Uang Daerah Parkir di Bank Makin Bengkak, Belanja Pemda Dinilai Mandek

- 23 September 2025 - 17:53

Dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di bank melonjak menjadi Rp233,11 triliun per Agustus 2025. Kementerian Keuangan menilai lonjakan ini disebabkan rendahnya serapan belanja daerah meski transfer dari pusat terus mengalir. Kondisi ini dikhawatirkan mengurangi daya dorong fiskal di tengah perlambatan ekonomi domestik.


Fokus Utama:

1. Dana pemda yang mengendap di bank mencapai level tertinggi sejak 2021, menembus Rp233,11 triliun.
2. Serapan belanja daerah yang lambat membuat transfer pusat tidak langsung berdampak pada ekonomi lokal.
3. Pemerintah mendesak akselerasi belanja daerah agar APBD benar-benar jadi stimulus pertumbuhan.


Dana pemda mengendap di bank tembus Rp233,11 triliun per Agustus 2025, tertinggi sejak 2021. Belanja daerah yang lambat dinilai menghambat stimulus ekonomi.


Alih-alih menggerakkan roda perekonomian daerah, ratusan triliun rupiah dana pemda justru tertahan di bank. Per Agustus 2025, jumlahnya mencapai Rp233,11 triliun—angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat uang milik pemerintah daerah yang tersimpan di perbankan melonjak signifikan dibanding Agustus tahun lalu yang hanya Rp192,57 triliun. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan, fenomena ini bukan karena transfer pusat menurun, melainkan karena realisasi belanja daerah jauh lebih lambat dari yang diharapkan.

“Transfer tetap tinggi, belanjanya agak perlambatan sehingga dana Pemda di perbankan terjadi peningkatan,” ujar Suahasil dalam konferensi pers APBN KiTa periode Agustus 2025 di Jakarta, Senin (22/9).

Lonjakan ini menandai tren berulang. Sejak 2021, dana parkir pemda terus bergerak fluktuatif: Rp178,95 triliun (Agustus 2021), Rp203,42 triliun (2022), Rp201,31 triliun (2023), Rp192,57 triliun (2024), dan kini melonjak drastis ke Rp233,11 triliun.

Distribusi dana terbesar tercatat di Jawa dengan Rp84,77 triliun dari 119 pemda, disusul Kalimantan Rp51,34 triliun, Sumatera Rp43,63 triliun, Sulawesi Rp19,27 triliun, Maluku-Papua Rp17,34 triliun, serta Bali dan Nusa Tenggara Rp16,75 triliun.

Pemerintah pusat menilai penumpukan dana ini berpotensi meredam daya ungkit fiskal. Padahal, dalam kondisi ekonomi global yang tidak pasti dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung moderat di kisaran 5%, APBD seharusnya menjadi instrumen vital untuk mendorong konsumsi, investasi, dan lapangan kerja di daerah.

“Jadi kita berharap bahwa daerah akan terus mendorong akselerasi belanja agar APBD mampu memberikan stimulus bagi perekonomian di daerah bersama-sama dengan APBN,” tegas Suahasil.

Ekonom menilai fenomena ini tidak lepas dari problem klasik: birokrasi pengadaan yang berbelit, lemahnya perencanaan, hingga kekhawatiran kepala daerah tersandung kasus hukum. Laporan Bank Dunia (2025) bahkan menyebut bahwa tingkat serapan anggaran pemerintah daerah di Indonesia rata-rata hanya 75% dari target, lebih rendah dibanding Filipina (82%) atau Thailand (85%).

Digionary

● APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, rencana keuangan tahunan pemerintah daerah.
● APBN: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, rencana keuangan tahunan pemerintah pusat.
● Dana transfer ke daerah: Alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mendukung pembangunan dan pelayanan publik.
● Serapan anggaran: Persentase realisasi belanja dibandingkan dengan anggaran yang direncanakan.
● Stimulus fiskal: Kebijakan pemerintah meningkatkan belanja atau menurunkan pajak untuk menggerakkan ekonomi.

#EkonomiDaerah #APBD #APBN #KementerianKeuangan #BelanjaDaerah #FiskalIndonesia #PertumbuhanEkonomi #InvestasiDaerah #SerapanAnggaran #BankIndonesia #DanaPemda #EkonomiNasional #PemdaIndonesia #Ekonomi2025 #PerbankanIndonesia #SriMulyani #SuahasilNazara #APBNKiTa #EkonomiGlobal #Inflasi

Comments are closed.