Kredit Hijau Tumbuh 26%, OJK Soroti Dominasi Bank BUMN dan Potensi Risiko Iklim

- 25 November 2025 - 11:31

Otoritas Jasa Keuangan(OJK) mengungkapkan bank BUMN mendominasi penyaluran kredit hijau di Indonesia dengan porsi mencapai 26,24% dari total kredit nasional hingga 2024, diikuti bank swasta dan BPD. Kredit berkelanjutan ini didominasi sektor UMKM (69,01%), mencerminkan strategi baru perbankan dalam merespons risiko sekaligus peluang di era transisi ekonomi hijau.


Fokus Utama:

■ Dominasi bank BUMN dalam pembiayaan hijau dan tren positif di bank swasta serta BPD.
■ Komposisi kredit berkelanjutan yang masih bertumpu pada UMKM dan potensi pengembangannya.
■ Strategi OJK mendorong integrasi analisis risiko iklim dalam bisnis perbankan.


Kredit hijau Indonesia capai Rp 2.074 triliun! Simak analisis OJK soal dominasi bank BUMN, peran UMKM, dan strategi hadapi risiko iklim dalam laporan terbaru transisi keuangan berkelanjutan.


Peta jalan transisi hijau sektor perbankan Indonesia mulai menunjukkan bentuknya yang nyata. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, hingga akhir 2024, kredit dan pembiayaan berkelanjutan telah menyentuh angka Rp 2.074 triliun, atau setara 26,24% dari total kredit nasional. Yang menarik, dalam peta pembiayaan berkelanjutan ini, bank-bank pelat merah masih memegang tampuk kepemimpinan, membukukan porsi terbesar. Namun, di balik angka yang tampak menggembirakan itu, otoritas justru menyoroti sebuah tantangan besar: seberapa siap perbankan nasional menghadapi dampak finansial dari perubahan iklim yang kian nyata?

Data teranyar OJK hingga 2024 membeberkan komposisi menarik dari portofolio kredit hijau nasional. Bank-Bank BUMN (Himbara) masih menjadi garda terdepan, disusul kemudian oleh bank swasta dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang mulai menunjukkan tren positif.

“Tren positif mulai terlihat pada bank swasta nasional dan BPD yang mulai mengembangkan portofolio hijau serta produk berorientasi ESG (Environmental, Social, and Governance), meskipun skalanya masih terbatas,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, di Jakarta, Senin (24/11).

Jika dirinci, komposisi Kredit Usaha Berkelanjutan (KUBL) justru masih sangat bertumpu pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan porsi mencapai 69,01%. Sektor keanekaragaman hayati menyusul di posisi kedua (16,59%), sementara kegiatan berwawasan lingkungan murni masih berkisar 3,34%.

“Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar pembiayaan berkelanjutan masih berakar pada sektor produktif rakyat dan kegiatan ekonomi yang bersentuhan langsung dengan alam, sebuah potensi besar untuk dikembangkan menjadi green lending yang lebih terarah dan berdampak,” ujar Dian.

Namun, di balik optimisme itu, OJK mengingatkan adanya ancaman riho yang mulai mengintai. Perubahan iklim, menurut Dian, telah membawa dampak nyata terhadap sektor-sektor yang bergantung pada alam, seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dari kacamata regulator, kondisi ini menghadirkan dua sisi mata uang bagi sektor keuangan.

Di satu sisi, risiko iklim—baik fisik seperti bencana maupun transisi akibat perubahan kebijakan—meningkatkan ketidakpastian kinerja sektor-sektor tersebut. Gagal panen, gangguan rantai pasok, hingga penurunan produktivitas berpotensi langsung meningkatkan risiko kredit perbankan.

“Karena itu, OJK mendorong perbankan untuk mulai mengintegrasikan analisis risiko iklim ke dalam proses penyaluran kreditnya, termasuk melalui pengembangan Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS),” tegas Dian.

Di sisi lain, dalam perspektif jangka menengah-panjang, perubahan iklim justru membuka peluang investasi baru yang lebar. Pembiayaan untuk solusi berbasis alam, pertanian berkelanjutan, energi terbarukan di pedesaan, dan infrastruktur adaptasi iklim menjadi lahan basah yang belum banyak terjamah.

Strategi OJK ke depan adalah memastikan sektor keuangan tidak hanya sekadar melindungi diri dari risiko, tetapi juga aktif membiayai transisi menuju ekonomi hijau dan berketahanan iklim. Langkah ini diperkuat dengan seperangkat kebijakan, mulai dari Taksonomi Hijau Indonesia hingga revisi POJK Keuangan Berkelanjutan yang sedang digodok.

Dengan komitmen Indonesia mencapai net-zero emission pada 2060, langkah perbankan dalam mengalirkan dana ke sektor hijau dan mengelola risiko iklim bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah keharusan strategis yang akan menentukan ketahanan sistem keuangan nasional di masa depan.


Digionary:

· Bank Pembangunan Daerah (BPD): Bank yang didirikan oleh pemda untuk mendukung pembangunan di wilayahnya.
· Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS): Kerangka kerja untuk mengidentifikasi, mengukur, & mengelola risiko finansial akibat perubahan iklim.
· ESG (Environmental, Social, and Governance): Kerangka standar untuk menilai dampak sustainability & etika suatu investasi atau perusahaan.
· Kredit Usaha Berkelanjutan (KUBL): Pembiayaan yang ditujukan untuk usaha yang memperhatikan aspek lingkungan, sosial, & tata kelola.
· POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan): Regulasi yang dikeluarkan OJK sebagai panduan pelaksanaan di sektor jasa keuangan.
· Risiko Iklim Fisik: Risiko finansial akibat peristiwa cuaca ekstim & dampak fisik perubahan iklim.
· Risiko Iklim Transisi: Risiko finansial selama transisi ekonomi menuju model rendah karbon.
· Taksonomi Hijau Indonesia: Klasifikasi aktivitas ekonomi yang berwawasan lingkungan.

#KreditHijau#OJK #KeuanganBerkelanjutan #EkonomiHijau #Perbankan #BankBUMN #UMKM #ESG #PerubahanIklim #RisikoIklim #TransisiEnergi #GreenFinance #KUBL #PembangunanBerkelanjutan #LKPBU #CRMS #TaksonomiHijau #GoGreen #Sustainability #NetZero

Comments are closed.