnya di sektor informal dan UMKM masih menghadapi risiko yang cukup besar kala memasuki masa pensiun,” tegas Ihda.
Namun, masalah tidak berhenti pada mereka yang tidak tercakup. Bagi yang sudah menjadi peserta, ancaman lain mengintai: budaya early withdrawal atau penarikan dini dana Jaminan Hari Tua (JHT). Data Kemenkeu menunjukkan klaim JHT terus merangkak naik setiap tahunnya, dan yang memprihatinkan, sebagian besar dilakukan oleh peserta yang masih berada di usia produktif.
“Sebagian besar klaim itu dilakukan pada saat peserta masih berusia produktif, berusia muda, karena kebutuhan, tetapi tidak sering juga yang sifatnya itu juga digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Sebab itu, kebutuhan untuk menopang dan melindungi kebutuhan di masa tua itu sangat terbatas,” pungkas Ihda.
Fenomena ini mengonfirmasi temuan sebelumnya dari BPJS Ketenagakerjaan yang mencatat bahwa triliunan rupiah dana JHT cair sebelum waktunya, seringkali untuk membiayai kebutuhan jangka pendek seperti perbaikan rumah, modal usaha mikro, atau bahkan konsumsi. Praktik ini, meski legal, menggerus tujuan utama sistem jaminan sosial: menyediakan safety net di hari tua.
Dua tantangan utama ini—aset yang kecil dan cakupan yang sempit—memaksa pemerintah untuk berpikir ulang. “Dan yang kedua, kita perlu melakukan upaya yang lebih serius untuk memperluas cakupan program pensiun tadi, sehingga lebih banyak pekerja, terutama untuk yang informal dan juga yang menengah untuk bisa mendapatkan pelindungan di masa pensiunnya,” tuturnya.
Reformasi sistem pensiun menjadi semakin mendesak. Laporan World Bank berjudul “Live Long and Prosper” menyoroti bahwa populasi lansia Indonesia akan tumbuh pesat. Tanpa sistem pensiun yang inklusif dan berkelanjutan, beban ekonomi dan sosial di masa depan bisa menjadi bom waktu yang mengancam stabilitas nasional.
Digionary:
● Early Withdrawal: Penarikan dana pensiun atau tabungan jangka panjang sebelum mencapai waktu atau usia yang ditetapkan, seringkali mengakibatkan penalti atau berkurangnya manfaat.
●GDP (Gross Domestic Product): Nilai total semua barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara dalam periode tertentu, digunakan sebagai indikator utama kekuatan ekonomi.
●JHT (Jaminan Hari Tua): Program pensiun wajib yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, memberikan manfaat finansial ketika peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total.
●OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development): Organisasi internasional beranggotakan negara-negara dengan ekonomi maju yang berfokus pada kebijakan ekonomi dan sosial.
●Sektor Informal: Pekerjaan yang tidak tercatat, tidak berbadan hukum, dan umumnya tidak memiliki perlindungan sosial formal dari negara.
#DanaPensiun #Kemenkeu #Pensiun #JaminanHariTua #JHT #BPJSKetenagakerjaan #EarlyWithdrawal #AngkatanKerja #SektorInformal #UMKM #PDB #OECD #Malaysia #ReformasiPensiun #KesejahteraanLansia #IhdaMuktiyanto #EkonomiIndonesia #Keuangan #TabunganPensiun #ProteksiSosial
