Demam Artificial Intelligence (AI) memicu perlombaan pembangunan data center skala raksasa di Asia, dengan investasi mencapai miliaran dolar. Konglomerat Indonesia seperti DCI Indonesia, Sinar Mas, dan Triputra Group turut berebut pangsa pasar yang diproyeksikan tumbuh lebih dari dua kali lipat di Asia-Pasifik menjadi 29 gigawatt pada 2030, meski dihadapkan pada tantangan pasokan listrik dan keberlanjutan.
Fokus Utama:
■ Gold Rush Data Center di Asia: Ledakan AI memicu investasi masif dari taipan Asia seperti YTL Power (Malaysia), Adani Group (India), dan Foxconn (Taiwan) dalam pembangunan data center hyperscale dengan nilai investasi mencapai US$15 miliar.
■ Ekspansi Konglomerat Indonesia: DCI Indonesia memimpin dengan rencana ekspansi kapasitas 1,9GW, diikuti Sinar Mas dan Triputra Group yang bermitra dengan investor global untuk membangun infrastruktur data center di dalam negeri.
■ Tantangan Keberlanjutan: Pembangunan data center yang intensif energi menimbulkan kekhawatiran pasokan listrik, dimana energi hijau diproyeksikan hanya memenuhi kurang dari sepertiga kebutuhan tambahan pada 2030.
Demam AI picu perang data center Asia! Konglomerat RI seperti DCI, Sinar Mas, dan Triputra berebut pasar yang diproyeksikan capai 29GW. Simak strategi dan tantangannya.
Gelombang revolusi kecerdasan buatan (AI) tidak hanya mengubah wajah teknologi, tetapi juga memicu perlombaan senjata infrastruktur digital yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di seluruh Asia, taipan-taipan bisnis sedang membangun benteng-benteng data center raksasa—dan konglomerat Indonesia tidak mau ketinggalan kereta.
Menurut proyeksi Cushman & Wakefield, kapasitas data center di Asia-Pasifik akan melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi lebih dari 29 gigawatt (GW) pada 2030, dari hanya 12GW pada 2024. Lonjakan ini didorong oleh kebutuhan raksasa teknologi seperti Amazon, Google, Microsoft, dan Nvidia akan infrastruktur komputasi AI.
“Kesenjangannya sangat besar, dan menutupnya adalah sesuatu yang sangat penting,” tulis laporan PwC yang mengingatkan bahwa energi hijau hanya bisa memenuhi kurang dari sepertiga kebutuhan listrik tambahan pada 2030.
Peta Pertempuran Asia: Dari Malaysia hingga India
Di Malaysia, YTL Power International milik Francis Yeoh menjadi pemain paling agresif. Perusahaan ini membangun kawasan pusat data seluas 664 hektare di Johor dengan investasi US$4,3 miliar, separuhnya sudah digelontorkan untuk kapasitas 200MW.
India tidak kalah panas. Gautam Adani bekerja sama dengan Google mengucurkan US$15 miliar untuk kampus data center terbesar di Andhra Pradesh, sementara rivalnya Mukesh Ambani menyiapkan pusat data AI berkapasitas 1GW di Gujarat.
Di Korea Selatan, SK Group berkolaborasi dengan Amazon Web Services membangun pusat data senilai US$5 miliar di Ulsan. Taiwan menyaksikan Foxconn milik Terry Gou bersama Nvidia membangun fasilitas AI 100MW senilai US$1,4 miliar.
Konglomerat Indonesia Masuk Arena
Di tengah persaingan sengit itu, Indonesia tidak hanya menjadi penonton. DCI Indonesia, yang menjadi perusahaan publik paling berharga kedua di Indonesia dengan kapitalisasi pasar lebih dari US$37 miliar, memimpin perlombaan ini.
“DCI, yang saat ini memiliki kapasitas 119MW di Jakarta, berencana meningkatkan kapasitas lebih dari sepuluh kali lipat menjadi 1,9GW, termasuk fasilitas hyperscale baru di Pulau Bintan,” ungkap laporan tersebut.
Kesuksesan DCI menarik pemain lain. Sinar Mas Group pimpinan Franky Widjaja bermitra dengan K2 Strategic untuk membangun data center di kawasan Jakarta. Triputra Group milik Theodore Rachmat bekerja sama dengan ST Telemedia dari Singapura memperluas jaringan pusat data nasional.
Tantangan di Balik Ambisi Besar
Namun, euforia ini tidak tanpa tantangan. Pembangunan data center yang sangat intensif energi menimbulkan kekhawatiran serius tentang pasokan listrik dan air. Beberapa pengembang seperti YTL berinvestasi pada energi surya, sementara yang lain menjajaki opsi lepas pantai seperti rencana Samsung Electronics dan OpenAI untuk pusat data terapung.
Meski ada kekhawatiran gelembung, analis seperti Jitesh Karlekar dari JLL tetap optimistis. “Dengan lompatan besar penggunaan AI di sektor kritis seperti kesehatan, pendidikan, dan pertahanan,” katanya, permintaan akan terus tumbuh.
Bagi konglomerat Indonesia, ini bukan sekadar soal mengikuti tren, melainkan pertaruhan masa depan dalam ekonomi digital yang semakin didominasi oleh komputasi awan dan kecerdasan buatan—sebuah pertaruhan yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
Digionary:
· Data Center Hyperscale: Fasilitas pusat data berskala sangat besar dengan kapasitas di atas 100MW, biasanya dimiliki oleh perusahaan teknologi raksasa.
· Gigawatt (GW): Satuan daya listrik setara dengan satu miliar watt, digunakan untuk mengukur kapasitas data center.
· Kapitalisasi Pasar: Nilai total perusahaan yang dihitung dari harga saham dikali jumlah saham beredar.
· Kecerdasan Buatan (AI): Simulasi proses kecerdasan manusia oleh mesin, terutama sistem komputer.
#DataCenter #KecerdasanBuatan #AI #InfrastrukturDigital #KonglomeratIndonesia #DCIIndonesia #SinarMas #TriputraGroup #InvestasiTeknologi #RevolusiDigital #CloudComputing #AsiaPasifik #Hyperscale #DataCenterAsia #TransformasiDigital #EkonomiDigital #StartupIndonesia #DataCenterHyperscale #ArtificialIntelligence #DataCenterBoom
