Kecemasan terhadap AI — atau “AI anxiety” — kini menjadi fenomena nyata di dunia kerja global. Sebuah survei 2025 terhadap pekerja menunjukkan sebagian besar merasa kehilangan kemampuan, khawatir akan masa depan karier, atau bahkan menjauhkan diri dari interaksi manusia karena terlalu bergantung pada AI. Di sisi lain, data global menunjukkan adopsi AI meningkatkan produktivitas dan peluang karier bagi pekerja yang mampu beradaptasi. Artikel ini mengurai dilema antara ancaman dan peluang dalam revolusi AI di tempat kerja — sekaligus mengingatkan bahwa manusia tetap punya peran penting dalam menjaga keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan.
Fokus Utama:
■ Bagaimana “AI anxiety” — kecemasan terhadap kehilangan skill dan pekerjaan — muncul di kalangan pekerja global akibat adopsi AI yang masif.
■ Dampak positif bagi pekerja beradaptasi: AI sebagai alat memperkuat produktivitas, meningkatkan gaji, dan membuka peluang karier baru.
■ Implikasi bagi perusahaan dan pemimpin industri: pentingnya strategi seimbang — literasi AI, pelatihan ulang (reskilling/upskilling), dan menjaga sisi kemanusiaan agar transformasi tidak merusak budaya kerja.
Saat ini, banyak pekerja memasuki ruang rapat dengan rasa cemas. Suara-suara perlahan reda, beberapa bahkan lebih sering melihat chatbot — bukan rekan kerja — untuk menentukan kalimat berikutnya. Di balik gemuruh kecanggihan AI, sebuah kekhawatiran tumbuh perlahan: apakah mesin akan membuat kita kehilangan kemampuan kita sebagai manusia? Artikel ini memotret dinamika itu, antara ketakutan, adaptasi, dan peluang baru di era AI.
Fenomena ini disebut oleh para peneliti sebagai “AI anxiety” — kecemasan pekerja terhadap dampak adopsi AI dalam pekerjaan sehari-hari. Sebuah survei yang dipublikasikan theglobeandmail.com terhadap lebih dari 1.000 pekerja penuh waktu mengungkapkan bahwa hampir 1 dari 4 responden khawatir kehilangan kemampuan yang dulu mereka kuasai akibat terlalu mengandalkan AI.
Lebih jauh, 21% mengaku sekarang kesulitan melakukan tugas yang dulu bisa mereka selesaikan mudah, sejak alat AI mengambil alih sebagian besar pekerjaan mereka. Ironisnya, survei itu juga menunjukkan 1 dari 10 pekerja merasa sudah sepenuhnya bergantung pada AI untuk menyelesaikan tugas mereka — meski 37% dari responden mengaku mengecam rekan kerja yang melakukan hal yang sama.
Sementara sebagian pekerja merasa AI membuat mereka “lebih pintar” (28%), hampir proporsi yang sama mengatakan AI membuat mereka merasa “kurang mampu”. Temuan ini menggambarkan dilema di era digital: AI membuka banyak jalan — tapi juga membuat banyak orang, terutama pekerja, ragu akan masa depan diri mereka.
Kecemasan Global, Tidak Hanya Isu Lokal
Temuan serupa muncul dari studi di berbagai negara. Laporan terbaru dari lembaga riset di AS menyebut 52% pekerja merasa khawatir dengan dampak AI terhadap pekerjaan mereka dalam jangka panjang. Sekitar 32% percaya AI akan mengurangi peluang kerja, dan hanya 6% optimistis AI akan menciptakan lebih banyak peluang.
Di Inggris, sebuah jajak pendapat oleh federasi serikat pekerja mengungkapkan bahwa 51% orang dewasa khawatir AI akan menggantikan pekerjaan mereka.
Survei lain memperlihatkan keengganan pekerja terhadap strategi perusahaan yang terlalu agresif mengadopsi AI: 19% merasa strategi perusahaan mereka tidak berkelanjutan, dan 19% khawatir akan kehilangan pekerjaan karena AI. Dalam beberapa kasus ekstrem, pekerja bahkan enggan mengaku menggunakan AI, demi menghindari stigma.
Tapi AI Bukan Musuh — Jika Dikelola dengan Baik
Di sisi lain, data menunjukkan bahwa bagi mereka yang mampu beradaptasi, AI bisa membawa keuntungan nyata. Laporan PwC Global AI Jobs Barometer 2025 mengungkap bahwa pekerja dengan keterampilan AI menikmati kenaikan gaji rata-rata 56% dibanding periode sebelumnya.
Menariknya, laporan itu juga menunjukkan bahwa di sektor dengan paparan tinggi terhadap AI, jumlah pekerjaan justru meningkat 38% — meski tugas tertentu bisa diotomatisasi. Produktivitas dan pendapatan per pekerja tumbuh lebih cepat di sektor terdampak AI dibanding sektor lain.
Data ini mengindikasikan bahwa bukan sekadar “AI vs manusia”, tetapi “AI + manusia” — selama adaptasi keterampilan dilakukan, peluang tetap terbuka lebar. Banyak perusahaan dan investor juga semakin menyadari pentingnya mempertahankan tenaga manusia dan melatih ulang staf sebagai bagian dari strategi transformasi.
Reskilling dan Literasi: Jurus Ampuh Hadapi AI Anxiety
Dalam konteks itu, upskilling — atau reskilling — muncul sebagai jalan keluar. Laporan dari platform pendidikan edX (2025) menunjukkan bahwa mayoritas pekerja menganggap keterampilan terkait AI sebagai sangat penting untuk tetap kompetitif, meski hanya sedikit yang benar-benar ambil pelatihan khusus.
Manajer dan pemimpin perusahaan bahkan lebih peka: dari mereka, sekitar 73% mempertimbangkan untuk meningkatkan keterampilan guna menghadapi transisi AI.
Bagi perusahaan, ini artinya investasi pada teknologi tak boleh mengesampingkan investasi pada manusia. Karena tanpa pemahaman, pelatihan, dan strategi transisi yang adil — AI bisa memunculkan kecemasan, kebingungan, dan menurunkan produktivitas.
Dampak Sosial dan Emosional: Ketergantungan dan Isolasi
Bukan hanya soal pekerjaan dan skill — adopsi AI juga mengubah hubungan manusia di tempat kerja. Survei menunjukkan bahwa 19% pekerja sengaja menyembunyikan penggunaan AI kepada rekan kerja, sebagian memberi nama untuk alat AI mereka layaknya manusia, dan 18–20% lebih memilih berinteraksi dengan AI ketimbang kolega.
Dalam studi global terbaru (2025), AI juga memengaruhi kesejahteraan pekerja: untuk generasi tertentu, penggunaan AI dikaitkan dengan peningkatan kepuasan kerja dan kesejahteraan mental fisik — meski efek ini berbeda tergantung usia dan jenis kelamin.
Artinya: AI bisa jadi alat produktivitas — tapi juga potensi isolasi sosial, pengikisan budaya kerja, dan tantangan etis jika tidak dikelola dengan bijak.
Ancaman vs Peluang: Pilihan Ada di Tangan Kita
Realitas hari ini menunjukkan bahwa AI membawa kontradiksi besar: satu sisi membuka peluang produktivitas, gaji, dan karier baru; sisi lain memunculkan kecemasan, ketidakpastian, dan disrupsi sosial. Pilihan di tangan pekerja, perusahaan, dan pembuat kebijakan: apakah semua ini akan menjadi lompatan besar — atau jatuh sebagai gelembung?
Bagi pekerja: penting untuk tetap belajar, menambah keterampilan, dan menjaga keseimbangan manusia-teknologi. Bagi perusahaan: perlu pendekatan seimbang — investasi AI harus diimbangi pelatihan dan literasi. Bagi pembuat kebijakan: regulasi dan pelindungan tenaga kerja perlu diperbarui agar manusia tetap jadi pusat transformasi. Karena pada akhirnya, AI seharusnya memperkuat — bukan menggantikan — nilai manusia dalam dunia kerja.
Digionary:
● AI anxiety — Kecemasan pekerja terhadap dampak negatif AI terhadap skill, pekerjaan, dan masa depan karier.
● Automatisasi — Proses dimana tugas manusia digantikan oleh mesin atau perangkat lunak.
● EdX — Platform pendidikan daring global yang menawarkan pelatihan, termasuk di bidang AI.
● Generative AI — Teknologi AI yang mampu menghasilkan teks, gambar, kode, atau konten baru berdasarkan data pelatihan.
● Gig workers — Pekerja dengan kontrak jangka pendek, proyek, atau pekerjaan fleksibel (tidak tetap).
● Reskilling / Upskilling — Proses belajar kembali atau meningkatkan keterampilan agar tetap relevan di era baru.
● Skill atrophy — Kehilangan atau penurunan kemampuan karena terlalu mengandalkan AI / otomatisasi.
● Bubble (gelembung) — Kondisi pasar di mana valuasi terlalu tinggi dan tidak didukung fundamental — berisiko meletus.
● Workplace well-being — Kesejahteraan pekerja dalam aspek mental, fisik, dan emosional di lingkungan kerja.
● Worker displacement — Situasi dimana pekerja kehilangan pekerjaan karena digantikan teknologi.
#AI #ArtificialIntelligence #AIAnxiety #Workplace #DigitalTransformation #Reskilling #Upskilling #Automatisasi #Teknologi #Produktivitas #GenerativeAI #FutureOfWork #Pekerjaan #Karier #KesejahteraanKerja #GigEconomy #TransformasiDigital #EtikaAI #HumanCapital #TeknoGlobal
