Jika public relations masih dipahami sebagai soal berapa kali nama merek muncul di media, satu hal perlu disadari: model itu perlahan usang. Di era AI, reputasi tidak lagi ditentukan oleh frekuensi eksposur, melainkan oleh satu pertanyaan krusial—apakah mesin cerdas memilih dan mempercayai Anda saat publik memulai pencarian lewat percakapan digital.
Fokus Utama:
- Pergeseran peran PR dari pemburu liputan menjadi pengelola reputasi di ekosistem AI
- Peralihan dari SEO ke GEO sebagai medan baru visibilitas dan kepercayaan merek
- Pentingnya earned media dan narasi kredibel dalam membangun rekomendasi AI
Public relations pada level yang lebih matang tidak lagi berbicara tentang seberapa sering sebuah merek disebut, tetapi mengapa media dan publik merasa layak membicarakannya. Di titik inilah PR berhenti menjadi rutinitas distribusi siaran pers dan berubah menjadi seni membangun narasi yang relevan, bermakna, dan kredibel.
Kisah Andrew Gadsden memberi gambaran nyata tentang bagaimana PR bekerja ketika ia “naik kelas”. Gadsden bukan CEO korporasi global. Ia pengusaha teh di Portsmouth, kota pelabuhan tua di Inggris. Melalui Portsmouth Tea, ia menjual ratusan varian teh premium dengan karakter rasa yang lebih kaya dibandingkan produk mass market. Reputasinya tumbuh perlahan—berangkat dari komunitas lokal, lalu menjangkau konsumen nasional melalui internet.
Namun yang membuat kisah ini istimewa bukan sekadar kualitas produknya, melainkan kecerdasannya membaca logika media. Alih-alih mengirim rilis bertema promosi, Gadsden menciptakan peristiwa. Ia membuat kantong teh terbesar di dunia dan meluncurkannya di atas HMS Warrior, kapal perang bersejarah yang menjadi ikon Portsmouth.
Aksi tersebut sederhana dan relatif murah, tetapi kaya makna. Ada unsur rekor dunia, sejarah, lokalitas, dan keunikan visual—semua bahan bakar ideal bagi jurnalisme. Media tidak melihatnya sebagai iklan, melainkan sebagai cerita. Hasilnya, ITV meliput, BBC menurunkan berita di situs resminya, dan media lokal berbondong-bondong mengangkat kisah itu.
Gadsden tidak membeli iklan. Ia memperoleh sesuatu yang jauh lebih bernilai: legitimasi. Ketika sebuah merek muncul di BBC atau ITV, publik menangkap pesan implisit bahwa merek itu pantas dipercaya. Inilah esensi PR tingkat tinggi—kepercayaan yang dibangun melalui pihak ketiga, bukan klaim sepihak.
Hari ini, pelajaran dari Portsmouth menjadi semakin relevan. Cara orang menemukan informasi telah berubah drastis. Jika dulu liputan media berujung pada pencarian Google dan klik ke situs web, kini semakin banyak orang langsung bertanya kepada AI. Mereka tidak lagi disodori daftar tautan, melainkan satu jawaban ringkas yang sudah disintesis dan direkomendasikan.
Inilah pergeseran besar dari SEO menuju GEO. SEO berfokus pada bagaimana sebuah konten muncul di hasil pencarian. GEO berfokus pada pertanyaan yang lebih fundamental: apakah sebuah merek layak dijadikan jawaban.
Dalam konteks PR, GEO mengubah peran praktisi dari sekadar pencari publisitas menjadi pengelola reputasi yang dapat dipahami oleh mesin. AI menyusun jawabannya dari sumber-sumber pihak ketiga—media kredibel, analisis independen, riset, dan percakapan publik. Di sanalah PR menemukan makna barunya.
Keberhasilan tidak lagi diukur dari jumlah kliping atau impresi, melainkan dari apakah sebuah merek muncul dalam rekomendasi AI, dalam konteks apa ia disebut, dan dengan nada seperti apa. Mesin generatif tidak menghitung kata kunci, tetapi menimbang kredibilitas, kejernihan narasi, dan objektivitas.
Logika ini berlaku lintas industri, tetapi dampaknya paling terasa di sektor perbankan.
Berbeda dengan produk konsumsi, bank tidak sekadar menjual layanan. Bank mengelola dana publik dan kepercayaan sistem. Reputasi di industri ini bukan sekadar citra, melainkan infrastruktur.
Hari ini, calon nasabah tidak hanya bertanya, “produk bank mana yang paling murah?”, tetapi juga, “apakah bank ini aman?”, “apakah aplikasinya sering bermasalah?”, atau “bagaimana bank ini menangani keluhan dan gangguan sistem?”. Pertanyaan-pertanyaan ini semakin sering diajukan langsung kepada AI.
Jawaban yang muncul tidak diambil dari iklan atau siaran pers. Mesin generatif menyusunnya dari berita media arus utama, laporan regulator, analisis pengamat, serta jejak percakapan publik. Dengan kata lain, PR perbankan kini ikut membentuk memori AI tentang stabilitas dan kepercayaan.
Di era ini, PR bank tidak lagi cukup mengejar publisitas. Visibilitas tanpa kredibilitas justru berisiko. Satu gangguan sistem yang dijelaskan secara defensif dapat meninggalkan jejak lebih panjang dibandingkan sepuluh rilis kinerja positif. Satu kasus fraud yang dikomunikasikan dengan buruk dapat lebih membentuk persepsi AI dibandingkan kampanye branding bernilai besar.
Earned media menjadi penentu. Ketika media kredibel, analis independen, atau regulator menyebut sebuah bank dengan nada faktual dan berimbang, itu menjadi sinyal kuat—bukan hanya bagi publik, tetapi juga bagi ekosistem AI. Sebaliknya, klaim sepihak di kanal milik sendiri memiliki bobot jauh lebih kecil.
PR perbankan juga menghadapi realitas baru dalam manajemen krisis. Di masa lalu, krisis dianggap selesai ketika pemberitaan reda. Di era AI, krisis tidak pernah benar-benar berakhir. Narasi yang tercipta saat krisis akan terus disimpan, disintesis, dan dipanggil kembali setiap kali publik—atau mesin—bertanya.
Karena itu, PR bank kini tidak hanya mengelola persepsi hari ini, tetapi juga warisan narasi jangka panjang. Cara bank menjelaskan gangguan sistem, menunjukkan empati kepada nasabah, atau berkomunikasi dengan regulator akan menjadi bagian dari jawaban AI di masa depan.
Implikasinya jelas. PR di perbankan tidak lagi bisa diposisikan sebagai fungsi pendukung pemasaran. Ia menjadi bagian dari manajemen risiko reputasi, tata kelola, dan keberlanjutan bisnis. Ukuran keberhasilan pun bergeser—bukan lagi jumlah kliping atau impresi, melainkan apakah bank muncul sebagai entitas yang “aman”, “stabil”, dan “bertanggung jawab” dalam rekomendasi AI.
Pada akhirnya, kisah Andrew Gadsden mengajarkan satu hal mendasar: PR yang kuat selalu berangkat dari pemahaman tentang manusia—apa yang mereka anggap relevan, menarik, dan layak dipercaya. Bedanya, hari ini manusia itu juga mencakup mesin yang belajar dari apa yang kita publikasikan.
PR di level tertinggi adalah PR yang mampu menjembatani keduanya. Ia tidak hanya menciptakan cerita yang enak dibaca, tetapi membangun reputasi yang cukup kokoh untuk direkomendasikan.
Pertanyaannya sederhana, tetapi menentukan: ketika seseorang—atau sebuah AI—bertanya tentang merek atau bank Anda, cerita apa yang akan muncul sebagai jawabannya?
PR di era GEO menuntut perubahan cara berpikir. Cerita harus cukup menarik bagi jurnalis, cukup faktual untuk dipercaya publik, dan cukup jelas untuk dipahami mesin. Ini menuntut kolaborasi baru antara PR, SEO, konten, dan strategi merek. PR bukan lagi pengelola momentum sesaat, melainkan arsitek reputasi jangka panjang.
Kisah Andrew Gadsden mengajarkan satu pelajaran mendasar: PR yang kuat selalu berangkat dari pemahaman tentang manusia—apa yang mereka anggap relevan, menarik, dan layak dipercaya. Bedanya, hari ini “manusia” itu juga mencakup mesin yang belajar dari apa yang kita publikasikan.
Safaruddin Husada, Chief Editor digitalbank.id
Digionary:
● earned media: liputan dan eksposur yang diperoleh secara organik tanpa membeli iklan
● generative engine optimization (GEO): strategi agar merek dipilih dan direkomendasikan oleh mesin AI
● legitimasi: pengakuan kredibilitas dari pihak ketiga yang dipercaya publik
● public relations: upaya strategis membangun hubungan dan reputasi antara organisasi dan publik
● search engine optimization (SEO): teknik meningkatkan visibilitas konten di mesin pencari tradisional
#publicrelations #eraai #geo #seo #earnedmedia #reputasimerek #komunikasistrategis #branding #aiindonesia #mediarelations #digitalreputation #storytelling #bisnisdigital #komunikasikorporat #trusteconomy #kontenstrategi #jurnalisme #mediakredibel #brandingdigital #reputasiperusahaan
