Jumlah investor aset kripto Indonesia mencapai 19,08 juta pada Oktober 2025, tumbuh 2,5% dibulan sebelumnya. Meski transaksi bulan November turun 24,5%, kepercayaan pasar dinilai tetap terjaga dengan nilai kumulatif transaksi tahun 2025 menembus Rp446,77 triliun, didukung penguatan regulasi oleh OJK.
Fokus Utama:
■ Paradoks Pertumbuhan: Basis investor kripto RI terus melebar, tembus 19 juta pengguna, meski nilai transaksi bulanan justru meredup tajam, menunjukkan dua dinamika berbeda di pasar.
■ Regulasi sebagai Fondasi: OJK perkuat kerangka aturan dengan POJK 23/2025, mengatur mulai dari derivatif hingga penempatan dana, untuk membangun kepercayaan jangka panjang di tengah volatilitas.
■ Pematangan Ekosistem: Pasar kripto RI tak cuma tumbuh dari sisi pengguna, tetapi juga infrastruktur, dengan 29 entitas berizin dan 1.347 aset kripto yang disetujui untuk diperdagangkan.
Ada sebuah paradoks yang menarik terjadi di pasar aset kripto Indonesia akhir-akhir ini. Di satu sisi, nilai transaksi bulanan sempat meredup. Namun di sisi lain, jumlah orang yang memutuskan untuk masuk dan mencoba peruntungan di dunia aset digital ini justru terus merangkak naik, menembus angka psikologis yang signifikan.
Berdasarkan data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Oktober 2025, jumlah konsumen atau investor aset kripto di Indonesia telah mencapai 19,08 juta pengguna. Angka ini tumbuh 2,5% dibandingkan posisi September 2025 yang sebanyak 18,61 juta. Peningkatan jumlah pemain ini terjadi justru ketika nilai transaksi bulan November tercatat sebesar Rp37,20 triliun, turun 24,5% dari bulan sebelumnya (Rp49,29 triliun).
“Hal ini menunjukkan kepercayaan konsumen dan kondisi pasar yang tetap terjaga baik,” ujar Hasan Fawzi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, di Jakarta, pekan ini. Optimisme ini tampaknya berakar dari performa kumulatif. Secara keseluruhan, sepanjang Januari hingga November 2025, nilai transaksi aset kripto nasional telah mencapai Rp446,77 triliun—angka yang tidak bisa dibilang kecil.
Fenomena ini sejalan dengan tren global. Laporan Crypto Market Sentiment dari firma analisis Glassnode pada kuartal ketiga 2025 menunjukkan, meski harga aset kripto mayor seperti Bitcoin berfluktuasi, jumlah alamat dompet (wallets) aktif baru justru meningkat di beberapa negara emerging market, termasuk di Asia Tenggara. Ini mengindikasikan bahwa minat jangka panjang dan adopsi ritel masih kuat, terlepas dari volatilitas jangka pendek.
Data OJK mengungkap cerita ganda: komunitas investor kripto Indonesia terus melebar (naik 2,5% per bulan), namun nilai uang yang berputar di dalamnya pada bulan tertentu bisa menyusut tajam (turun 24,5%). Ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah para investor baru ini adalah hodlers (penyimpan jangka panjang) yang memanfaatkan harga rendah, atau sekadar penonton yang belum aktif bertransaksi?
OJK secara resmi telah memberlakukan POJK Nomor 23 Tahun 2025, yang merupakan revisi dari aturan sebelumnya. Regulasi ini melakukan sejumlah penyesuaian penting, mulai dari perluasan jenis aset digital, pengaturan derivatif, hingga mekanisme penempatan dana konsumen yang lebih ketat. Kehadiran regulasi yang semakin matang dan jelas seringkali menjadi fondasi bagi kepercayaan investor jangka panjang, meski di awal bisa menciptakan penyesuaian yang menyebabkan lesunya transaksi.
Ekosistem pasar kripto Indonesia tidak hanya tumbuh dari sisi pengguna. Hingga November 2025, OJK telah memberikan izin kepada 29 entitas yang terdiri dari bursa, lembaga kliring, kustodian, dan pedagang aset. Selain itu, terdapat 1.347 aset kripto yang disetujui untuk diperdagangkan. Ini menunjukkan pasar yang semakin terorganisir dan terdiversifikasi, bergerak menjauhi kesan “wild west” yang sering melekat di masa lalu.
Penerbitan POJK terbaru, seperti dijelaskan Hasan Fawzi, bertujuan untuk menyempurnakan kerangka aturan agar selaras dengan dinamika pasar yang cepat berubah. Regulasi yang lebih kuat ini diharapkan dapat melindungi investor sekaligus memberikan kepastian bagi penyelenggara bisnis.
Dengan kata lain, pasar kripto Indonesia tampaknya sedang dalam fase konsolidasi. Lesunya transaksi mungkin hanya merupakan napas sejenak setelah hiruk-pikuk sebelumnya, sementara di bawah permukaan, fondasinya justru sedang diperkuat—baik dari sisi regulasi, infrastruktur, dan yang terpenting, basis pemainnya yang semakin masif. Pertanyaan selanjutnya adalah, kapan ketiga elemen ini akan bersinergi dan mendorong pasar ke fase pertumbuhan yang lebih sehat dan berkelanjutan?
Ilustrasi: shutterstock.com
Digionary:
● Aset Kripto (Cryptocurrency): Aset digital yang menggunakan kriptografi untuk keamanan dan beroperasi terdesentralisasi, sering dipertukarkan di luar sistem perbankan tradisional.
●BAPPEBTI: Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, lembaga sebelumnya yang mengawasi perdagangan komoditi termasuk kripto, sebelum pengawasan beralih ke OJK.
●Hodler: Istilah slang dalam komunitas kripto untuk investor yang membeli dan menyimpan aset kripto dalam jangka panjang, terlepas dari fluktuasi harga.
●Kustodian (Custodian): Lembaga yang bertugas menyimpan dan mengamankan aset kripto milik investor.
●OJK: Otoritas Jasa Keuangan, lembaga independen yang mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan Indonesia, termasuk aset kripto sejak 2025.
●PAKD (Pedagang Aset Keuangan Digital): Perusahaan yang telah mendapat izin dari OJK untuk melakukan kegiatan perdagangan aset keuangan digital, termasuk aset kripto, kepada konsumen.
●POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan): Peraturan yang dikeluarkan oleh OJK sebagai landasan hukum pengawasan di sektor jasa keuangan.
●Volatilitas: Tingkat fluktuasi atau naik-turunnya harga suatu aset dalam periode waktu tertentu. Pasar kripto dikenal memiliki volatilitas tinggi.
#KriptoIndonesia #InvestasiKripto #OJK #AsetDigital #Blockchain #Fintech #PAKD #RegulasiKripto #POJK23 #Bitcoin #InvestorIndonesia #PasarKripto #TeknologiFinansial #InklusiKeuangan #CryptoNews #MarketUpdate #KoinKripto #DompetDigital #HasanFawzi #FintechIndonesia
