Indonesia kini resmi masuk jajaran 10 besar negara penambang Bitcoin terbesar di dunia dengan kekuatan komputasi 17 exa-hash per detik (EH/s). Pencapaian ini menandai lonjakan pesat dalam ekosistem kripto nasional, di tengah tren global pembatasan aktivitas mining di sejumlah negara karena krisis energi. Posisi Indonesia menggantikan Norwegia yang turun akibat kebijakan penghematan listrik, membuka peluang baru bagi investasi dan transformasi digital di sektor blockchain.
Fokus Utama:
● Indonesia kini menempati posisi ke-10 dunia dalam penambangan Bitcoin, dengan hashrate 17 EH/s atau 1,6% pangsa global.
● Naiknya posisi Indonesia tak lepas dari kebijakan pembatasan energi di Norwegia dan beberapa negara Eropa.
● Tren global menunjukkan pergeseran pusat mining ke negara-negara dengan listrik murah dan regulasi lebih ramah kripto, seperti Indonesia, Paraguay, dan Oman.
Indonesia resmi masuk 10 besar negara penambang Bitcoin terbesar dunia dengan kekuatan 17 EH/s. Di tengah krisis energi global, Indonesia justru menjadi magnet baru investasi kripto berkat pasokan listrik murah dan regulasi yang lebih terbuka.
Untuk pertama kalinya, Indonesia masuk daftar 10 besar negara dengan aktivitas penambangan Bitcoin (BTC) terbesar di dunia. Laporan Global Hashrate Heatmap Q4 2025 yang dirilis Hashrate Index mencatat, kekuatan komputasi (hashrate) Indonesia mencapai 17 exa-hash per detik (EH/s), atau sekitar 1,6% dari total global.
Pencapaian ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-10, menggeser Norwegia yang turun karena kebijakan penghematan energi nasional. Sementara lima besar dunia masih didominasi oleh Amerika Serikat (389 EH/s; 37,8%), Rusia (160 EH/s; 15,5%), China (145 EH/s; 14,1%), Paraguay (40 EH/s; 3,9%), dan Uni Emirat Arab (33 EH/s; 3,2%).
Empat negara lain yang berada di atas Indonesia adalah Oman, Kanada, Kazakhstan, dan Ethiopia, masing-masing dengan hashrate antara 20 hingga 30 EH/s. “Ketimbang awal tahun, AS konsisten menambah porsinya di setiap kuartal, menegaskan kepemimpinannya dalam lanskap penambangan kripto,” tulis laporan Hashrate Index.

Energi, Bukan Teknologi, yang Jadi Kunci
Lonjakan peringkat Indonesia bukan semata karena peningkatan kapasitas infrastruktur, tetapi karena tersedianya pasokan listrik yang relatif stabil dan murah, terutama di wilayah luar Jawa.
Sementara itu, negara-negara Eropa seperti Norwegia, Kosovo, dan Angola justru melakukan pembatasan aktivitas mining untuk menghemat energi.
Pemerintah Norwegia bahkan telah memberlakukan moratorium terhadap penambangan kripto sejak pertengahan 2025. Menteri Digitalisasi dan Administrasi Publik Karianne Tung menegaskan, “aktivitas ini boros energi dan tidak banyak menciptakan lapangan kerja.”
Kebijakan tersebut menggeser peta kekuatan mining global. Negara-negara dengan energi berlebih dan biaya listrik rendah — seperti Paraguay, Oman, dan Indonesia — kini justru menjadi magnet bagi investor dan pelaku tambang kripto.
Harga Listrik Jadi Daya Tarik Baru
Indonesia dinilai memiliki biaya listrik yang kompetitif dibandingkan rata-rata global. Berdasarkan data IEA (International Energy Agency), tarif listrik industri di Indonesia berkisar US$0,08–US$0,11 per kWh, jauh di bawah Eropa yang rata-rata mencapai US$0,25–US$0,30 per kWh.
Selain itu, beberapa provinsi seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera bagian utara telah menjadi lokasi potensial bagi pengoperasian mining farm karena ketersediaan sumber energi terbarukan seperti PLTA dan panas bumi.
Namun, aktivitas mining tetap menimbulkan perdebatan. Data Digiconomist (2025) menunjukkan, satu transaksi Bitcoin mengonsumsi energi hingga 1.066 kWh, setara listrik rumah tangga AS selama sebulan, atau 10 bulan untuk rumah tangga Indonesia.
Pergeseran Global dan Efek Domino
Menariknya, pergeseran dominasi mining ini terjadi bersamaan dengan kebijakan pembatasan di Laos, yang mulai mengalihkan pasokan listrik ke sektor industri bernilai tambah seperti kendaraan listrik dan pusat data. Padahal, Laos sebelumnya sempat menikmati surplus energi dan membuka keran investasi besar-besaran untuk penambangan Bitcoin pada 2021.
Pertumbuhan kekuatan mining juga terlihat di Bolivia (naik dari 0,08% menjadi 0,29%) dan Georgia (dari 1,00% menjadi 1,16%). Semua ini mencerminkan arah baru ekosistem kripto dunia: menuju negara berkembang yang memiliki listrik murah dan regulasi longgar.
“Negara-negara dengan biaya energi rendah akan menjadi episentrum baru ekonomi kripto global,” tulis laporan Reuters dalam analisis terbarunya (Oktober 2025).
Potensi Indonesia di Tengah Transisi Energi
Kondisi ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menyeimbangkan transformasi energi dan transformasi digital. Jika dikelola dengan tepat, investasi di sektor mining bisa mempercepat adopsi teknologi blockchain, menciptakan lapangan kerja baru di sektor data center, dan memperkuat posisi Indonesia sebagai hub kripto Asia Tenggara.
Namun, jika dibiarkan tanpa regulasi ketat, aktivitas mining berisiko menimbulkan lonjakan permintaan listrik dan emisi karbon. Kementerian ESDM disebut tengah mengkaji model insentif berbasis energi terbarukan agar aktivitas mining lebih ramah lingkungan.
Digionary:
● Bitcoin (BTC) — Mata uang kripto berbasis blockchain pertama di dunia, diciptakan pada 2009 oleh Satoshi Nakamoto.
● Blockchain — Teknologi pencatatan digital terdistribusi yang digunakan untuk transaksi kripto.
● Digiconomist — Platform riset yang meneliti dampak lingkungan dari teknologi blockchain dan kripto.
● EH/s (Exa-hash per second) — Satuan kecepatan komputasi untuk mengukur kekuatan jaringan penambangan kripto.
● Hashrate — Kapasitas komputasi yang digunakan untuk memverifikasi transaksi dan menambang Bitcoin.
● IEA (International Energy Agency) — Lembaga internasional yang meneliti kebijakan dan data energi global.
● Mining (Penambangan) — Proses validasi transaksi blockchain dengan menggunakan daya komputasi besar.
● Norwegia — Negara Skandinavia yang baru-baru ini membatasi aktivitas penambangan kripto demi penghematan energi.
● Proof of Work (PoW) — Mekanisme konsensus blockchain yang memerlukan perhitungan matematis kompleks untuk memverifikasi transaksi.
● Surplus Energi — Kondisi ketika produksi listrik suatu negara melebihi kebutuhan konsumsi domestik.
#Bitcoin #Mining #IndonesiaCrypto #Blockchain #DigitalEconomy #Fintech #BitcoinMining #KriptoIndonesia #EnergyTransition #Hashrate #CryptoNews #DigitalTransformation #IndonesiaTech #RenewableEnergy #CryptoInvestment #BitcoinMarket #SatoshiNakamoto #CryptoRegulation #IEA #BlockchainEconomy
