Bank Sentral China (People’s Bank of China/PBOC) mengumumkan operasi penindakan menyeluruh terhadap mata uang virtual dan menyoroti kekhawatiran mendalam tentang stablecoin dalam pertemuan kebijakan terbaru. Langkah ini memperkuat posisi China sebagai negara dengan regulasi kripto paling ketat di dunia di tengah kapitalisasi pasar stablecoin global yang mencapai US$280 miliar.
Fokus Utama:
■ Operasi penindakan komprehensif PBOC terhadap semua kegiatan mata uang virtual ilegal.
■ Kekhawatiran khusus terhadap stablecoin sebagai ancaman stabilitas keuangan.
■ Penguatan koordinasi global untuk mencegah arbitrase regulasi dan spillover risk.
Bank Sentral China (PBOC) mengumumkan operasi penindakan menyeluruh terhadap mata uang virtual dan secara khusus menyoroti stablecoin sebagai ancaman stabilitas keuangan yang serius. Langkah ofensif ini bukan sekadar peringatan biasa, melainkan deklarasi perang total terhadap seluruh aktivitas kripto ilegal yang masih berusaha bertahan di tengah larangan keras yang telah berlaku sejak 2021.
“Kami akan terus memantau dan menindak kegiatan mata uang virtual secara ketat,” tegas juru bicara PBOC dalam pernyataan tertulis yang diperoleh Reuters, menegaskan komitmen tanpa kompromi terhadap proteksi sistem keuangan nasional.
Bank Sentral China tidak main-main. Dalam rapat koordinasi antar-lembaga yang digelar pekan lalu, PBOC menginstruksikan seluruh cabangnya di provinsi dan kota untuk mengintensifkan pengawasan dan penindakan terhadap kegiatan mata uang virtual ilegal. Langkah ini mencakup peningkatan monitoring transaksi keuangan mencurigakan, penutupan platform trading gelap, dan tindakan hukum terhadap individu maupun organisasi yang melanggar.
“Tidak ada toleransi untuk aktivitas mata uang virtual ilegal. Kami akan menggunakan semua instrumen yang ada untuk melindungi kedaulatan moneter China,” tegas seorang pejabat tinggi PBOC yang enggan disebutkan namanya karena tidak berwenang berbicara pada publik.
Data dari Chainalysis menunjukkan bahwa meski volume trading kripto di China turun drastis 95% pasca-larangan 2021, aktivitas peer-to-peer tetap bertahan di bawah tanah dengan nilai diperkirakan mencapai US$15 miliar pada 2024 lalu.
Stablecoin Jadi Ancaman Baru
Yang membuat para analis terkejut adalah fokus khusus PBOC pada stablecoin. Dalam dokumen internal yang bocor ke Reuters, bank sentral menyebut stablecoin sebagai “vektor risiko baru” yang dapat merusak efektivitas kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan.
“Stablecoin, terutama yang didukung aset fiat dan dikendalikan entitas asing, memiliki potensi menjadi saluran untuk pelarian modal dan pencucian uang,” tulis dokumen tersebut.
Kekhawatiran PBOC ini muncul di tengah ledakan kapitalisasi pasar stablecoin global yang mencapai US$280 miliar, dengan Tether (USDT) dan USD Coin (USDC) mendominasi 89% pasar. Yang lebih mencemaskan, laporan ECB terbaru menunjukkan stablecoin kini masuk dalam pemegang terbesar Treasury bill AS.
China tidak hanya mengandalkan pendekatan represif. PBOC secara paralel mempercepat pengembangan dan implementasi digital yuan (e-CNY) sebagai senjata utama melawan dominasi mata uang digital asing. Hingga kuartal III-2025, e-CNY telah digunakan di 28 kota percobaan dengan total transaksi melebihi US$350 miliar.
“Digital yuan bukan hanya inovasi teknologi, tapi juga benteng pertahanan kedaulatan moneter di era digital,” ujar Prof. Zhang Wei, pakar keuangan digital dari Universitas Peking.
Selain itu, PBOC meningkatkan koordinasi dengan regulator di Hong Kong dan Macau untuk mencegah arbitrase regulasi, mengingat kedua wilayah administratif khusus ini memiliki pendekatan yang lebih longgar terhadap aset kripto.
Langkah PBOC ini sejalan dengan meningkatnya kekhawatiran regulator global terhadap stablecoin. Financial Stability Board (FSB) dan International Monetary Fund (IMF) telah merekomendasikan pengawasan ketat terhadap stablecoin global, sementara Uni Eropa telah menerapkan Markets in Crypto-Assets Regulation (MiCAR) yang ketat.
“Kami mendukung koordinasi global untuk mengatur aset kripto dan stablecoin. Tidak ada negara yang bisa menghadapi risiko ini sendirian,” kata wakil gubernur PBOC dalam pertemuan G20 pekan lalu.
Namun, China tampaknya mengambil posisi yang lebih keras dibanding kebanyakan negara. Sementara AS masih berdebat tentang kerangka regulasi stablecoin melalui GENIUS Act, China sudah memilih jalan penindakan total.
Implikasi bagi Pasar Global
Kebijakan keras China ini memiliki implikasi signifikan bagi pasar kripto global. Sebagai mantan pusat mining bitcoin yang menguasai lebih dari 65% hashrate global sebelum larangan 2021, peran China masih menjadi faktor kritis dalam ekosistem kripto.
“Ketika China bersikap keras, seluruh pasar merasakan dampaknya. Ini terbukti dalam beberapa tahun terakhir dimana keputusan PBOC selalu menyebabkan volatilitas tinggi,” kata Marcus Thompson, analis senior di Digital Asset Research.
Para pelaku industri memprediksi bahwa operasi penindakan ini akan semakin mendorong aktivitas kripto China ke luar negeri, khususnya ke Hong Kong, Singapura, dan Dubai yang memiliki regulasi yang lebih jelas.
Namun satu hal yang pasti: PBOC tidak akan berkompromi. Dalam pertarungan antara kedaulatan moneter dan kebebasan finansial, China telah memilih sisinya dengan sangat jelas.
Digionary:
● Arbitrase Regulasi: Praktek memanfaatkan perbedaan regulasi antar yurisdiksi
● Digital Yuan (e-CNY): Mata uang digital yang diterbitkan Bank Sentral China
● Hashrate: Ukuran kekuatan komputasi dalam jaringan blockchain
● PBOC: Bank Sentral China (People’s Bank of China)
● Spillover Risk: Risiko dampak berantai dari satu sektor/yurisdiksi ke lainnya
● Stablecoin: Aset kripto yang nilainya dipatok dengan aset stabil seperti mata uang fiat
● Treasury Bill: Surat utang pemerintah AS jangka pendek
#PBOC#ChinaCrypto #Stablecoin #MataUangVirtual #DigitalYuan #RegulasiKripto #BankSentralChina #LaranganKripto #ECNY #KeuanganDigital #StabilitasKeuangan #CryptoBan #BlockchainChina #AsetKripto #KebijakanMoneter #FintechChina #PembayaranDigital #RisikoSistemik #PasarKripto #GlobalRegulation
