Kecerdasan buatan (AI) telah mengubah lanskapan di departemen Sumber Daya Manusia (SDM) banyak perusahaan dengan efisiensi tinggi. Namun para ahli memperingatkan risiko signifikan—dari halusinasi algoritma hingga bias tersembunyi—terutama untuk keputusan sensitif seperti gaji dan promosi, sehingga kehadiran manusia dalam proses pengambilan keputusan tetap krusial.
Departemen Sumber Daya Manusia (SDM), benteng terakhir interaksi dan penilaian manusia di perusahaan, kini dipenuhi oleh algoritma. AI dengan cepat mengambil alih tugas-tugas mulai dari menyaring ribuan CV hingga memberi masukan pada manajer tentang kinerja staf. Namun, di balik janji efisiensi yang luar biasa, mengintai pertanyaan yang mengusik, seberapa besar risiko yang kita tanggung ketika mesin mulai membuat keputusan yang mengubah hidup karyawan?
Lanskap departemen Sumber Daya Manusia (SDM) sedang mengalami revolusi diam-diam yang dipicu oleh kecerdasan buatan (AI). Dari ruang rekrutmen yang sunyi hingga rapat evaluasi kinerja, algoritma kini menjadi rekan kerja—dan terkadang pengambil keputusan—yang tak terlihat. Data terkini dari Society for Human Resource Management (SHRM) mengonfirmasi tren bahwa 65% profesional HR kini menggunakan AI dalam pekerjaan mereka, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan 45% dari tenaga kerja umum.
Namun, antusiasme terhadap efisiensi ini diimbangi dengan peringatan serius dari para peneliti dan praktisi. Helen Toner, Direktur Eksekutif Sementara di Pusat Keamanan dan Teknologi Emerging Georgetown, memberikan peringatan yang gamblang, “Jika Anda melakukan hal-hal yang konsekuensial, seperti menarik kesimpulan tentang kinerja, atau—naudzubillah—hal-hal tentang gaji atau semacamnya, Anda pasti ingin memastikan untuk memeriksa bahwa AI itu benar,” katanya seperti dikutip Axios. Intinya, kecepatan mesin tidak boleh mengabaikan akurasi dan keadilan.
Area adopsi AI yang paling masif adalah rekrutmen. Survei SHRM menunjukkan bahwa 9 dari 10 profesional HR yang menggunakan AI mengandalkannya untuk membuat deskripsi pekerjaan atau menyaring pelamar. Meski menghemat waktu, alat ini menciptakan efek samping paradoks. Sebuah laporan Business Insider mengungkap bahwa kemudahan melamar via AI justru memicu “banjir” lamaran massal, membanjiri departemen HR dan berpotensi menenggelamkan kandidat terbaik. Risiko yang lebih dalam adalah bias algoritma. Sistem AI yang dilatih dengan data historis bisa secara tidak sadar melanggengkan diskriminasi dalam pola perekrutan sebelumnya, sebuah tantangan yang terus dihadapi industri.
Di luar rekrutmen, AI merambah ke jantung operasi HR, yakni manajemen kinerja. Perusahaan seperti Lattice telah meluncurkan agent AI yang dapat bergabung dalam rapat untuk mencatat, melatih karyawan berdasarkan percakapan, dan mengintegrasikan data dari berbagai platform kerja seperti Workday dan Slack. “Ketika AI memiliki semua konteks tentang Anda, perusahaan, alur kerja Anda… ini bukan tentang penilaian. Ini tentang membantu Anda menjadi efektif,” jelas Sarah Franklin, CEO Lattice. Namun, kemampuan agen untuk “mendorong” manajer atau menandai penyimpangan menimbulkan pertanyaan serius tentang privasi dan transparansi. Di mana batas antara bantuan dan pengawasan berlebihan?
Untuk keputusan yang paling berdampak pada hidup seseorang—seperti kenaikan gaji, promosi, atau pemutusan hubungan kerja—ketergantungan penuh pada AI dinilai sangat berbahaya. Alex Alonso, Chief Knowledge Officer di SHRM, mengamatinya langsung: “Anda melihat banyak organisasi berkata, ‘Oke, mari kita jeda dulu. Setidaknya harus ada manusia dalam loop (human in the loop).'” Prinsip human-in-the-loop ini menjadi pagar etis yang tak tergantikan. Alonso menambahkan bahwa saat ini, AI paling efektif sebagai alat bantu untuk manajemen kinerja dan penilaian keterampilan, bukan sebagai hakim akhir.
Riset dari McKinsey memperkirakan bahwa hingga 30% aktivitas kerja di sektor korporat global dapat diotomatisasi oleh AI pada 2030, dengan fungsi HR termasuk yang paling terdampak. Namun, otomatisasi tidak sama dengan pengambilan keputusan etis.
Pada akhirnya, revolusi AI di HR adalah cerita dua sisi. Di satu sisi, ia menawarkan alat yang belum pernah ada sebelumnya untuk efisiensi dan wawasan strategis. Di sisi lain, ia memaksa kita untuk mempertanyakan kembali nilai-nilai inti tentang keadilan, privasi, dan martabat di tempat kerja. Masa depan HR yang sukses bukanlah tentang menggantikan manusia dengan mesin, tetapi tentang merancang kemitraan yang cerdas di mana teknologi memperkuat, bukan menggeser, kebijaksanaan dan empati manusia. Tantangan terbesarnya adalah memastikan bahwa dalam perlombaan mengadopsi teknologi terbaru, kita tidak kehilangan “sumber daya manusia” itu sendiri.
Digionary:
● Bias Algoritma: Kecenderungan sistem AI untuk menghasilkan hasil yang tidak adil atau diskriminatif, seringkali karena cerminan bias dalam data historis yang digunakan untuk melatihnya.
● Human-in-the-loop (HITL): Sebuah pendekatan di mana manusia tetap terlibat secara aktif dan melakukan pengawasan dalam proses pengambilan keputusan yang didukung AI, terutama untuk hal-hal kritis.
● Halusinasi AI: Fenomena di mana model AI menghasilkan informasi yang salah, tidak akurat, atau direkayasa, tetapi disajikan dengan penuh keyakinan seolah-olah fakta.
● Manajemen Kinerja: Proses berkelanjutan antara manajer dan karyawan untuk mengembangkan kinerja, menetapkan tujuan, dan memberikan umpan balik untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi.
● Screening Kandidat: Proses penyaringan awal calon pelamar kerja untuk mengidentifikasi mereka yang paling memenuhi kualifikasi dasar suatu posisi.
#AI #HR #SumberDayaManusia #Rekrutmen #ManajemenKinerja #TeknologiHR #EtikaAI #BiasAlgoritma #HumanInTheLoop #MasaDepanKerja #TransformasiDigital #SDM #HRTech #KecerdasanBuatan #TempatKerja #PrivasiData #Efisiensi #SHRM #McKinsey #StrategiSDM
