Gelombang adopsi kendaraan listrik (EV) di Indonesia yang melonjak 78% pada 2024 menghadapi ujian serius: kesenjangan standar keamanan nasional. Di tengah target 15 juta unit EV pada 2030, isu kritis seperti kesiapan petugas darurat, kerangka asuransi, dan ketersediaan tenaga ahli menjadi penghalang besar. TÜV Rheinland, melalui inisiatif EVSafe, mendorong harmonisasi standar untuk membangun ekosistem mobilitas listrik yang aman dan berkelanjutan.
Fokus Utama:
■ Fokus kebijakan EV Indonesia harus beralih dari insentif pembelian dan pembangunan infrastruktur pengisian daya ke penyiapan sistem keamanan yang matang, termasuk kesiapan first responder dan kerangka asuransi yang jelas.
■ Kesenjangan SDM dan Protokol Darurat: Ledakan jumlah EV tidak diimbangi dengan ketersediaan teknisi bersertifikasi dan, yang lebih kritis, panduan nasional untuk petugas darurat (polisi, damkar) dalam menangani kecelakaan dan kebakaran EV yang memiliki karakteristik teknis berbeda dengan kendaraan konvensional.
■ Validasi Teknis sebagai Kunci Ekosistem: Ketiadaan standar objektif untuk menilai kondisi teknis EV (terutama baterai) menghambat perkembangan industri asuransi EV dan menciptakan ketidakpastian bagi konsumen, sehingga diperlukan kerangka validasi independen seperti yang diusung TÜV Rheinland-EVSafe.
Angkanya memang menggembirakan. Populasi kendaraan listrik (EV) di Indonesia melesat 78% dalam setahun, menembus 200 ribu unit pada 2024. Penjualan mobil listrik bahkan lebih spektakuler, dari 17 ribu unit (2023) menjadi lebih dari 43 ribu unit (2024). Pemerintah pun menargetkan 15 juta EV melintasi jalanan Indonesia pada 2030.
Namun, di balik statistik yang optimistis itu, ada pertanyaan menggelisahkan yang mulai mengemuka: Seberapa siap kita menghadapi risiko di balik kemajuan teknologi ini?
Masalahnya tidak lagi sekadar pada insentif fiskal atau jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU)—yang kini mencapai 3.300 unit. Tantangan nyata telah bergeser ke ranah yang lebih mendasar: keselamatan sistem, manajemen risiko, dan kesiapan sumber daya manusia. Mulai dari petugas pemadam kebakaran yang bingung menangani kebakaran baterai lithium-ion, hingga perusahaan asuransi yang kesulitan menghitung premi karena tidak punya standar teknis yang jelas untuk menilai risiko komponen mahal seperti battery pack.
Merespon kekhawatiran yang kian menguat—terutama setelah beberapa insiden EV viral di media dan desakan industri asuransi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk premi khusus—TÜV Rheinland Indonesia menggelar forum bertajuk “EV Risk & Insurance Readiness: Menyambut Era Baru Mobilitas Listrik yang Aman dan Terpercaya.” Forum itu bukan sekadar seminar biasa. Ia seperti sirine peringatan di tengah euforia.
First Responder: Garis Depan yang Rentan
Tristan Arwen Loveres, Managing Director TÜV Rheinland Asia Pacific People & Business Assurance, dengan tegas menempatkan isu keselamatan di urutan teratas. Menurutnya, edukasi harus dimulai dari garis depan: para first responder seperti polisi dan petugas pemadam kebakaran.
“Elektrifikasi adalah keniscayaan, tetapi kita perlu mengelolanya dengan aman dan berkualitas. Pertanyaan krusial yang muncul adalah apakah petugas polisi dan pemadam kebakaran di jalanan kita tahu cara yang aman untuk mendekati EV yang mengalami kecelakaan? Mengingat risiko sengatan listrik tegangan tinggi dan tantangan pemadaman api baterai atau thermal runaway misalnya. Penanganan yang salah akan berakibat fatal,” ujar Tristan.
Kekhawatiran Tristan bukan tanpa alasan. Kebakaran baterai lithium-ion, atau yang dikenal dengan thermal runaway, adalah momok baru. Api sulit dipadamkan dengan air biasa, membutuhkan teknik dan alat khusus. Belum lagi risiko sengatan listrik dari kabel bertegangan tinggi yang mungkin masih aktif meski mobil sudah dimatikan.
Tiga Pilar Risiko yang Terabaikan
Melalui inisiatif TÜV Rheinland-EVSafe, lembaga sertifikasi global ini merancang kerangka holistik untuk mengatasi tiga pilar risiko utama yang masih carut-marut di Indonesia:
1. Kualifikasi SDM dan Keselamatan Petugas. Ini adalah masalah mendasar. Lonjakan EV tidak diimbangi dengan ketersediaan teknisi terampil yang tersertifikasi untuk menangani sistem tegangan tinggi, apalagi teknisi baterai. Bahkan lebih mendasar lagi: tidak ada panduan nasional yang seragam untuk melatih polisi dan damkar menangani kecelakaan EV. “Kita memerlukan personel yang berkualitas dan terampil di seluruh rantai nilai, tidak hanya infrastruktur,” tegas Tristan.
2. Kesiapan Asuransi dan Validasi Teknis. Ini adalah hambatan bagi pemilik EV dan industri. Perusahaan asuransi kesulitan melakukan underwriting (penilaian risiko) karena tidak ada standar objektif untuk menilai kesehatan (State of Health/SoH) baterai atau integritas kelistrikan kendaraan bekas. Akibatnya, premi menjadi tinggi atau cakupan pertanggungan tidak jelas. TÜV Rheinland-EVSafe menawarkan protokol pengujian independen untuk menjadi dasar data akurat penentuan premi, sekaligus meluruskan mispersepsi publik tentang risiko teknis EV.
3. Tata Kelola Data, Keamanan Siber, dan Privasi. EV adalah komputer beroda. Ia mengumpulkan data mengemudi, kebiasaan, dan lokasi secara real-time. Data ini berharga, baik bagi pabrikan untuk penelitian dan pengembangan, perusahaan asuransi untuk model Usage-Based Insurance (UBI), maupun pemerintah. Namun, siapa yang menguasai data ini? Bagaimana menjamin keamanannya dari peretasan? “Data adalah topik krusial. Kita harus memastikan data privacy protection dan keamanan siber yang kuat, karena ini adalah faktor risiko baru dalam mobilitas listrik,” papar Tristan.
Harmonisasi Standar: Sebuah Keharusan
Sebagai langkah konkret, TÜV Rheinland mendorong tiga aksi terukur yang harus segera dilakukan Indonesia:
· Program Kualifikasi SDM Bersertifikasi Internasional: Diperlukan pelatihan dan sertifikasi berstandar global untuk teknisi EV dan ahli diagnostik sistem tegangan tinggi.
· Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Multistakeholder: Untuk membahas dan menguji kerangka validasi teknis sebagai dasar penetapan premi dan klausul asuransi EV.
· Panduan Nasional untuk First Responder: Sebuah pedoman ringkas namun komprehensif tentang penanganan awal kecelakaan EV di jalan raya harus segera disusun dan disosialisasikan kepada semua petugas darurat.
“Dengan menggabungkan keahlian kami dalam pengujian, inspeksi, dan sertifikasi, TÜV Rheinland berperan memastikan setiap aspek ekosistem kendaraan listrik diuji secara objektif, diverifikasi secara independen, dan memenuhi standar keselamatan yang diakui global,” tutup Tristan.
Pesan yang disampaikan jelas: Indonesia tidak boleh hanya fokus mengejar angka. Membangun fondasi keamanan dan tata kelola risiko yang kokoh adalah harga mati sebelum mimpi 15 juta kendaraan listrik itu berubah menjadi mimpi buruk di jalan raya.
Digionary:
● First Responder: Petugas pertama yang tiba di lokasi darurat, seperti polisi, petugas pemadam kebakaran, atau paramedis.
● State of Health (SoH): Indikator kesehatan baterai yang menunjukkan kapasitas tersisa dibandingkan kapasitas aslinya saat baru, biasanya dinyatakan dalam persentase.
● Thermal Runaway: Reaksi berantai yang tidak terkendali di dalam baterai lithium-ion yang menghasilkan panas sangat tinggi dan sering berujung pada kebakaran atau ledakan.
● TÜV Rheinland: Lembaga pengujian, inspeksi, dan sertifikasi global asal Jerman yang independen, berfokus pada keamanan dan kualitas.
● Underwriting: Proses penilaian risiko oleh perusahaan asuransi untuk menentukan syarat dan premi yang akan diterapkan pada suatu polis.
● Usage-Based Insurance (UBI): Model asuransi kendaraan dimana premi ditentukan berdasarkan data perilaku mengemudi nyata pemilik, seperti kecepatan, jarak tempuh, dan waktu berkendara.
#KendaraanListrik#EV #MobilListrik #Indonesia #TÜVRheinland #EVSafety #FirstResponder #Asuransi #Baterai #ThermalRunaway #SPKLU #TeknisiEV #IndustriOtomotif #TransformasiDigital #KeamananJalan #RiskManagement #GreenEnergy #Sustainability #OJK #TransportasiBerkelanjutan
